Oleh : Bung Alkaf*
Karena pertandingan final Piala Eropa, saya memutuskan menonton Inggris vs Spanyol di warung kopi di depan rumah.
Sebenarnya, kalau menuruti kepentingan nasional, tidak ada alasan saya berjalan tengah malam, dari rumah, menuju warung kopi untuk menonton pertandingan dua negara yang seluruh pemainnya, tim pendukungnya, dan segala sejarahnya tidak berhubungan dengan tim nasional kita.
Tetapi, saya memaksa diri juga untuk menonton di malam buta demi satu alasan: tradisi.
Sulit membayangkan, terutama secara pribadi, saya melewati babak final turnamen sebesar Piala Eropa. Derajat partai ini hanya satu tingkat di bawah partai final Piala Dunia, dan satu tingkat di atas final Liga Champion.
Jadi, secara keseluruhan, final Piala Eropa adalah mewakili sejarah panjang olahraga ini. Atas alasan itu, saya berada di tengah warung kopi yang pekat, hiruk pikuk, dan antusiasme hebat dari pengunjungnya.
Dari kursi di depan layar lebar, saya menyaksikan nama-nama baru di atas jagat sepak bola ini. Nama yang semula asing, karena sepertinya saya sudah tertinggal di masa lalu, tapi mulai terasa akrab: Yamal, Williams, dan Olmo.
Bisa juga, Billingham, Saka, Stones, dan Palmer. Kalau dipaksa, mungkin saya bisa mengingat lebih banyak lagi. Tetapi, sepertinya tidak terlalu bermanfaat.
Sepanjang babak pertama, pertandingan berlangsung dengan membosankan. Tentu, bosan dalam standar saya. Dengan sedikit pongah, saya mengirimkan pesan kepada Mirza Ardi dan Sayyid Husain Bahesty, “Sebagai orang yang telah menonton sepak bola selama 38 tahun, ini partai final yang mengecewakan.”
Namun, pendapat itu, langsung saya revisi di babak kedua. Bukan saja karena keseluruhan gol terjadi di babak tersebut, melainkan karena inti dari babak final ada di saat tersebut: intensitas, jual beli serangan, build up pertandingan, dan kemampuan masing-masing tim memegang bola. Tentu saja, dari kesemua hal itu, Spanyol lebih unggul dari Inggris.
Spanyol datang ke turnamen ini dengan harapan akan masa depan yang cerah bagi mereka. Pemain-pemain muda, tentu kredit ini diberikan untuk Yamal dan Williams, bersama yang lebih senior, Morata dan Carbajal, adalah jaminan bagaimana Spanyol akan kembali mendominasi Eropa dan dunia di masa mendatang. Apalagi, Spanyol telah menemukan cara baru untuk berada di level itu setelah era tiki-taka.
Gol-gol Spanyol di babak final, terutama pada gol kedua, merupakan perwujudan dari evolusi taktikal mereka, dari tiki taka ke efektivitas, tanpa meninggalkan kecakapan individu para pemainnya, seperti yang ditunjukkan pada proses gol pertama oleh Nico Williams.
Setelah pertandingan berakhir, saya masih masih belum beranjak, walaupun para penonton (yang rata-rata berusia muda) sudah pergi meninggalkan warung kopi. Entah karena mereka datang dengan pengalaman yang lebih baru dalam menyaksikan partai final sehingga melewatkan satu ritual yang penting dalam sepak bola: melihat pemenang mengangkat trofi.
Saya selalu berusaha menyaksikan peristiwa itu. Sebab, bagi saya, kapten tim yang mengangkat trofi turnamen merupakan satu kesatuan utuh, tidak hanya dari partai final, tetapi juga dari keseluruhan turnamen. Namun, saya melihat kesakralan dari momen tersebut tidak lagi membius. Tentu saja, hal ini bersifat personal. Karena bersifat personal, hal itu harus saya sampaikan.
Begini.
Dari dahulu, saya terganggu dengan perubahan proses penyerahan trofi turnamen kepada tim pemenang, baik di Piala Dunia, Piala Eropa, atau Liga Champion.
Bagi saya, trofi lebih sakral diberikan dari atas tribune kehormatan daripada dari panggung kehormatan di tengah lapangan.
Saya berusaha mengingat-ingat, kapan prosesi baru itu bermula, sepertinya ketika Marcos Cafu mengangkat trofi Piala Dunia di Jepang dua dekade silam. Lalu, dilanjutkan oleh Fabio Cannavaro di Berlin.
Prosesi itu kembali dari panggung ke tribune saat Iker Casillas menjadi pemain pertama di Timnas Spanyol mengangkat trofi. Asumsi saya, ada pengaruh Michel Platini yang membawa kembali trofi turnamen ke atas tribune kehormatan.
Tetapi, hari ini, kita kembali melihat para petinggi UEFA dan negara Jerman turun ke lapangan untuk menyerahkan trofi kemenangan.
Tidak ada lagi keindahan ketika satu persatu pemain menaiki tangga — sambil terkadang menyalami penonton yang dilewatinya — untuk menerima medali dan merayakan kebahagian dari tribune stadion.
Bisa jadi, pagi ini — waktu Indonesia bagian barat, saya kembali melihat Lionel Messi atau James Rodriguez mengangkat trofi Copa America dari atas panggung kehormatan di tengah lapangan, walaupun berharap, mereka dengan anggun menapaki tangga untuk menuju tribune kehormatan.
Tetapi, hal itu adalah kemungkinan demi kemungkinan, sebab yang pasti, warung kopi tempat saya menyaksikan pertandingan final Piala Eropa, tidak menayangkan final Copa America. Alamat pusing mencari warung kopi lainnya di pagi ini.
*Pengamat Sepak Bola