Ada Tuan di Atas Tanahnya (Catatan Kelolosan Indonesia ke Putaran 3 Kualifikasi Piala Dunia)

oleh

Oleh : Alkaf

Pertanyaan di bawah ini sepertinya akan semakin relevan untuk penggemar sepak bola di Indonesia, “Apa pentingnya bagi kita, warga Indonesia, untuk bergadang sampai larut malam demi menonton pertandingan antar negara di benua Eropa dan Amerika?”

Satu kali, seorang dosen di Banda Aceh yang sedang mengikuti program short course di Universitas Hawaii bercerita, “Dosen di sana pernah terheran-heran ketika kami meminta izin untuk tidak mengikuti kelasnya karena hendak menonton Piala Dunia.”

“Bukannya negara anda tidak bertanding, lalu kenapa harus menonton?” tanyanya penasaran.

Dahulu, atau mungkin dulu sekali, turnamen sekelas Piala Dunia, Piala Eropa, bahkan mungkin, Piala Amerika, disambut dengan hangat di Indonesia.

Pernah satu kali, entah bisikan yang datang dari mana, pembukaan gelaran turnamen Piala Dunia Korea-Jepang 2002 malah dirayakan secara besar-besaran di Indonesia. Padahal, jangankan Timnasnya yang ikut di turnamen itu, satu ujung rambut pemain Indonesia tidak ada di event tersebut.

Ada banyak penjelasan, terutama secara kebudayaan, mengapa di masa lalu, banyak orang Indonesia yang mengenakan jersey-jersey negara lain yang memiliki tradisi sepak bola kuat: Brasil, Argentina, Jerman, Italia, Portugal, dan Belanda.

Lalu, acapkali ada penyelenggaraan turnamen mayor, warga Indonesia seperti berganti status kewarganeraan. Penjelasan yang paling sederhana karena gelombang pemberitaan, gaya hidup, budaya populer, dan ekspansi bisnis yang menyebabkan terjadinya femonema demikian.

Namun, jika kita mengejar dengan lebih serius, tentu saja karena tidak ada yang bisa kita banggakan dari sepak bola Indonesia, terutama pada tim nasionalnya.

Apa yang ada pada timnas Indonesia sebelum peristiwa akhir-akhir ini, kecuali pada dua cerita yang heroik: menahan imbang Uni Soviet di Olimpiade 1956 dan “nyaris” lolos ke Piala Dunia 1986 di Meksiko.

Walau, belakangan orang-orang mulai bersuara bahwa Indonesia melawan Korea Selatan bukanlah selangkah lagi, melainkan dua langkah lagi. Tetapi, apa pun itu, harus dihargai capaian demikian.

Lalu, setelah performa Timnas sepak bola Indonesia semakin mentereng, mulai dari lolos dan berhasil berada di babak enam belas besar besar Piala Asia 2023, empat besar di Piala Asia U-23, dan berada di babak ketiga kualifikasi Piala Dunia 2026, perhatian besar penggemar sepak bola Indonesia teralihkan kepada tim nasionalnya.

Sekarang, kalau kita melihat lapangan-lapangan di desa, anak-anak yang bermain sepak bola di sore hari sudah meneriakkan namanya sebagai Tom Haye, Marcelino, Ernando, Struick, Nathan, dan deretan lainnya.

Bahkan, tidak jarang, di tempat rental PS, dengan segenap percaya diri, remaja yang berada di situ memilih tim Indonesia untuk melawan tim-tim seperti Perancis, Argentina, atau Portugal.

Semangat seperti ini melebihi apa yang kita pikirkan dari prestasi timnas di era STY ini. Ketika masih ada beberapa segelintir pengamat yang mengatakan bahwa capaian tim asuhan STY ini bukanlah satu hal yang menyejarah, tetapi apa yang kita dari bawah menunjukkan sebaliknya, bahwa Timnas Indonesia kita telah membuat warga negara ini menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Satu hal yang tidak saja membanggakan secara sepak bola, bahkan telah membawa negara ini melompat lebih tinggi. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.