Oleh : Fauzan Azima*
Dari tepi kolam, seekor monyet melihat ikan-ikan berenang. Dia mengamati tingkah laku ikan-ikan yang tenggelam. Hatinya merasa sedih. Dia pun menangkap ikan itu dan menggendongnya layaknya bayi monyet. Tidak lama kemudian, ikan itu mati karena ingsangnya tidak mampu menyerap oksigen di darat.
Pada cerita lain, seseorang pendaki gunung sangat mencintai bunga liar. Dia merasa kasihan meninggalkan bunga itu sendirian di hutan. Diapun memetiknya dan membawanya ke rumah. Dalam hitungan hari bunga itupun layu dan mati karena perbedaan suhu dan kelembaban.
Seekor monyet dan seorang pendaki gunung menterjemahkan cinta itu bersifat posesif, mengekang dengan cemburu buta. Padahal cinta itu membebaskan. Justru semakin kita mencintai semakin memberikan kemerdekaan bagi kekasihnya. Wajar sebagian para pecinta menyatakan, “Cinta tidak harus memiliki.”
Pada abad ke-16 di negeri kita akibat salah menterjemahkan cinta sebagai tindakan posesif, sehingga terjadi malapetaka cinta yang berdarah-darah. Sedikitnya 300 nyawa melayang dengan dalih, tuduhan aliran sesat dan merusak fikiran orang dalam pemahaman dalam beragama.
Ceritanya hiduplah dengan damai dua orang penasehat raja atau dulu disebut mufti. Seorang mufti tinggal di barat dan seorang lagi di timur. Semula keadaan biasa-biasa saja, masing-masing larut dalam tugas “kepenasehatan”. Sampai kemudian penasehat raja dari timur jatuh cinta pada putri raja dan ingin melamarnya.
Bagi raja tidak menjadi soal. Siapapun yang menjadi menantunya akan diterima dengan lapang dada; syaratnya harus terlebih dahulu mendengar nasehat mufti yang tinggal di barat. Sayang seribu kali sayang, setelah diselidiki luar dan dalam karena sesuatu dan lain hal, ternyata penasehat raja dari timur tidak boleh menikah dengan putri raja.
Raja pun mengeluarkan titah; lamaran ditolak dengan cara bijaksana. Tentu saja, penasehat raja dari timur merasa sakit hati lantaran lamarannya ditolak akibat pendapat penasehat raja dari barat. Penasehat raja dari timur pun membangun siasat untuk balas dendam, dengan mengirim pengikutnya untuk mencatat semua ceramah penasehat raja dari barat yang lebih banyak berbicara tentang ilmu hakikat.
Berdasarkan bukti dan saksi lengkap, penasehat raja dari timur mengeluarkan fatwa bahwa ceramah-ceramah penasehat raja dari barat bertentangan dengan syariat dan sesat lagi menyesatkan serta harus dihukum mati.
Raja pada waktu itu, meskipun faham tentang ilmu hakikat, tetapi syariat harus ditegakkan, maka menghukum penasehat raja dari barat dengan hukuman mati. Tidak hanya berhenti disitu, murid-muridnya juga mengalami nasib yang sama; juga menjalani hukuman mati dan kitab-kitabnya dibakar meski ada sebagian yang diselamatkan.
Tragedi kejamnya cinta itu, sungguh pernah terjadi di negeri kita yang dibungkus atas nama “tingkat kajian keagamaan”. Sehingga kalau pada saatnya terjadi pertumpahan darah dengan korban massal, patut dicurigai ada unsur “cinta” di dalamnya.
Pada akhir tahun 1945, kejamnya cinta terulang kembali, yang korbannya mencapai 3000 jiwa lebih. Lagi-lagi akibat salah menafsirkan cinta sebagai pengekangan dan cemburu buta.
Ceritanya, jauh sebelumnya raja membawa “tukang bangunan” dari luar negeri. Sang raja menikahkan dengan orang kampung. Dari perkawinan itu, lahirlah seorang anak laki-laki yang cerdas.
Pada saat Negerinya diinvasi, raja beserta jajarannya mengungsi ke tengah hutan belantara. Aneh, di manapun bersembunyi musuh selalu mengetahuinya yang menyebabkan beberapa pasukan raja terbunuh.
Selidik punya selidik, ternyata “sang tukang” telah menjadi “cuak”. Raja pun membuat siasat untuk menangkap tukang itu dan membunuhnya di depan anaknya. Sejak ayahnya dibunuh, sejak itu pula “anak laki-laki cerdas” itu sebenarnya sudah menanam benih dendamnya pada raja dan pengikutnya.
Waktu demi waktu, “anak laki-laki cerdas” itu mulai tumbuh dewasa dan memang tergolong anak pinter dalam politik dan agama. Sehingga dengan bakat kepintarannya, dia merasa percaya diri untuk melamar putri raja, tetapi alangkah sakit hatinya lamarannya ditolak mentah-mentah dengan alasan dia anak tukang bangunan yang tidak pantas bersanding dengan anak raja.
Dendamnya kepada raja dan pengikutnya semakin subur. Setelah dewasa itu membuat siasat dan membangun opini bahwa raja dan pengikutnya telah bekerja sama dengan musuh dan harus dibunuh. Rakyat termakan dengan ucapannya sehingga raja dan pengikutnya diburu dan dibunuh. Fatwanya sangat tegas, haram menikah dengan anak raja beserta anasirnya.
Endingnya sungguh nyata; pada akhirnya soal wajib membunuh dan haram menikahi turunan raja itu ternyata juga soal kejamnya cinta yang dibungkus dengan revolusi sosial. Rakyat pun mulai kendur perjuangannya. Perlahan mulai sadar, ternyata “laki-laki yang pinter dan sudah dewasa itu” pada akhirnya menikahi putri raja yang semula menolak lamarannya. Orang Melayu bilang “cakap tidak serupa bikin”.
Malapetaka dan kejamnya cinta telah menjadi pengulangan sejarah. Bahkan jauh sebelumnya pada saat penyebaran agama Nasrani, konon Nabi Isa AS pun dikejar-kejar, dibunuh dan direncanakan akan disalib karena iri hati dan bencinya Yudas mengetahui Putri Magdalena jatuh cinta kepada Rasul itu.
Memang benar setidaknya ada tujuh indikator kalau orang sedang jatuh cinta. Yaitu selalu teringat, kagum, rela atau ridho, mau berkorban, takut kehilangan, penuh harapan dan patuh. Tepi semua petunjuk itu tidak bisa diterjemahkan menurut bahasa, akan tetapi ditafsirkan berdasarkan istilah agar tidak ada ungkapan tiada yang lebih kejam dari cinta.
Sebagai nasehat bagi para korban penolakan cinta, ingat pesan dari Imam Syafi’i, “Ketika hatimu terlalu berharap kepada seseorang, maka Allah timpakan kepada kamu pedihnya sebuah pengharapan. Allah sangat mencemburui hati yang berharap kepada selain-Nya.”
(Mendale, Mei 6, 2024)