Ada Apa Dengan Etika Anak Kita? (Refleksi Hari Pendidikan Nasional 2024)

oleh

Oleh : Zuliana Ibrahim*

Dunia pendidikan kita sedang tidak baik-baik saja. Begitulah kesimpulan yang bisa saya ambil. Menilik beberapa problematik yang tak kunjung padam, bahkan kian tampak terang dan mengambang ke permukaan.

Hakikat pendidikan bukan hanya sekadar membentuk anak untuk mampu berkompetisi dan bersaing di lingkungannya. Bukan sekadar menjadikan mereka generasi yang dapat membuat bangsa dan negara bangga terhadap prestasinya.

Meski wajah-wajah baru muncul untuk mencoba “memperbaiki” sistem pendidikan kita, tapi nyatanya masih saja ada lubang-lubang yang harus segera ditutupi. Jika tidak, akan menjadi lubang yang lebih besar yang akan lebih sulit untuk diperbaiki.

Kita cukup berbangga hati memang, ketika mendengar siswa kita mampu bersaing dalam berbagai kompetisi, bahkan hingga ke tingkat internasional.

Mereka mampu mendulang prestasi membawa piagam-piagam penghargaan ke pangkuan sekolah, daerah bahkan negara. Prestasi mereka yang mentereng membawa kita untuk lebih fokus mengasah keterampilan kognitif mereka lebih tajam.

Segala jenis cara belajar telah diterapkan, hingga sekarang ini menggunakan kurikulum merdeka yang memiliki konsep pembelajaran intrakurikuler yang beragam, dengan konten lebih optimal sehingga siswa memiliki cukup waktu untuk mendalami konsep dan menguatkan kompetensi.

Jika kita berfokus pada prestasi, memang tidak dipungkiri bahwa siswa kita kian hari kian kreatif dan memiliki jiwa saing yang tinggi. Namun, cukupkah kita berbangga hati hanya dengan keberhasilan ini? Padahal ada hal yang lebih urgensi yang harus kita benahi.

Setiap tahun, hari pendidikan nasional seolah-olah menjadi waktu yang tepat untuk merefleksikan dunia pendidikan selama setahun berjalan.

Padahal ada saja persoalan yang harus menjadi pembahasan setiap harinya dan harus dicari jalan keluarnya segera, baik dalam lingkup kecil hingga lingkup yang lebih luas, salah satunya adalah etika anak kita.

Beberapa waktu terakhir, kita telah mendengar berbagai kasus perundungan yang melibatkan siswa-siswa kita di Dataran Tinggi Tanoh Gayo ini. Di antara kasus tersebut, ada yang membuat kita ingin berteriak memukul dada, pilu.

Apakah penyebab dari perilaku siswa kita yang bisa seperti ini? Tentu ada banyak aspek yang perlu kita perbaiki bersama, bukan hanya dari pihak sekolah tetapi terutama dalam lingkup keluarga dan masyarakat.

Bukan bermaksud menyalahkan orang tua, guru atau masyarakat. Tetapi ini hanya sebatas pengingat.

1. Buruknya etika dalam keluarga

Keluarga adalah ruang pendidikan yang paling utama, anak akan mencontoh bagaimana orang tuanya berkata dan bersikap.

Jika dalam keluarga saja cara komunikasi antara orang tua dan anak sangat buruk, maka tidak mustahil di sekolah anak akan menjadi siswa yang mudah membantah dan melawan kepada guru-gurunya.

2. Orangtua yang acuh tak acuh dan memaksakan kehendak.

Saat tuntutan keluarga semakin besar dan perekonomian keluarga menjadi alasan utama. Hal inilah yang kerap membuat orang tua bersikap acuh tak acuh terhadap anak-anaknya di rumah, mereka hanya tahu bahwa mereka memiliki tanggung jawab menyekolahkan, tetapi tidak ikut andil mengawasi perkembangannya selama bersekolah.

Keintiman antara orang tua dan anak adalah hal yang mulai pudar saat ini. Sambutan baik yang diterima anak saat pulang sekolah, diskusi hangat di meja saat makan malam, obrolan menjelang tidur adalah kebutuhan psikologis yang seharusnya seorang anak dapatkan dari orang tuanya.

Dalam kondisi kurangnya perhatian, orang tua pun kerap memaksa kehendaknya kepada anak yang di luar dari kemampuan si anak. Alih-alih demi kebaikan, justru terkadang membuat anak frustasi dan akhirnya memilih untuk melawan.

3. Kurang kasih sayang atau terlalu dimanja
Kasih sayang adalah perasaan yang timbul salah satunya karena adanya rasa memiliki.

Apakah dengan memberikan fasilitas kepada anak berarti bentuk kasih sayang sudah terpenuhi? Atau sebaliknya membiarkan anak mandiri sejak dini adalah bentuk kasih sayang untuk mendidik dia saat dewasa nanti?

Bahkan kasih sayang yang terlalu berlebihan pulalah yang dapat mengakibatkan anak menjadi lupa diri bahkan tidak tahu diri.

Sesuaikan porsi kasih sayang kepada anak, buat dia bisa merasakan pentingnya keberadaan orang tua, namun tidak juga membuatnya menjadi manja.

4. Salah masuk lingkungan

Lingkungan rumah yang baik dan harmonis, akan mempengaruhi cara berpikir dan cara bersikap anak ketika di luar rumah. Orang tua yang tegas, penuh kasih sayang dan bersahabat akan menjadi tameng utama anak ketika ia masuk ke lingkungan yang salah.

Ia tidak akan mudah terpengaruh oleh hal-hal negatif yang mengincar di sekitarnya. Bahkan ia akan dengan mudah menarik diri dari lingkungan yang tidak baik tersebut.

5. Sering dihakimi

Ketika anak berbuat salah, sadar atau tidak sadar kadang-kadang orang tua, guru bahkan masyarakat dengan mudah langsung menghakimi. Tidak mencari terlebih dahulu sebab musabab ia berbuat demikian.

Tidak dengan cara merangkul, tetapi keras menghakimi, berlebihan dalam bersikap lalu mengucilkam bahkan menghardik harga diri anak, sehingga ia kehilangan rasa percaya diri.

6. Gadget

Poin keenam ini adalah poin yang selalu jadi alasan di balik etika anak yang semakin hari semakin mengalami kemunduran. Meski pembelajaran di sekolah saat ini kerap dituntut untuk menggunakan gadget, mestinya sebagai orang tua harus mengawasi penggunaannya secara efektif dan efisien.

Tidak dengan membiarkan mereka menggunakannya sesuka hati atau bahkan memberikan kebebasan kepada mereka untuk memiliki di usia dini. Begitu pula di sekolah, sepatutnya memberikan peraturan yang tegas dalam penggunaan gadget di lingkungan sekolah, sehingga siswa hanya menggunakan gadget di waktu-waktu tertentu saja.

Dari beberapa poin di atas adalah sebagian kecil dari alasan mendasar yang membuat anak-anak kita semakin jauh dari etika yang berakhlakul karimah.

Sudah seharusnya sebagai orang tua, guru maupun masyarakat, meningkatkan pengawasan terhadap mereka. Tanpa kita sadari perlahan tapi pasti, suatu saat anak kita akan menjadi generasi yang tidak memiliki jati diri jika terus diabaikan seperti ini.

Perpustakaan sekolah, 2 Mei 2024

*Penulis adalah guru di salah satu sekolah menengah atas di Kota Takengon.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.