Oleh : Dr. Jamhuri Ungel, MA*
Sebagai masyarakat yang menganut agama Islam, ketika berbicara tentang pembagian harta warisan tentu akan merujuk kepada pembagian harta warisan yang diatur dalam Islam.
Di dalam Islam pembagian harta warisan telah diatur secara jelas dan tegas, baik mereka yang menerima harta atau juga jumlah harta warisan yang diterima.
Mereka yang menerima atau yang berhak mendapatkan harta warisan adalah, anak-anak, orang tua, suami, istri dan cucu.
Untuk mereka yang menerima juga telah ditentukan jumlah harta yang mereka terima, seperti istri mendapat seperempat (1/4) harta bila suami meninggal dan tidak meninggalkan anak, bila suami meninggal dan meninggalkan anak maka istri mendapat 1/8 dari harta.
Sedangkan untuk suami bila istri meninggal dan tidak meninggalkan anak maka suami mendapat 1/2 dan bila meninggalkan anak maka suami mendapat 1/4 dari harta.
Sedangkan untuk anak perempuan mendapatkan 1/2 dari harta bila sebagai anak tunggal dan bila mempunyai saudara perempuan seorang atau lebih maka mendapatkan harta sebanyak 2/3 dari seluruh harta.
Sedangkan untuk anak laki-laki mendapat harta dua kali lipat dari anak perempuan atau sebagai orang yang menghabiskan semua sisa dari harta. Kemudian untuk ayah atau ibu seperenam dari harta.
Bila kita membaca kewenangan peradilan yang ada di Indonesia, masalah kewarisan bukan mutlak menjadi kewenangan Pengadilan Agama tetapi juga menjadi kewenangan dari Pengadilan Umum (Negeri).
Apabila Pengadilan Agama yang mengadili maka pembagiannya tentu dengan menggunakan aturan kewarisan Islam, namun bila diselesaikan di Pengadilan Negeri tentu menggunakan Hukum Perdata.
Seorang muslim boleh mengajukan sengketa warisan ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama, artinya Pengadilan Negeri tetap menerima kasus kewarisan walaupun diajukan oleh orang Islam, jadi untuk kewarisan ada dualisme peradilan.
Pembagian harta warisan yang dipraktekkan dalam masyarakat Gayo tidak murni menganut seratus persen sebagaimana yang disebutkan dalam ketentuan al-Qur’an sebagaimana telah disebutkan, namun juga tidak bersalahan.
Pembagian menganut prinsip bagian laki-laki lebih banyak dari perempuan, titambah lagi dengan pembagian anak laki-laki yang tertua lebib banyak mendapat bagian dari anak laki-laki yang lainnya.
Sedangkan pembagian harta unfuk anak laki-laki (selain yang tertua) mendapat bagian lebih banyak dari anak perempuan.
Pertimbangan kenapa anak laki-laki yang tertua mendapat bagian lebih dari yang lain, anak laki-laki tertua ikut bersama orang tua memugar dan menggarap lahan untuk kebutuhan keluarga termasuk adik-adik mereka.
Apabila ada kesempatan pendidikan biasanya diprioritaskan untuk anak-anak selain anak yang tertua, karena itu untuk anak yang tertua diberi lebih dalam pembagian harta.
Untuk anak yang nomor dua atau selanjutnya mempunyai kesempatan untuk menempuh pendidikan (sekolah atau pesantren) dengan biasa dari usaha orang tua yang dibantu oleh anak yang paling tua.
Kalau pun tidak menempuh pendidikan untuk anak nomor dua dan selanjutnya sudah memiliki harta (orang tua sudah memiliki harta untuk membelanjai keluarganya) dari usaha orang tua.
Kemudian untuk anak perempuan bagiannya lebih sedikit dari anak laki-laki, di samping karena alasan dalil nash (al-Qur’an) jugga alasan adat, dimana anak perempuan selanjutnya akan hidup bersama keluarga laki-laki (suami).
Untuk harta perempuan akan mendapat harta dari suami yang disebut dengan teniron (harta yang diminta dari calon suami dan akan diberikan ketika sudah akad nikah), harta ini menjadi milik istri dan berbeda dengan mahar.
Bahkan ada sebagian anak perempuan diberikan harta berhpa binatang ternak, dengan alasan karena anak perempuan tersebut akan berpindah ke keluarga suaminyang terkadang tempatnya sangat jauh.
Dan kalaupun diberikan harta berupa tanah dipastikan tidak bisa atau tidak sempat mengurusnya.
Selanjutnya pembagian harta warisan untuk suami kalau istrinya meninggal dan untui istri kalau suaminya meninggal tidak menjadi prioritas, karena pembagian harta hntuk anak dilaksanakan biasa ketika kedua prang tua (suami istri)) telah meninggal dunia.
Demikian juga halnya untuk ayah dan ibu (kakek dan nenek), bahkan hntuk mereka ini tidak pernah mendapat bagian. Demikian mudah-mudahan bermanfaat. []