Oleh: Novita Sari*
Entah kenapa saya merasa bodoh. Bukan karena terlahir sebagai wong cilik yang jauh dari akses masuk ke ibu kota negara ini. Bukan pula karena keterbatasan informasi dan pendidikan formal dan informal. Tapi saya sebagai seorang Ibu dari putra dan putri, sampai saat ini belum memahami kemana arah peta politik pemimpin negeri ini.
Peta politik zig zag, yang seharusnya jalannya lurus-lurus saja agar cepat sampai ke tujuan. Para punggawa negeri ini sengaja membuatnya tidak saja berliku, tapi seperti coretan anak kecil di dinding tembok rumah yang tidak bisa dibaca. Pagi A, sore berubah jadi B. Kadang kita berpasrah. Waktu sajakah yang bisa menjawab seluruh skenarionya.
Setiap hari kita membaca berita tentang korupsi. Bahkan lembaga setingkat KPK pun tidak lepas dari korupsi. Ada pelaku korupsi dengan cepat tertangkap, sebaliknya ada yang lambat.
Bacaan di hati dan fikiran menduga kasus korupsi hanya dijadikan alat untuk menebas lawan politik untuk melanggengkan kekuasaan. Sekali lagi entahlah, kegelisahan kadang menyeruak dari batok kepala.
Bapak Bangsa, Muhammad Hatta, sebagai wakil Presiden awal kemerdekaan Indonesia untuk membayar listrik rumahnya harus menunggu royalti bukunya dari penerbit. Jabatan zaman dulu tidak berbanding lurus dengan kekayaan. Tentu saja berbeda dengan zaman kita sekarang, setiap pejabat sudah bisa kita hitung dengan mudah berapa dana yang terkumpul setelah berakhir jabatannya.
Prilaku menyimpang penguasa kita jauh dari relnya, melayani masyarakat telah jauh menyimpang. Oligarki menjadi momok menakutkan bagi pengkritisi. Tidak sedikit penulis, penceramah dan ilmuwan mengingkari hati nuraninya dengan menyembunyikan kebenaran demi aman dari kriminalisasi penguasa. Lagi-lagi ini adalah kegelisahan dari pandangan dua mata yang normal.
Berulang-ulang saya memeriksa isi batok kepala, barangkali ini hanya fikiran picik saja, tetapi ternyata ini benar adanya. Hanya saja saya juga manusia punya rasa rasa takut juga kalau secara gamblang mengungkap setiap centimeter keburukan wajah penguasa negeri ini.
Rasa takut, manusiawi memang. Tapi sebagai ibu wajib mengajarkan anak-anaknya untuk berani berkata “tidak” untuk ketidakbenaran.
Puluhan kali negeri kita sudah menyelenggarakan pemilu, tapi sebagai masyarakat, kita belum bisa membaca peta politik jalan lurus.
Jalan terjal dan berliku masih menjadi pilihan utama. Seluruh persoalan bangsa; korupsi, hak buruh, kemiskinan, politik etis, HAM, ketidakadilan sumber daya alam dan hak-hak perempuan masih belum tuntas untuk diselesaikan. Sampai kapan? Entahlah.
(Simpang Teritit, 26 Januari 2024)