Agama Dan Adat Dalam Masyarakat Gayo

oleh

Oleh : Dr. Jamhuri Ungel, MA*

Agama dan adat merupakan dua kata yang berdeda, agama adalah tata aturan yang turunnya dari Allah, secara rinci aturan agama termuat dalam al-Qur’an yang merupakan firman Allah, dan aturan yang disebutkan dalam hadis yang datangnya dari Rasul utusan Allah.

Sedangkan adat adalah tata aturan yang dikerjakan oleh masyarakat secara terus-menerus dalam waktu yang lama bahkan dari satu generasi ke generasi yang lain.

Perbedaannya dengan agama di samping berbeda sumber juga berbeda masa dan cakupan wilayah, kalau agama berlaku sepanjang zaman dan untuk seluruh wilayah, kemudian adat berlaku dengan masa tertentu dan wilayah yang terbatas.

Aturan agama harus dikerjakan oleh semua orang tanpa kecuali untuk semua daerah dan semua orang, aturan adat harus dikerjakan oleh masyarakat calam lingkup daerah tertentu sehingga kedua aturan ini harus dilaksanakan, apabila tidak dilaksanakan akan mendapatkan sanksi.

Pelanggaran agama akan dikenakan sanksi agama, pelanggaran adat akan dikenakan sanksi adat.

Dalam kasus ibadat tentu tidak terjadi perbedaan dan pertentangan karena adat semata hanya mengatur hubungan antar sesama manusia sedangkan ibadat mengatur hubungan antar manusia dengan Tuhan.

Namun karena agama tidak hanya semata mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan sesama. Untuk ini sering terjadi perselisihan dalam penentuan batas-batas antara perbuatan yang menjadi lahan agama dan perbuatan yang menjadi lahan adat.

Masyarakat Gayo mengenal istilah Syariet kin senuen, edet kin peger.

Istilah ini memberi makna kalau syariat tidak menyatu dengan adat, tetapi keduanya mempunyai peran yang penting.

Ibarat tanaman yang ditanam untuk memenuhi kebutuhan pokok bila tidak dijaga dengan baik maka akan banyak hama yang masuk dan merusak tanaman, demikian juga dengan pagar tidak hanya sekedar pagar tetapi harus disesuaikan dengan hama yang akan masuk, kalau hamanya besar dan kuat tentu saja pagarnya juga harus kuat, bila hamanya kecil maka pagarnya juga disesuaikan.

Untuk ini berbeda dengan palsafah adat Aceh pesisir yang mengatakan agama ngen adat lage zat ngen sifet, mereka mengatakan bahwa antara agama dan adat tidak bisa dipisahkan sama halnya dengan zat dan sifat yang melekat pada suatu benda.

Dalam pelaksanaan adat Gayo dapat kita tampilkan satu contoh :

Agama menyuruh orang-orang untuk menikah, disisi lain agama juga memberitahu orang-orang yang dilarang untuk dinikahi. Kemudian agama melarang juga untuk melakukan zina, dan perbuatan ini menjadi halal ketika sudah menikah dengan orang-orang yang tidak dilarang.

Lalu adat Gayo menjaga syariat ini dengan dengan melarang orang Gayo menikah sara belah/sara urang, tujuannya adalah untuk menjaga kemurnian pernikahan, karena bila dibenarkan menikah sara belah/sara urang maka akan sering terjadi perbuatan yang dilarang agama atau perbuatan yang mendekati kepada zinah.

Karena adanya pelarangan seperti disebutkan maka didukung juga dengan ungkapan lain yaitu, beru berama bujang berine.

Ini memberi arti antara laki-laki dan perempuan yang belum menikah saling menjaga harga diri keluarga, dan juga dintara mererka yang hidup satu belah dianggap satu keluarga dan saling menjaga kehormatan.

Banyak para ahli berpendapat kalau adat yang diterapkan dalam adat Gayo tersebut bertentangan dengan agama, karena dalam agama tidak ditemukan adanya larangan menikah sara urang/sara belah.

Namun bila didekati dengan syariet iberet senuen edet iberet peger, maka kaedah boleh perbuatan tersebut diatur dengan adat karena tidak adanya keharusan menikah sara urang/sara belah.

Masih banyak contoh yang ada dalam masyarakat yang mengajarkan kita pemilahan antara agama dan adat, sehingga dalam kajian selanjutnya perlu ada pamahaman tentang penggalian hukum dan penempelan hukum dari agama untuk adat. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.