Tauhid : Mengenal Angka Tidak Berbilang

oleh

Oleh : Dr. Jamhuri Ungel, MA*

Tauhid berasal dari kata wahid dan ahad artinya satu, esa atau juga diartikan dengan tunggal, kata ini berbentuk angka yang dapat dilihat dari dua sisi, dari sisi angka yang berbilang dan angka yang tidak berbilang.

Angka yang berbilang adalah angka yang mempunyai pasangan seperti wahidun, isnani, salasatun dan seterusnya atau satu, dua, tiga dan selanjutnya. Angka ini dapat digunakan untuk menghitung semua yang ada di alam ini.

Kata ahad yang tidak berbilang adalah angka yang tidak mempunyai pasangan sebagaimana angka berbilang, angka tidak berbilang ini digunakan untuk menyebut Khaliq Sang Pencipta yaitu Allah.

Allah menyebut diri-Nya dengan ahad yang tidak berbilang. Untuk memberi pemahaman kepada manusia tentang makna ahad ini adalah dengan menyebut tidak mempunyai hubungan kekeluargaan baik ke bawah dan ke atas, dan juga tidak menyerupai apapun yang ada dalam pengetahuan manusia.

Dalam hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah secara marfu’ (bersambung sanadnya sampai kepada Rasulullah) disebutkan : Pikirkanlah tentang makhluk dan janganlah kalian memikirkan tentang Khaliq, karena sesungguhnya Dia tidak diliput oleh pemikiran.

Di hadis lain (riwayat Ibn Hibban) disebutkan “pikirkanlah kekuasaan-kekuasaan Allah dan janganlah kau pikirkan Zat-Nya. Sesungguhnya kamu tak akan mampu memikirkan hakekat-Nya.

Pernyataan dalam ayat bahwa Allah tidak mempunyai kekerabatan dalam bentuk apapun dan tidak menyerupai apapun, akan menjadi perbuatan sia-sia apabila dipikirkan, karena sekuat apapun dipikirkan Zat Allah tidak akan pernah tergambar dalam pikiran manusia.

Manusia hanya mampu berpikir pada apa yang ada dan kalaupun dapat memikirkan apa yang belum ada pasti diawali dengan yang sudah ada, kalaupun upaya memikirkan Zat Allah tetap diusahakan dan tergambar maka mereka digolongkan kepada orang-orang yang musyrik.

Sudah menjadi tabiat bagi manusia untuk selalu berpikir lebih maju untuk menuju masa depan, sehingga kecerdasan seseorang dapat diukur dengan kemampuan berpikir untuk jauh ke depan.

Allah menggambarkan indahnya masa depan yang akan menjadi tempat tinggal mereka yang hidupnya selalu mengikut dan mengerjakan apa yang diperintah oleh Allah dan menghindari segala yang dilarang oleh Allah yakni surga, dan menggambarkan kesengsaraan mereka yang mengerjakan larangan Allah dan meninggalkan perintah Allah yang disebut dengan neraka.

Manusia berupaya membuat gambar indahnya tempat tinggal tersebut dengan membuat film-film yang membuat semua orang terpesona menontonnya, demikian juga dengan penderitaan bagi mereka yang tidak patuh pada perintah dengan siksaan yang sangat dahsyat.

Kendati tidak sampai kepada kebenaran apa yang mereka gambarkan karena Allah telah mengambarkan juga bahwa indahnya surga berada di luar nalar manusia, demikian juga dengan siksaan yang digambarkan manusia pastinya tidak mencapai pada tingkat kepedihan yang akan dirasakan kelak.

Bila keindahan surga dapat digambarkan di dunia tentu tidak lagi ada orang yang berharap masuk surga dan apabila pedihnya neraka bisa dirasakan di dunia pasti tidak lagi ada orang takut masih neraka.

Ketidakmampuan manusia membuat keindahan masa depan seperti yang dibuat Allah, ini menunjukkan ke-ahad-an Allah dalam mencipta dan mereka yang menganggap apa yang mereka ciptakan menyamai ciptaan Allah maka termasuk orang yang musyrik (menjadikan Allah sebagai ahad yang berbilang).

Karena itu sebagai orang yang berkeyakinan akan keahadan Allah, selalu meyakini keahadan Allah dalam penciptaan.

Sebagai orang yang beriman kita wajib meyakini bahwa Allah itu ada (wujud) kendati ke-ada-an Zatnya tidak ada dalam bayangan manusia. Manusia bisa mengenal/mengetahui adanya Allah melalui sifat-sifat-Nya dan melalui nama-nama-Nya yang telah disebutkan di dalam al-Qur’an, seperti adanya 20 sifat yang dimiliki dan 99 nama.

Dengan memahami dan mengkaji nama-nama dan sifat-sifat tersebut diketahui bahwa Allah itu mempunyai sifat yang berbeda dengan makhluk-Nya (mukhalafatuhu lil hawadits).Dia tidak memerlukan kepada yang lain (qiyamuhu binafsihi).

Kendati sifat-sifat yang dimiliki oleh allah ada pada makhluk-Nya tetapi secara tegas disebutkan berbeda, seperti mendengar, melihat, mengetahui dan lain-lain yang dimiliki manusia berbeda dengan mendengar, melihat dan mengetahui yang dimilikai oleh Allah.

Itulah makna mukhlafatuhu lil hawadits yang telah disebutkan.

Cara lain untuk mengetahui ke-ahad-an Allah adalah dengan meyakini bahwa semua yang ada selain Diri-Nya Allah adalah ciptaan-Nya.

Tidak ada yang mencipta selain Allah. Karena semua yang lain diciptakan maka semuanya mempunyai awal dan mempnyai akhir.

Manusia diciptakan, melahirkan dan mati selanjutnya berganti dengan manusia yang lain seolah merupakan hitungan tanpa akhir, padahal dalam hitungan sederhana, ada orang dilahirkan kemudian besar menikah dan tidak dapan melahirkan manusia yang lain, disini berarti hitungannya terputus, sementara orang lain hitungannya erlanjut karena masih melahirkan manusia yang lain.

Selanjutnya adalah perlu adanya pengetahuan kepemilikan, bahwa semua yang ada di alam adalah milik Allah tanpa kecuali, sehingga pada masanya nanti akan kembali kepada.

Kepemilikan makhluk terhadap sesuatu hanya bersifat pinjaman atas milik Allah atau berupa titipan dari Allah, karena sebagaimana disebutkan bahwa Allah ahad dalam penciptaan dan ahad dalam kepemilikan.

*Ketua Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.