BANDA ACEH-LintasGAYO.co : Focus Group Diskusi (FGD) atau dialog Reje Linge-The lost of Kingdom mengupas banyak hal yang diangkat terkait awal adanya Kerajaan Linge, perjalanan, wilayah dan dari berbagai sisi pragmen kerajaan Gayo itu.
Munawir Arloti, Sh.I mengupas soal kehadiran berdirinya Kerajaan Linge di dataran tinggi Gayo dan juga mengaitkannya dengan Loyang Mendale, Kebayakan Aceh Tengah.
“Sejak 8000 tahun yang lalu, orang Gayo sudah ada di di dataran tinggi Gayo,” kata Munawir.
“Tahun 1025 M, merupakan tahun dimana ada sebutan nama Reje Linge, adalah awal berdirinya Kerajaan Islam Linge, dengan rajanya Adi Genali,” kata Munawir.
Adi Genali, lanjutnya, adalah sebutan untuk raja Gayo, dia punya nama lahir lain, ada yang menyebut raja pertama Reje Linge, Jasimin, Ahmad Syarif.
“Tapi Adi Genali itu adalah sebutan untuk raja Gayo, berarti mulia dan agung dan Genali adalah pemimpin,” jelas Munawir.
Pemateri selanjutnya, Dr. Salman Yoga S mengupas soal pragment-pragment (penggalan-penggalan sejarah) perjalanan Reje Linge dan eksistensinya.
Pertama, Salman menyampaikan soal hikayat-hikayat dan tradisi lisan. Kemudian ia menjelaskan soal peran Meurah-Meurah dalam Kerajaan Linge.
Beberapa Meurah, kata Salman, king atau putra mahkota bukan anak sulung atau bungsu, siapa yang bertuah dengan akhlak, kemampuan, pengetahuan, keimanan dan keperibadian.
“Siapapun yang bertuah dari sekian anaknya maka dia dapat diamanahi tahta atau masyarakat dengan kriteria yang sama dapat menjadi raja. Jadi sistemnya bukan hirarki murni,” kata Salman yang juga adalah Dewan Pakar Pimpinan Wilayah Muhammadiah Provinsi Aceh ini.
Kehadiran Marcopolo dan Ibnu Batutah, lanjutnya, sebagai eksplor pada abad 12 dan sebelumnya juga menjadi referensi kuat bahwa Islam telah ada dan kuat dimasa itu.
“Catatan ibnu Batutah dalam tulisan bukunya Ar Risalah, dia mengaku dia disambut dengan pasukan gajah dan pasukan berkuda, dan orangnya sudah Islam. Saya ditempatkan di sebuah tempat, dan diiringi syair-syair,” ujar Salman.
Selanjutnya, Salman juga mengupas banyak pragment-pragment lainnya mengenai Reje Linge. Diantaranya peran Meurah Johansyah dalam menaklukkan pasukan Cina di Kutaraja, mendirikan kota Banda Aceh serta menjadi Sultan pertama Kerajaan Islam Aceh.
Sementara itu, pemateri terakhir adalah Iwan Setiawan dengan materi pendekatan kebudayaan secara milenial.
Iwan berharap, melalui FGD tersebut generasi milenial dapat mengenal dan mengetahui ketokohan dan sejarah kerajaan-kerajaan Linge melalui pementasan yang akan di garap pada bulan April mendatang.
“Ketika ini kita diketahui, generasi sekarang tutup mata akan sejarahnya. Kita selalu berbicara sejarah, namun tidak mendekatkan sejarah kepada generasi hari ini,” kata Iwan.
Iwan juga berharap agar Dana Otsus juga dapat digunakan untuk kepentingan-kepentingan sejarah seperti kegiatan pementasan untuk menyuguhkan sejarah kepada generasi muda.
Menurutnya, banyak Otsus Aceh digunakan untuk hal-hal yang tidak berdampak pada sejarah-sejarah Aceh di masa lalu, termasuk sejarah Reje Linge di Gayo.
Dana otsus kita digunakan untuk tari-tari ngikut gaya barat. Dana aspirasi membuat pementasan malahayati.
Ia berharap, adanya dana untuk pementasan sejarah yang berdampak banyak bagi generasi muda saat ini.
Iwan memberikan gambaran seperti pembuatan film Cut Nyak Dhien pada 1990, menghabiskan anggaran mencapai 1 miliar.
“Namun banyak manfaat yang diketahui generasi muda akan kehadiran film ini,” jelasnya.
FGD yang dilaksanakan bertempat di Museum Aceh itu dihadiri oleh sejumlah seniman, mahasiswa, akademisi dan tokoh. Diantaranya Prof. M. Din, Dr. Jamhuri, Dr. Ali, Dr. Yahya Kobat, Syamsul Bahri M.Pd, Yudi (BPCB-BPK 1 Aceh), Politisi Nasir Jamil, Khatibul Wali Lembaga Wali Nanggroe, unsur Majelis Adat, Kabid Kebudayaan Dikbud Kab. Bener Meriah, Tim Ahli Cagar Budaya dari beberapa kabupaten dan lain-lain.
[SP]