Oleh : Maharadi*
Dalam rentang waktu 1898 – 1901, Gubernur Aceh, Van Heutz memerintahkan ajudannya untuk membuat Peta Negeri Gayo.
Peta disusun berdasar data – data yang dikumpulkan. Ciri-ciri Geografi seperti puncak- puncak Gunung- Bukit, Lembah dan Sungai di kumpul dan diuji di lapangan. Tidak semua benda-benda Geografi dapat dipetakan secara akurat, sebagian besar berdasarkan asumsi dan hipotesa.
Batas antara satu wilayah dengan wilayah lain di gambarkan tidak berdasarkan posisi yang sesunguhnya, terutama untuk lokasi-lokasi yang belum ada pemukiman.
Setiap wilayah pemukiman digambarkan berdasarkan pendekatan kondisi alam, budaya (wilayah pemerintahan), dan pendekatan-pendekatan ekologis.
Peta yang belum sempurna di tahun 1901 (diterbitkan tahun 1903) untuk wilayah Gayo – Alas, pada tahun 1972 di gambar ulang oleh jawatan Topografi Angkatan Darat Republik Indonesia sebagaimana peta yang digambar pada tahun 1901 asumsi dan hipotesa yang digunakan pada tahun 1901 pendekatan kewilayahan berdasarkan budaya (kepemerintahan Reje Gayo) tetap digunakan. Sehingga, hal ini dijadikan rujukan sebagai peta batas wilayah kepemerintahan sampai dengan saat ini.
Padahal, budaya di beberapa daerah menjadi terbelah seperti dipasir putih jagung, Tanoh depet, celala dan pantan lah, Bener Meriah serta pasir putih Syiah Utama.
Masyarakat yang berdomisili di wilayah-wilayah tersebut terakhir adat dan budayanya lebih dekat kepada masyarakat Gayo yang mendiami wilayah pengunungan di bandingkan dengan masyarakat yang berdomisili di wilayah pesisir.
Penetapan tapal batas wilayah seperti yang terjadi di Tanoh Depet Kecamatan Celala Aceh Tengah sama sekali tidak memperhitungkan faktor adat dan budaya padahal tapal batas itu sendiri pada awalnya hanya berdasarkan asumsi dan hipotesa yang belum teruji.
Haruskah asumsi dan hipotesa tersebut dijadikan sebagai dasar pemisahan wilayah yang lokasinya lebih dekat ke berawang Gadeng kecamatan celala dibandingkan dengan ibukota kecamatan terdekat di kabupaten Nagan Raya.
Diskusi sabtu besok dengan Thema “Penetapan Tampal Batas Wilayah dan Penolakan, Akar Masalah serta Pencarian Solusi” di Cafe Oz Kampung Lemah Burbana menjadi panggung bagi kita semua untuk mendalami implikasi nyata dari pemisahan wilayah yang mungkin tidak memperhitungkan perubahan budaya dan adat di lapangan. Membuka ruang untuk suara kritis terhadap proses ini dapat menjadi langkah awal dalam merumuskan solusi yang lebih inklusif dan adil.
Mari kita bersama-sama mengukap kontraversi wilayah ini dengan kebijaksanaan, membawa pandangan yang mempertimbangkan kearifan lokal dan menggali potensi solusi yang dapat menghormati keragaman budaya.
Dan diskusi ini tidak hanya tentang Tanoh Depet, namun juga tentang bagaimana kita sebagai masyarakat dapat belajar dari sejarah pemetaan yang kompleks ini untuk menciptakan pemahaman yang lebih baik tentang identitas wilayah kita.
Semoga tulisan ini dapat menjadi pijakan bagi pembicaraan mendalam dan konstruktif pada diskusi sabtuan besok, menciptakan pemahaman bersama dan membawa kita menuju penyelesaian yang adil dan berkelanjutan.
*Penulis adalah Pemerhati Politik, Sosial dan Budaya, dan wartawan LintasGAYO.co