Refleksi 78 Tahun PGRI

oleh

Oleh : Darmawansyah*

Fenomena pendidikan yang makin hari makin menunjukkan dilema yang sangat membuat ketidaknyamanan para praktisi pendidikan, kontradiksi antara tujuan pendidikan dengan proses dan hasil pendidikan yang makin tidak menunjukkan linieritas yang sepadan sehingga masih menghasilkan manusia yang hilang identity kemanusiaanya dengan menunjukkan sikap dan prilaku di luar dari nilai-nilai kemanusiaan dan Pendidikan itu sendiri.

Disadari atau tidak, bagaimana fenomena anak didik yang masih menjadi momok bagi para guru dengan kekangan Undang-Undang perlindungan anak dan HAM sehingga guru sangat berhati-hati dan bahkan takut untuk menegakkan kedisiplinan pada lembaga pendidikannya saat ini.

Baru-baru ini seorang guru honor dituntut dan di jerat hukum dikarenakan menegur anak didiknya untuk melaksanakan sholat berjamaah. Belum lagi fenomena lainnya terjadi dengan berbagai macam bentuk dan karakternya.

Kita mengenal bahwa Pendidikan itu tidak hanya pada Lembaga Pendidikan yang menjadi wadah untuk menjadikan generasi yang baik, ada tiga wadah atau tempat menjadikan manusia itu menjadi baik yakni keluarga, lembaga pendidikan dan masyarakat.

Namun disadari atau tidak pendidikan saat ini hanya dibebankan pada lembaga prlendidikan, dua wadah (keluarga dan masyarakat) lainnya dianggap tidak berpengaruh dalam membentuk kepribadian anak.

Seolah lembaga pendidikan adalah satu-satunya wadah pendidikan yang menjadikan manusia sebaik-baiknya.

Dalam Undang-Undang Sisdiknas telah memberikan gambaran umum bahwa pendidikan itu tidak hanya pada peran lembaga pendidikan namun masyarakat dan keluarga juga memiliki peran yang sangat dominan terutama keluarga berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anak didik begitu juga masyarakat memberikan dukungan dalam mengembangkan anak didik.

Namun demikian, peran lembaga pendidikan terpokus pada peran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan pada generasi bangsa.

Tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Namun apakah proses pendidikan saat ini telah menjadikan tujuan Pendidikan tersebut sebagai jalan dalam menjalankan pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan saat ini?

Sudahkah sesuai proses yang berjalan saat ini dengan apa yang diharapkan oleh tujuan Pendidikan Nasional yang terumus dalamUndang-Undang Sisdiknas tersebut?

Faktanya, pendidikan kita masih mementingkan kemampuan intelektual dan mengenyampingkan kemampuan spiritual dan emosional.

Materi ajar kita masih membubuhi isi dengan konten-konten intelektualitas dan mengenyampingkan nilai religi dan emosional, walaupun ‘katanya’ materi ajar tersebut harus dibarengi atau dikaitkan dengan nilai-nilai religi dan emosional dalam pembelajarannya.

Perbuatan ini sangat tidak relevan ketika ingin menanamkan nilai religi dan nilai emosional dalam diri peserta didik.

Dalam hal pendidikan akhlak dan agama nilai tersebut tidak ditanamkan dalam bentuk teori pada awalnya namun di lakukan dengan aplikasi/praktek yang berkelanjutan dan berkesinambungan.

Raslululah SAW telah memberikan gambaran dalam sabdanya, dalam salah satu sabdanya tentang Pendidikan yakni “suruhlah anakmu shalat Ketika ia berumur tujuh tahun dan pukullah (Ketika tidak mau shalat) Ketika ia berumus sepuluh tahun”.

Ini menunjukkan bahwa penanaman nilai religi itu tidak di lakukan dengan memberikan teori namun dengan mengaplikasikannya secara berkesinambungan.

Dengan demikian, dalam cacatan lain dapat kita mengetahui bahwa pentingnya menanamkan nilai-nilai religi pada rentang usia yang di sebutkan oleh Rasulullah tersebut sebagai acuan dalam menanamkan kepribadian yang di harapkan oleh Pendidikan yang tertuang dalam tujuan pendidikan nasional di atas.

Dilema lainnya dalam pendidikan adalah ketidakmampuan anak didik dalam menguasai materi dasar keilmuan yang menjadi dilema tersendiri bagi guru/tenaga pendidik pada lembaga pendidikan menengah pertama.

Di mana anak didik lulusan sekolah dasar masih tidak mampu membaca (latin maupun arab) dan tidak mampu membaca tulisan yang ditulisnya sendiri, apa lagi untuk mengenal makna kalimat yang dibaca.

Fakta lainnya termuat ‘pemaksaan’ kepada anak-anak TK yang harus mampu membaca dan menulis saat lulus dari TK dimana ia sekolah. Semua ini telah keluar dari konteks Pendidikan yang sebenarnya.

Tidakkah Pendidikan itu merupakan mengembangkan potensi manusia sesuai dengan proses perkembangnnya? Tidakkah seorang anak manusia diciptakan tidak sama?

Tidakkan manusia itu berproses dalam perkembangannya? Namun kenapa harus menyamakan setiap anak manusia dalam memahani pengetahuan dan bahkan menetapkan usia tahun masuk anak didik pada lembaga pendidikan awal?

Fenomena tersebut telah menjadi pekerjaan rumah yang terabaikan, dan hanya sebagai momok yang membosankan sehingga hanya memikirkan bagaimana menghadapi era-era mendatang namun tanpa memperhatikan apa yang terjadi saat ini.

Seminar, whorkshop dan kegiatan lainnya hanya mengkaji dan membahas bagaimana Pendidikan di luar sana (firlandia misalnya), bagaimana mereka bisa memberikan hasil pendidikan yang baik, namun kurang melihat Pendidikan di negeri sendiri, bagaimana Pendidikan Indonesia saat ini dengan berbagai permasalahannya.

Setidaknya lembaga keprofesian seperti PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) memiliki andil dalam membangun negara, terutama dalam bidang pendidikan yang tidak hanya mengikuti dan menjalankan kebijakan pemerintah namun mampu memberikan masukan kepada lembaga begara dalam merubah orientasi proses pendidikan sehingga outcome dari setiap tingkat Lembaga Pendidikan itu jelas tidak absurd.

Kerusakan moral generasi bangsa seperti yang penulis sebutkan di atas, ini menujukkan kurangnya penanaman nilai-nilai religi dan emosional sehingga mengakibatkan prilaku menyimpang dan salah dalam merespon teguran guru.

Kemampuan Calistung (baca, tulis, dan berhitung) yang menjadi alat dasar dalam memahami dan mengembangkan pengetahun juga menjadi sebuah dilema yang harus diperhatikan.

Dua dasar pengetahuan tersebut menjadi pondasi setiap manusia dalam menjalankan kehidupannya di dunia ini.

Setidaknya Ketika kita ingin menjalankan tujuan Pendidikan Nasional yang tercantum dalam Undang-Undang Pendidikan Nasional maka yang menjadi dasar adalah memperkuat Pendidikan Agama dan Calistung (Baca, menulis dan berhitung) pada Pendidikan rendah yakni Sekolah Dasar / Madrasah Ibtidaiyah.

Sesuai dengan makna sabda Rasulullah yang penulis kutip di atas bahwa Pendidikan Agama yang didalamnya tidak hanya pada pengaplikasian kegiatan ritual keagamaan namun penanaman nilai akhlak juga inklud didalamnya dijalankan pada usia anak 7 s/d 10 tahun yang merupakan anak dengan perkembangan proporsional dalam penanaman nilai-nilai religi dan emosional.

Begitu juga dengan penguatan penanaman ilmu dasar bagi anak didik yakni baca, menulis dan berhitung. Setidaknya tiga tahun awal (kelas I (satu) s/d kelas III (tiga)) merupakan tahun-tahun di mana ilmu dasar tersebut ditanamkan pada anak didik sebagai penguat ilmu pengetahuan yang akan didapatkannya pada tingkatan yang lebih tinggi.

Dasar pengalaman yang penulis dapatkan bahwa Lembaga Pendidikan dasar saat ini masih fokus pada materi ajar yang tertera dalam buku paket yang di sediakan pemerintah, hanya sebutan kurikulumnya saja yang berbeda.

Sehingga focus guru hanya menyampaikan materi ajar yang ada pada buku paket yang tersedia.

Pada tahap kelulusan di tingkat Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah bahan ujian atau apalah Namanya sebagai bahan evaluasi tidak pernah mengambil materi dari kelas I (satu) s/d kelas III (tiga) dan materi evaluasi selalu di ambil dari materi-materi ajar kelas IV (empat) s/d kelas VI (enam), ini menunjukkan bahwa tidak begitu penting materi ajar dari kelas satu s/d kelas tiga tersebut.

Karenal seyogyanya tiga tahun Pendidikan awal di kelas rendah tersebut digunakan pada materi-materi ajar yang dapat memperkuat nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan yang Maha Esa dan pengetahuan dasar yang mampu memberikan bekal pada anak ini dalam menghadapi masa depan mereka.

Oleh karenanya, peran PGRI sebagai lembaga keprofesian yang kini telah mencapai usia 78 tahun setidaknya bukan menjadi lsmbaga yang hanya melakukan demonstrasi Ketika salah satu anggotanya terjerat hukum, tidak juga menjadi lembaga yang hanya ikut mengiyakan sebuah kebijakan pemerintah berkaitan dengan Pendidikan.

Setidaknya PGRI sebagai Lembaga keprofesian ini menjadi sebuah Lembaga yang berperan aktif memberikan sebuah rekontruksi Pendidikan yang berupaya dalam membangun dan melaksanakan tujuan Pendidikan Nasional sesuai dengan proses Pendidikan di lapangan. Allahu A’lam.

*Penulis adalah Kaur Tata Usaha Pada MTsN 7 Aceh Tengah.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.