Oleh : Hammaddin Aman Fatih*
Hasrat dan mimpi serta kerinduan umat manusia untuk menciptakan dunia yang damai abadi, tanpa peperangan, dengan umat manusia dari segala bangsa dapat hidup rukun bersama di atas planet bumi ini kelihatannya masih jauh dari namanya kita sebut tercapai.
Suatu bentuk kekerasan melanda dunia kita sekarang yang trend/viral mencoret berita media massa dunia, yaitu pembantai anak manusia di jalur Gaza.
Ketika sudut-sudut daerah alur Gaza makin memerah, bersimbah darah. Ketika pita seluloid makin terulur panjang mengabadikan luka dehumanisasi manusia atas manusia.
Ketika kenestapaan, keterhempitan, kehinaan, ketidakberdayaan manusia-manusia tertindas telah menjadi sekumpulan kosa kata yang laris mencoreti media-media massa dunia.
Dan ketika kultur barbarisme kian membudaya pelosok-pelosok wilayah jalur Gaza. Lalu, apakah sekedar upaya meneteskan air mata masih cukup bermakna?
Barangkali jika sekedar persembahan tetes-tetesan air mata, sekedar ultimatum yang hampa perwujudan. Sekedar retorika yang bias makna, rasanya telah lebih dari cukup untuk dibilang menyakitkan.
Apakah ketika bahasa kekuatan hadir sebagai satu-satunya wacana yang bisa dibaca oleh para pengabdi kebiadaban. Mereka masih saja mereka diam.
Mereka hanya mengutuk, mengecam, mereka hanya menggagasi lahirnya sebuah konferensi internasional yang hanya akan merundingkan perundingan.
Apakah ketika naluri kekuasaan telah begitu mendarah daging merasuki jiwa para durjana kemanusiaan. Mereka tetap masih mencoba untuk tetap tegar mengenankan atribut-atribut diplomasi serta sibuk menyapa tetangga dengan jorgan-jorgan verbal bahasa hubungan internasional.
Belum cukupkah cerita-cerita seram pengabdian dekonstruksi peradaban dijelaskan? Lantas, kemanakah raibnya simpati mereka? Mana ujut HAM yang selalu mereka teriakan?
Telah begitu redupkah sisi sense of quity yang semestinya mereka punyai. Ternyata mereka hanya mampu, hanya sanggup menjadi penonton opera pembantaian di jalur Gaza sekarang.
Jadi mungkin hanya sebatas spons apatis itukah yang mampu mereka lakukan. Hati mereka sudah tertutup, tiada lagi rasa iba mereka melihat mendengar, rintihan anak-anak Gaza yang menghiba “izinkanlah kami untuk tidak jadi mayat hari ini”.
Peduli Gaza
Jalur Gaza adalah sebuah wilayah yang terletak di pesisir barat Palestina. Wilayah ini memiliki sejarah yang kaya namun juga sering kali menjadi pusat konflik yang kompleks antara Palestina dan Israel. Wilayah ini dikelilingi oleh pagar dan blokade yang diawasi oleh Israel dan merupakan kota suci tiga agama (Islam, Kristen dan Yahudi).
Jalur Gaza sering kali mengalami kondisi yang sulit, termasuk keterbatasan akses terhadap sumber daya, masalah kemanusiaan, dan ketegangan politik yang berkepanjangan. Banyak organisasi bantuan internasional yang terlibat dalam usaha membantu memperbaiki situasi di wilayah ini.
Jalur Gaza saat ini masih dibombardir secara intensif Israel, sebagai bagian dari balas dendam atas setelah serangan kelompok bersenjata Hamas pada 7 Oktober 2023 lalu.
Akibatnya, sebanyak 2,3 juta penduduk wilayah kantong Palestina tersebut terpaksa mengalami hukuman kolektif yang berujung pada krisis kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Sebulan lebih sudah berlangsung bombardir, korban tewas akibat agresi brutal Israel ke Jalur Gaza, Palestina, melebih jumlah korban tewas di perang Rusia Ukraina dan Tel Aviv belum menunjukkan tanda-tanda gencatan senjata.
Kepedulian saat ini terhadap Jalur Gaza dan penduduknya adalah hal yang penting mengingat kondisi yang sulit yang mereka hadapi. Bantuan, baik dalam bentuk sumbangan keuangan, dukungan medis, pendidikan, maupun bantuan kemanusiaan lainnya, dapat sangat membantu meringankan penderitaan yang dialami oleh warga Gaza.
Berbagai organisasi bantuan, baik lokal maupun internasional, sering kali melakukan upaya untuk memberikan bantuan kepada penduduk Gaza yang membutuhkan.
Selain bantuan langsung, penyebarluasan informasi tentang situasi di Gaza dan upaya untuk meningkatkan pemahaman global terhadap tantangan yang mereka hadapi juga merupakan langkah penting dalam upaya membantu masyarakat Gaza. Semakin banyak kesadaran yang dibangun, semakin besar kemungkinan untuk mendapatkan dukungan lebih lanjut.
Memahami kepedulian kita terhadap Gaza, memberikan bantuan bisa melalui beberapa cara. Anda dapat mendukung lembaga amal yang aktif di Gaza dengan menyumbangkan dana atau barang kebutuhan yang mereka butuhkan. Menjadi penggiat sosial dengan menggalang dana, membagikan informasi, atau menjadi relawan juga dapat sangat membantu.
Penutup
Demikianlah kenyataan dunia kita kini, mendekati kehancurannya, yang mewarisi satu struktur dunia yang tidak adil, yang dibangun oleh kekuasaan-kekuasaan imperalisme dan kapitalisme tanpa kita. Malahan kita adalah korban mereka.
Struktur internasional lama yang tidak adil ini tidak lagi dapat bekerja dengan baik. Sudah waktunya untuk dirubah menjadi struktur internasional baru yang lebih adil dan lebih sanggup menjamin keselamatan umat manusia di seluruh pelosok planet bumi ini.
Kita harus sangat mengapresiasi keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 83 Tahun 2023, berisi tentang hukum dukungan terhadap Palestina. Dalam fatwa ini tertuang bahwa mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina atas agresi Israel hukumnya wajib.
Sebaliknya, mendukung Israel dan mendukung produk yang dukung Israel hukumnya haram.
Artinya jangan membeli produk-produk dari produsen yang secara nyata mendukung yang berbau mensponsori Israel menginvasi Palestina baik langsung maupun tidak langsung, sebagai salah satu bukti terkecil bahwa kita mendukung Palestina.
Ada juga yang mengsher di grup WhatsApp mengatakan “tugasmu saudara muslimin Indonesia, tak perlu memegang senjata pergi ke Palestina, cukup pegang HP ini dan bantu sebar kebiadaban genosida Israel atas Palestina agar semesta melihat kebiadaban itu, karena memviralkan video kejahatan Zionis Israel sama halnya anda jihad bersama orang Palestina”.
Don’t Cry Gaza do’a kami akan terus mengiringi detakan nadimu semoga rakyat Palestina diberi kekuatan, keselamatan dan segera mengwujudkan Palestina Merdeka.
*Penulis adalah antropolog, penulis buku People of the Coffee dan Opini Cekgu yang berdomisili di seputaran kota Takengon.