Oleh : Fauzan Azima*
Sekarang kita sedang berlakon pada zaman Kaliyuga. Zaman di mana umur manusia pendek. Kejahatan memakai jubah kebaikan. Agama dan spiritualisme dijadikan sarang para penjahat yang pura-pura baik.
Kita hidup dari kasih sayang para angkara murka. Kita disubsidi para koruptor karena akses pembiayaan halal tiada lagi peluang. Sehingga kita harus membenarkan sesuatu yang salah demi daripada mati hari ini lebih baik mati besok.
Keadaan demikian membuat beberapa tokoh di negeri ini mencari cara untuk survive. Baik dari sisi politik maupun ekonomi. Termasuk melakukan perkawinan politik dengan mencari ayah mertua yang berpengaruh dan tentu saja si perempuan yang punya tuah.
Sebuah ungkapan populer, dibalik kesuksesan seorang suami ada dorongan seorang istri. Beberapa tokoh faham betul makna istri bertuah tersebut. Namun demikian banyak juga yang terjebak dalam kendali istri.
Tidak jauh beda dengan seorang pimpinan militer dan politik Prancis, Napoleon Banaparte keluar dari istana dengan membusungkan dada, sedangkan ketika memasuki gerbang istana dia membayangkan istrinya Marie Louise dari Parma, dia membungkuk.
Seorang tokoh birokrat menikahi perempuan bertuah dan dari rahimnya lahirlah empat orang putri yang cantik dan rupawan. Setelah dewasa, gadis-gadis itupun menikah dengan lelaki pujaannya.
Setelah ayah dari empat putri itu menjabat sebagai bupati. Ke-empat menantunya secara otomatis menjadi kibus. Orang-orang yang faham menyebutnya, “Empat orang kibus di pendopo.”
Sebagai mana manusia lainnya, para kibus itu punya kelebihan dan kekurangan. Kibus kesatu menikah dengan putri sulung. Dia seorang Apah berseragam yang aktif. Tidak seperti Apah berseragam lainnya yang cenderung kasar. Tapi ini bukan sembarang Apah. Yang ini sifatnya sangat lembut. Ada yang mengatakan, sifat keibuannya lebih dominan.
Kibus kedua menikah dengan putri kedua. Dia berasal dari keluarga yang sederhana. Dulu mereka memang saling mencintai. Tapi begitu mertuanya jadi bupati, istrinya merasa kastanya meningkat.
Kibus ketiga seorang wiraswasta yang menikahi putri ketiga. Meski kibus itu anak tunggal, dia tidak cengeng. Anak semata wayang itu punya sifat sangat bertanggung jawab. Dia berusaha mandiri dalam menghidupi keluarganya.
Kibus ke-empat juga Apah berseragam yang menikahi putri bungsunya. Kibus ini pergaulannya luas. Dari anak kecil sampai dewasa bisa menjadi kawannya. Jiwa sosialnya cukup tinggi. Jika dia melihat orang menderita, tanpa pamrih dia akan menolongnya.
Keberadaan empat orang kibus di pendopo kerap diperbincangkan. Tapi terungkapnya banyak kasus atas dugaan penyelewengan dana akhir-akhir ini justru bukan bocor dari menantu yang bermain-main di pendopo. Selidik punya selidik, ternyata dari orang-orang yang menjadi korban bupati sendiri.
(Mendale, November 4, 2023)