Oleh : Kenara Seni*
Secangkir kopi espresso arabika plus gula aren yang disajikan oleh pramusaji cafe kepadaku. Sembari menawarkan ke salah satu pengunjung semeja disebelahku bernama pak Ozom dan pak Ronorene
“Bapak minum hana?” tanya pramusaji itu.
“Nong Sarmin deh,” jawab pak Ozom.
Celotehan Pak Ronorene masih menyelimuti obrolan kami dan tak hentinya menjelaskan tentang keunggulan kandidat yang diusungnya, seakan memaksa masuk ke alam bawah sadarku.
“Calegma lagu gere arape le spanduk e?” Tanya pak Ozom penasaran.
“Ike langkah ini, Len kite oboh carae, kite spanduk Gere perlu, kite si penting dor to dor,” jawab pak Ronorene bersemangat.
“Yah…Oya mantap carae, tapi, Ike ni gereke nge betempat mien?” Tanya pak Ozom sambil berkelakar.
“Yah, Ike Oya o” jawab pak Ronorene dengan suara lembut, sambil menyambut gelak tawa itu pecah.
Suasana hangat itu hampir tiap waktu kami rasakan di negeri diatas awan ini. Persahabatan kami membawa keakraban, sifat iri dan dengki tidak pernah kami rasakan, kami terbuka, saling menjaga rahasia, tidak ada siasat jahat dan saling menasehati.
Wangi aroma kopi Arabika Gayo seakan mencemari udara dan membangkitkan gairah tawa seakan dekat dengan dinding surga.
Tiin…tiin… Suara klakson mobil terdengar di pinggir jalan, mobil hitam terparkir mengisyaratkan sesuatu.
“Oya Gere pongmu si ngleksona?” Tanya pak Ozom kepada Pak Ronorene.
“Yah…betul, nge sawahpe ponga ari paluh. Ini bis kite we! pongni nesue sengit, ucit. Jadi kali ini kite prael mulo!” Menjelaskan maksud pak Ronorene kepada kami dengan semangat.
Aku dan pak Ozom seakan terbius, saling memandang dan hati kami bisa merasakan apa yang akan terjadi nantinya, tapi biasanya, ada cerita bahagia yang kami bagikan saat pertemuan selanjutnya.
“Aku beluh boh, mohon doa dan dukungan,” teriak pak Ronorene, sambil menenteng selembar map.
“Oke, dilanjut” jawab kami serentak.
(Gelelungi, 1 November 2023)