Membangun Perpustakaan Pada Kawasan Rawa Menimbulkan Rasa Khawatir Pembaca Dan Mengancam Nyawa Manusia

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Pemerintahan tahu persis, penyebab banjir di Kota Takengon akibat sedimentasi dan menumpuknya sampah pada saluran irigasi. Sepatutnya mereka menganggarkan pembersihan saluran derainase untuk mengantisipasi banjir yang selalu melanda kota yang terletak di sisi Danau Lut Tawar.

Sejak tahun 2017, Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah tidak pernah menggelontorkan dana untuk galian pembersihan sedimen dan pengangkatan sampah. Dengan sikap seperti itu, masyarakat dengan mudah membuat kesimpulan bahwa Pemda Aceh Tengah tidak ramah banjir atau tidak peduli terhadap warganya yang terdampak banjir.

Pada tahun 2018 pernah dianggarkan perencanaannya, tapi batal akibat terlambat tender. Sedangkan pada tahun 2019 ada perencanaan, tetapi realisasinya fisiknya tidak ada. Kok bisa begitu ya. Seharusnya pemerintah menjelaskan kepada masyarakat apa masalahnya dari tahun ke tahun tidak ada pembersihan irigasi di Kota Takengon.

Hal tersebut diperparah lagi dengan tidak ada koordinasi dan kerja sama sistem pembangunan drainase yang berhubungan dengan ruas jalan nasional, provinsi, kabupaten dan kawasan pemukiman. Balai Pusat Kementerian PU hanya membangun jalan tapi tidak ada drainase.

Sumber air yang berpotensi membuat banjir kota Takengon adalah Bukit Menjangan, Singah Mata, Wih Decer mengalir ke Paya Tumpi Baru. Kemudian menumpuk di Simpang Paya Tumpi. Lalu sebagian air menuju ke Paya Bata Kuli di Pinangan atau Patok 100, yaitu lokasi proyek pembangunan Gedung Fadilitas Layanan perpustakaan Umum dari sumber anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) yang ditender di Aceh Tengah.

Pejabat berwenang yang selalu berkutat dengan peraturan dan perundang-undangan pasti tahu kawasan yang sedang dan akan dibangun perpustakaan itu peruntukannya merupakan kawasan lindung, buffer zone (kawasan penyangga) dan daerah resapan air.

Bagi siapapun pejabat yang berwenang dilarang menerbitkan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Jelas dan sangat jelas pembangunan perpustakaan itu tidak sesuai dengan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Aceh Tengah dan RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) kawasan perkotaan.

Tentu saja pemerintah menetapkan RTRW dan RDTL telah melalui kajian yang mendalam dengan studi akademik yang bertujuan untuk menyelamatkan ummat manusia dan lingkungan. Lagi-lagi sepatutnya penanganan rawa bukan dengan reklamasi. Apalagi mendirikan bangunan di sana. Tapi dengan mengangkat sedimentasi dan sampah dari rawa tersebut.

Kata “dilarang” harusnya menjadi interes dalam membangun pada suatu kawasan rawan bencana. Dilarang atau larangan merupakan perintah (aturan) yang melarang suatu perbuatan, baik lisan maupun tulisan melalui peraturan perundang-undangan dengan tujuan untuk menjadikan rasa nyaman dan keberlangsungan hidup manusia.

Bukan sebaliknya menimbulkan rasa khawatir dan membunuh manusia. Jadi membangun perpustakaan pada rawa memenuhi unsur rasa khawatir dan berpotensi membunuh manusia.

(Mendale, Oktober 12, 2023)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.