Oleh : Fauzan Azima*
Pang Sukat adalah serinen seperjuangan pada masa konflik Aceh-Jakarta. Beberapa waktu lalu, saya bertamu ke rumahnya dekat gerbang pintu masuk Stadion Buntul Nege Blangsere, Blangkejeren, Gayo Lues.
Setelah kami bercerita tentang suka duka dan keseruan masa perang, tiba-tiba datang seseorang memberi tahu, bahwa persoalan di kampungnya belum juga selesai.
“Apa lagi masalahnya?” tanya Pang Sukat agak kecewa.
“Aman Polan tidak punya dana untuk membayar dendanya” jawab seseorang itu datar.
“Oh, ternyata, kalau dalam huruf tiga puluh adalah huruf sin. Hanya saja masalah sin besar atau sin kecil?” Kata Pang Sukat emosi.
Kehadiran saya di rumah Pang Sukat kala itu adalah kecelakaan sejarah. Saya bertamu pada saat keluarga besar itu sedang ada masalah.
Begitupun, bagi saya bisa mendapat pengetahuan baru dari Pang Sukat, bahwa seluruh persoalan di dunia ini ada dalam huruf hijaiyyah. Setidaknya arti “sin kecil dan sin besar” adalah sen atau uang kecil dan uang besar.
Fikiran saya pun menjadi liar. Beberapa pejabat di kampung saya banyak menuai masalah, barangkali karena namanya diawali dengan aksara “sin.”
Puncak dari ilmu pengetahuan adalah tauhid atau tahu diri. Pencapaian ranah pemahaman tauhid dimulai dari nama. “Siapa yang mengenal namanya, dia akan mengenal dirinya dan siapa mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya.”
Makna dari “nama” itu sendiri adalah jujur. Susunan dari huruf-huruf menjadi nama itu kita bisa tahu “perakalan” dari penyandang nama itu. Jadi seperti rasa, nama itu tidak pernah bohong.
Apalagi kalau nama itu sudah dipopulerkan lewat lirik lagu, tentu akan menjadi petunjuk kepada diri. Misalnya lagu negeri jiran Malaysia “Isabella” dalam syairnya tertulis “Cinta gugur bersama daun-daun kekeringan.” Bermakna jangan berharap kasih sayang, jangan berteduh berteduh, apalagi berharap untung.
(Mendale, Agustus 27, 2023)