Antara Buet Kemali dan Sengkarut Elit Birokrat Negeri Kami

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

PERINGATAN Hari Kemerdekaan RI ke 78 telah berlalu. Selama selebrasi itu, masyarakat larut dalam tumpahan suka cita; bergembira dengan aneka permainan dan hiburan lain. Namun tidak bagi Mirzuan, penjabat Bupati Aceh Tengah. Dia terlihat murung. Terutama setelah upacara penurunan bendera “dikudeta” oleh Subandi, sekretaris daerahnya.

Entah siapa yang salah. Menurut satu sumber, inspektur upacara mengonfirmasi kepada Mirzuan bahwa dirinya tidak ikut upacara penurunan bendera. Tapi menurut sumber lain, upacara penurunan bendera Merah Putih pada sore 17 Agustus 2023 sengaja dipercepat untuk mempermalukan Mirzuan.

Sore itu, iring-iringan mobil Mirzuan dan Forkopimda yang mengikuti mobil patwal, telah tiba di rumah dinas Kapolres. Ternyata acara sudah dimulai. Mirzuan pun pulang ke pendopo dengan rasa sedih, sementara anggota Forkopimda lain bergabung dalam barisan upacara, walau terlambat. Tidak hanya itu, saat resepsi pembubaran pengibar bendera, Subandi disebut tidak memberi kata penghormatan kepada atasannya itu, penjabat bupati.

“Belum pernah terjadi sebelumya seperti ini di negeri Malem Dewa ini. Kita sadar telah berlalu soal lobi-lobi menjadi penguasa. Tapi yang kalah harus fair. Bukan malah mengudeta penurunan bendera. Sungguh buet kemali. Tidak mungkin dia tidak tahu etika berperintahan,” kata seorang birokrat senior menyesalkan sikap Subandi dalam dua insiden itu.

“Kudeta” upacara penurunan bendera adalah puncak mempermalukan rival. Sejak Mirzuan ditunjuk sebagai penjabat, disusun berbagai cerita dan bata-bata kebencian untuk menjatuhkan Mirzuan di tengah jalan. Jika benar, masyarakat yang mengetahui hal ini mempertanyakan sikap Subandi itu dan meminta dia, Subandi, dikeluarkan dari korps alumni a-pe-de-en dan Lemhanas.

Supaya tidak menjadi perbincangan liar di masyarakat, sebaiknya Mirzuan dan Subhandi mengklarifikasi soal “kudeta” upacara penurunan bendera.

Sebelum jadi bawahan, Subandi adalah rival Mirzuan pada perebutan kursi penjabat bupati. Namun garis tangan, dan tanda tangan Menteri Tito Karnavian, menetapkan Mirzuan sebagai penjabat Bupati Aceh Tengah.

Subandi and the genk sangat kecewa. Mereka lantas merancang sejumlah skenario yang mudah terbaca. Kini kelompok itu membangun cerita, jika penjabat Bupati Gayo Lues ditetapkan menjadi Sekretaris Daerah Aceh, otomatis Subandi bakal jadi penjabat bupati di Aceh Tengah. Saya kira cerita itu kastanya sederajat dengan dongeng sebelum tidur.

Tapi semua sengkarut dalam elit birokrat Aceh Tengah ini terjadi akibat ketidaktegasan Mirzuan dalam memimpin. Dia merasa “koro jamu” padahal dirinya orang nomor satu di negeri ini. Dia seharusnya bersikap sebagai orang Gayo tulen untuk memperbaiki negeri yang tidak baik-baik saja ini.

Mirzuan seperti tidak memiliki sence of belonging terhadap Gayo. Tidak pula berupaya memperbaiki negeri ini dari kasus dugaan pelanggaran hukum di kabinetnya. Sejak Aswatuddin dan beberapa birokrat tertangkap. Sepertinya bakal menyusul sejumlah kepala dinas lain. Kabarnya, beberapa KPA dan PPTK diperiksa di Kepolisian Daerah Aceh atas dugaan kejahatan korupsi.

Meski kasus-kasus itu berhulu pada Shabela Abubakar, bupati sebelumnya, Mirzuan setidaknya punya narasi untuk menenangkan pemerintahan dan masyarakat Aceh Tengah. Banyaknya pejabat eselon dua bermasalah dengan hukum membuat pemerintahan negeri ini tidak berwibawa.

Terlepas dari soal perebutan kursi penjabat bupati, kebaikan dan etika berperintahan harus dikedepankan. Jauhkan diri dari berniat jahat dan melampiaskan dendam. Masyarakat Aceh Tengah diam tapi bukan tidak tahu sengkarut di negeri ini. Sengkarut itu dipertontonkan seperti pagelaran layar tancap. Cobalah sedikit punya rasa malu mempertontonkan “buet kemali” di depan masyarakat.

(Mendale, Agustus 23, 2023)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.