Sahabat “Alif Tiada Mati”

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

KETIKA gubernur menyematkan lencana atribut pin tanda jabatan di dada kanan bupati, ketika itu pula cahaya, aura, dan ilmu pengetahuan sebagai pemimpin memayungi dirinya. Derajatnya dilebihkan dari masyarakat sepanjang dia amanah mengemban tugasnya.

“Kerenem” itu adalah media; cara Tuhan untuk melebihkan martabat pemimpin dari rakyatnya. Hal itu berlaku dari presiden sampai kepala desa. Tidak perlu heran tidak semua manusia dilahirkan di muka bumi ini berhak memakai pangkat pemimpin. Di alam semesta ini stoknya sangat terbatas. “Kullukum ra’in.”

Ketika bupati menyelesaikan masa tugas, melepas baju putih yang “berkerenem” itu mereka menangis karena pada waktu itu juga dengan sendirinya aura, cahaya, martabatnya dicabut. Yang tersisa dari seluruh waktu menjadi pemimpin itu hanyalah budi baik selama memimpin. Tanpa itu, dia sekadar hilang dari peredaran, tanpa kenangan di pikiran orang-orang yang dipimpinnya; syukur-syukur tidak dicaci maki.

Pemimpin itu representasi dari rakyatnya. Pemimpin adalah cermin dari karakter masyarakatnya. Kalau pemimpin cerdas berarti rakyatnya adalah kumpulan orang-orang cerdas. Demikian juga sebaliknya. Jika pemimpin melempem, berarti dia lahir dari masyarakat yang sama. Karakter pemimpin mewakili watak masyarakatnya.

Sebagai rakyat harus paham filosifi ini, “mulewen reje sempit denie (menentang raja dunia akan terasa sempit)”. Itu adalah sebuah ungkapan politik dalam bahasa Gayo dan menjadi pegangan bagi banyak orang sejak lama.

Dalam kehidupan masyarakat Gayo, reje adalah sosok orang tua atau seseorang yang dituakan. Pandangan dan keputusan-keputusannya berdampak bagi kehidupan masyarakat yang dipimpinnya.

Pernyataan ini juga menjadi rambu-rambu untuk menjalani hari secara lebih tenang. Dunia tak berasa sempit karena pelik bebat hukum, mudah untuk mendapat akses peningkatan ekonomi. Maka dia harus berbaik-baik dengan pemimpin di daerahnya.

Mulewen reje sempit denie adalah ungkapan yang harus dipahami dengan kacamata keseimbangan. Seorang reje harus bersikap selayaknya orang tua yang melayani anggota keluarga. Sedangkan seorang anggota masyarakat harus menghargai setiap keputusan yang diambil oleh pimpinannya.

Falsafah itu juga bukan pula wujud ketidakberdayaan masyarakat terhadap pemimpinnya. Ini bukan pula pembenaran bagi seorang reje untuk bersikap lalim kepada orang-orang yang dia pimpin. Filosofi itu bergantung pada keseimbangan yang menentukan sikap dan tindakan.

Seorang yang dipimpin harus mau dipimpin. Menerima keputusan dan menjalankan peran sesuai dengan aturan main yang ditetapkan oleh seorang pemimpin. Dan keputusan itu diambil oleh pemimpin dengan pertimbangan yang luas; keputusan yang diambil lewat dialektika antara hati dan pikiran.

Seorang reje tak sekadar memberikan materi atau benda-benda yang dapat dinilai secara fisik. Dia juga membuka kesempatan terhadap akses-akses yang, dengan kemampuan dan kewenangan kekuasaan di tangan, tak bisa dibuka dan dijangkau oleh individu masyarakat. Seorang pemimpin membentangkan jalan untuk dilewati oleh orang-orang yang dipimpinnya.

Cara pandang ini juga berlaku di seluruh daerah di Aceh. Terutama jika melihat sejarah kehidupan panjang kerajaan di Aceh dan jejak yang masih dengan mudah ditelurusi. Hirarki masyarakat Aceh sangat mengedepankan adat istiadat dalam hidup dan menjalani kehidupan.

Demikian juga dalam urusan pemerintahan. Masyarakat di daerah ini masih sangat bergantung dengan asupan kue anggaran pendapatan dan belanja daerah yang dipasok oleh Pemerintah Indonesia.

Pendapatan asli daerah ini belum seimbang untuk mengimbangi kebutuhah pembangunan dan membayar gaji pegawai pemerintah. Setiap tahun, kucuran uang dari Pemerintah Indonesia menjadi modal penting untuk menggerakkan perekonomian daerah. Bahkan setelah bertahun-tahun lepas dari sengkarut konflik, sektor riil belum bangkit.

Begitu beratnya menjadi pemimpin. Sehingga di negeri tetangga, Malaysia, setiap selesai salat Jumat, jamaah selalu mendoakan pemimpin mereka agar sehat, ditinggikan derajatnya di hadapan Tuhan dan manusia agar bisa memimpin negeri itu kearah kemakmuran.

Di negeri kita inipun sepatutnya mendoakan pemimpin dibudayakan. Kalau mereka mendengar rakyatnya selalu mendoakan tentu mereka akan merasa bertanggung jawab secara moral karena kecintaan rakyat terhadap pemimpinnya.

Namun demikian pemimpin tidak serta merta lahir. Semua berproses, termasuk soal nama karena siapa mengenal namanya, pasti mengenal dirinya dan siapa mengenal dirinya maka mengenal Tuhannya. Dan soal nama sahabat saya, “orang tua” itu menegaskan seolah mendapat Ilham dan berkata, “Engkau itu Alif tiada mati.”

(Raklunung, Agustus 18, 2023)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.