Catatan Masa Konflik (Bag. 11) ; Pang Ujang Krani, Buku Diary dan Pemberantasan Buta Huruf

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

SATU-satunya kombatan yang mencatat perjalanan hidupnya selama konflik antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka dalam buku catatan harian (diary) adalah Tengku Nada Jamil. Dia juga dikenal dengan sebutan Pang Ujang Krani.

Pang Ujang Krani mencatat peristiwa-peristiwa penting selama bergerilya di hutan. Dalam diarinya itu dia mencurahkan suasana hati berkaitan dengan kejadian yang dia alami. Kisah sedih, gembira, opini tentang sebuah peristiwa atau sekadar caci maki.

Tentu saja tulisan itu bertujuan sebagai pengingat terhadap sebuah peristiwa dan kecamuk batin. Dalam setiap tulisan itu, Pang Ujang Krani selalu menutup tulisan singkat dengan tanggal, bulan dan tahun.

Tulisan itu memang jadi harta yang sangat berharga. Tidak seperti pasukan lainnya, Pang Krani masih bisa menjaga setiap barang bawaannya, termasuk diary itu, sampai tiba waktu damai. Buku itu selalu dibawa di dalam tas pinggang yang tidak jauh dari Pang Krani. Kemana saja Pang Krani pergi, tas pinggang itu selalu dibawa-bawa. Bahkan, maaf cakap, saat Pang Krani buang hajat.

Pang Krani paham betul arti isi tas itu. Dia tidak boleh mengambil risiko, sekecil apapun, untuk kehilangan benda paling berharga itu. Bahkan William Nessen alias Abu Billi, wartawan Amerika yang meliput perang Aceh, gagal melakukan hal ini.

Syahdan, Abu Billi meninggalkan tas berisi kamera ketika buang hajat. Di dalam kamera itulah seluruh dokumentasi liputan perang pada masa Darurat Militer dia kumpulkan. Foto-foto, video rekaman dengan para petinggi GAM, semua tersimpan di kamera itu.

Namun tiba-tiba pasukan Indonesia menyerang. Tidak ada waktu bagi Abu Billi untuk membawa serta tas dan kamera itu. Alhasil, kamera dan dokumen lainnya di dalam tas itu disita oleh TNI.

Sutradara Film “The Black Road” itu sangat kecewa dengan kesalahannya itu. Setelah kehilangan tas itu, dia merasa tidak berguna. Sama seperti kombatan kehilangan senjata. Bahkan kehilangan itu memaksa Abu Billi mengatur penyerahan dirinya kepada pasukan Indonesia.

Pada Selasa, pada pukul 10;29 WIB tanggal 24 Juni 2003 William Nessen menyerahkan diri di Desa Paya Dua, Kec. Nisam, Aceh Utara. Dia dijemput Pangkoops Brigjen TNI Bambang Darmono, Atase pertahanan Kedubes AS, Kol. Joseph Judge dan juga disaksikan Kapuspen TNI Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin. Kisah Abu Bili pernah saya tulis dalam buku “sang gerilyawan-memoar Panglima Linge halaman 233).

Saya kira bukan saja Abu Bili yang kehilangan barang bawaannya. Hampir semua pasukan mengalami ketinggalan barang. Bukan saja sebab diserang, tetapi juga akibat merasa terlalu berat beban. Terutama dalam keadaan lapar. Pakaian yang melekat di badan pun bisa ditinggalkan agar langkah menjadi lebih ringan.

Di Wilayah Linge, kami pernah mendapat bantuan dana sebesar Rp 500 juta dari Tengku Misriadi. Semula seorang pasukan bersemangat membawanya sendiri. Setelah seharian berjalan, uang itu terpaksa dibagi empat agar lebih ringan untuk dibawa. Sering barang yang dibawa berhari-hari tapi lama-kelamaan dianggap beban dan akhirnya ditinggalkan.

Beruntung, Pang Ujang Krani masih bisa menyelamatkan barang miliknya sampai perang berakhir. Sejak 2002, Pang Ujang Krani mencatat perjalanannya mulai berangkat dari Wilayah Samudera Pasee ke Kampung Bakongen, lalu naik L-300 ke Wilayah Gayo Lues bersama Tengku Fauzan Alia dan Pang Manti atas perintah Tengku Ilham Ilyas Leubee (Koordinator wilayah Gayo Lues dan Wilayah Alas) untuk memperkuat struktur wilayah dari pemekaran Linge.

Di Gayo Lues, tepatnya di Kampung Uning Gelung, Pang Ujang Krani bertemu Panglima Wilayah, Tengku Jafar alias Ama Uwe yang meminta Pang Ujang Krani untuk mencatat pembukuan keuangan mulai tahun 2001, sejak Ama Uwe ditugaskan sebagai panglima di Wilayah Gayo Lues.

Selama berada di Gayo Lues Pang Ujang Krani melanjutkan keahliannya mereparasi radio HT rusak. Dia pernah memperbaiki 50 unit radio milik pasukan daerah Lokop Serbejadi dan hasilnya dibagi dua. Modalnya hanya sendok makan, timah dan tukang tiup; Pang Jack Gayo dan Pang Pelisi.

Di samping itu pada waktu senggang mengajar membaca dan menulis untuk pasukan yang buta hurup. Kertas karton mie instan sebagai papan tulis dan arang sebagai kapur tulisnya. Alhasil setelah damai tidak ada seorang pun yang tidak bisa membaca.

Dari Uning Gelung mereka terpaksa berpindah dengan kegagalan kesepakatan Tokyo antara Pemerintah Infobesia dan Gerakan Aceh Merdeka gagal. Itu artinya akan ada tindakan represif terhadap masyarakat Aceh dan pasuukan GAM tentunya.

Buku Diary Pang Krani. (Ist)

Pada 2004 Panglima GAM, Tengku Muzakkir Manaf, mengirim Tengku Ilyas Pase sebagai utusan komando. Dalam pada itu mengangkat Tengku Nada Jamil sebagai panglima wilayah Gayo Lues untuk mengartikan Tengku Jafar. Prosesi pelantikan sangat sederhana itu dilaksanakan di Gunung Setan, Wilayah Alas. Hadir dalam pelantikan tersebut, di antaranya Tengku Ilyas Pasee, Tengku Faisal, Pang Ganir, Pang Tiger, Pang Surya dan pasukan lainnya. Mereka bergerak ke sana karena mulai terjadi pengepungan terhadap kantong-kantong GAM Gayo Lues.

Peristiwa pelantikan Tengku Nada Jamil berkaitan dengan pendataan pasukan dan jumlah senjata. Sedangkan Tengku Jafar tidak bisa dihubungi dan telah dikirim utusan untuk menyampaikan pesan Muallim Muzakkir Manaf, tetapi Pang Ama Uwe belum terkoneksi. Pada saat sedang berlangsung perundingan ke-empat menuju jalan damai antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka.

Saat ini, diary Pang Ujang Krani itu mungkin satu-satunya catatan objektif tentang perang antara GAM dan Pemerintah Indonesia dari kacamata kombatan. Mudah-mudahan kisah-kisah itu tidak hilang agar tetap menjadi modal pembelajaran generasi muda untuk tidak mengulangi kesalahan generasi lebih tua.

(Raklunung, Juli 24, 2023)

Baca Juga : Catatan Masa Konflik (Bag. 10) ;  Air Mata Adalah Aurat Gerilyawan

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.