Melanjutkan Misi Nabuwwah (Refleksi Tahun Baru Islam 1445 H)

oleh

Oleh : Johansyah*

Begitu ramai yang mengucapkan selamat tahun baru Islam 1 Muharram 1445 Hijriyah di status facebook, whatsapp, dan lain-lainnya. Ada pula yang merangkai kalimat dalam bentuk do’a.

Tidak ketinggalan pula, di berbagai tempat, tahun baru Islam diperingati dengan mengundang para penceramah untuk menggali kembali pesan-pesan hijrah dan materi-materi berkaitan.

Secara khusus saya juga tentu ingin mengisi momen tahun baru ini dengan coba membahas hijrah sebagai momen melanjutkan misi nubuwwah.

Ini dikarenakan persoalan yang kita hadapi relatif sama dengan persoalan yang dihadapi Rasulullah SAW ketika menyebarkan dakwah; penyimpangan akidah, dan banyaknya orang dan kelompok yang menghalalkan kebiadaban dan menggerus perikemanusiaan untuk menggapai ambisinya. Penyebabnya bukan karena minim pengetahuan, tapi miskin kasih sayang.

Siapa kelompok yang kuat, dialah yang berkuasa, penuh tirani dan keserakahan. Kelompok yang lemah dipaksa bertekuk lutut dan menghamba pada mereka yang punya uang dan tahta.

Salah satu wujudnya adalah dengan menerapkan sistem riba dalam perekonomiannya. Di sisi lain, nasib kaum perempuan yang sangat menyedihkan, mereka seperti barang obral dagangan yang tidak berharga; direndahkan, dilecehkan, dan diperlakukan semaunya.

Demikian halnya konflik antar suku juga kerap terjadi. Begitulah deskripsi umum masyarakat jahiliyah kala itu.

Begitu juga saat ini, kita menghadapi persoalan yang sama. Hanya saja kejahiliyahan zaman ini muncul dengan jubah yang berbeda dan dengan cara yang kesannya elegan, tapi sebenarnya seperti pembunuh berdarah dingin yang mematikan.

Contohkan saja penentangan terhadap Islam. Jika dulu ditunjukkan dengan menghunus pedang dan orang Quraisy langsung mendeklarasikan diri melawan, tapi kini orang atau kelompok pembenci Islam itu mangatur berbagai strategi yang terkesan mengagumkan di atas dasar fondasi kemanusiaan atas nama toleransi dan hak asasi dalam bingkai palsu misi kemanusiaan sehingga umat Islam banyak yang terbius dan malah menjadi bagian dari perjuangan mereka meruntuhkan Islam.

Moralitas kita di zaman ini juga rubuh akibat akidah yang tidak kokoh. Goresan sejarah kelam jahiliyah yang semestinya menjadi cerita masa lalu untuk diambil pelajaran ternyata justru menjadi tontonan kenyataan dalam episode baru yang diperankan oleh orang yang berbeda pada jaman kita.

Salah satu contoh, praktik aborsi, yang merupakan perilaku lebih kejam dari membunuh anak di era jahiliyah. Atau paling tidak membuang anak ke tempat sampah karena anak tersebut merupakan hasil hubungan di luar nikah.

Dalam konteks politik dan kekuasaan juga relatif sama. Di mana menurut Prof Musa Asy’arie dalam kuliah filsafat Islam mengatakan “bahwa saat ini banyak orang yang bernafsu terhadap kekuasaan dengan menjadikan agama maupun kitab suci (al-Qur’an) sebagai alat pembenaran atas tindakannya, tetapi dia sendiri terjauhkan dari kebenaran itu sendiri”.

Sampai pada akhirnya demokrasi tidak mampu tampil memuliakan warga Negara, melainkan hanya untuk pemenuhan syahwat penguasa. Partai Islam atau yang berkoalisi dengan partai Islam hanyalah sampul depan yang terlihat indah oleh masyarakat awam, tapi sesungguhnya itu mulus di kulit busuk di dalam.

Inilah episode baru jahiliyah yang tampil labih rapi dan mengagumkan. Jahiliyahisme akan terus menjamur di sekitar kita dengan wujudnya yang beragam dan mungkin sudah menjalar ke dalam diri, keluarga, dan masyarakat kita.

Maka inilah yang menjadi alasan utama mengapa misi nubuwwah tidak boleh berhenti dan terhenti. Misi nubuwwah adalah upaya memberangus jahiliyahisme dalam berbagai aspek kehidupan, mengembalikan akidah yang menyimpang, dan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan sejati.

Lalu apa saja misi nubuwwah itu? Pertama, misi pengesaan Tuhan (misi tauhid). Tentu saja pembebasan manusia dari segala bentuk menduakan Allah, termasuk paganisme. Tauhid menjadi misi pertama yang harus ditegakkan dan dijalankan.

Masing-masing kita harus berjuang membebaskan diri dari tuhan-tuhan dunia, tuhan materi, tuhan manusia, dan tuhan-tuhan lainnya dan sekuat mungkin melembagakan kalimat Laa Ilaha Illa Allah dalam diri kita dan mewujudkannya dalam amal perbuatan.

Inilah misi pertama rasulullah SAW, yakni meluruskan akidah masyarakat Mekah yang kala itu menyembah berhala, agar tidak menyembah Tuhan selain Allah. Aspek ini menjadi syarat utama untuk dapat menjalankan misi nubuwwah lainnya.

Kedua, misi pemanusiaan. Hadits Raslullah SAW yang menyatakan “sesungguhnya aku diutus untuk memperbaiki akhlak manusia” penulis pahami sebagai misi pemanusiaan dengan fokus pada perbaikan akhlak manusia. Nyatanya memang masyarakat Mekah kala itu bukanlah orang yang bodoh, justru sebaliknya mereka pintar-pintar.

Tapi yang menjadi persoalan adalah persoalan akhlak. Mereka membuat sistem, aturan, dan kebijakan berdasarkan keinginan mereka tanpa mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan; keadilan, kesetaraan, kasih sayang, menghormati, dan nilai-nilai lainnya. Sejauh itu menguntungkan mereka, maka akan dipaksakan meskipun merugikan, menyakiti, atau melukai orang lain.

Dengan ungkapan lain, keilmuan masyarakat kala itu berkembang, tapi tidak dibarengi dengan tauhid keimanan yang benar sehingga akhlak mereka bobrok. Mereka menafikan aspek ketuhanan sehingga jauh dari praktik manusiawi dalam kehidupan mereka.

Maka sangatlah logis jika dikorelasikan dengan ayat pertama turun, yakni iqra’ bismi rabbik (bacalah dengan nama Tuhanmu), sebagai isyarat tegas bahwa ilmu harus berlandaskan ketuhanan agar ilmu tampil untuk memenuhi hak-hak kemanusiaan yang bukan hanya secara individu, tapi dapat berlaku universal.

Ilmu tanpa aspek ketuhanan hanya akan melahirkan kebiadaban, jauh dari keadaban, dan mustahil melahirkan masyarakat yang berperadaban. Untuk itu, qira’ah rabbaniyah (teo-antroposentris) menjadi syarat utama untuk melahirkan masyarakat yang berperadaban, dan inilah yang diperjuangkan Rasulullah SAW.

Maka di sinilah letak perbedaan jihad keilmuan antara Islam dan non Islam. Ilmuan non Islam cenderung hanya fokus pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tanpa mempertimbangkan basis nilai-nilai ketuhanan, atau aspek kelayakan dan kepatutan ilahiyah.

Sementara ilmuan muslim harus melihat dua sisi secara bersamaan karena memang harus berkelindan, tidak boleh dipisahkan. Ilmu apa pun itu, selama tidak mencederai nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhananm berarti dapat dikembangkan, dilanjutkan, dan diwariskan. Tapi kalau kemudian jauh dari nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan, tentu harus dihentikan.

Kiranya momen tahun baru hijriyah ini dapat kita jadikan sebagai titik balik untuk kembali mengingat misi nubuwwah berupa misi tauhid dan misi pemanusiaan. Serta berusaha menjalankannya sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing.

Jika tidak, tahun baru hijriyah tidak lebih dari sekedar pertukaran tahun, di mana kita tidak pernah berubah, dan apalagi melakukan perubahan. Berhijrah berarti istiqamah dalam berislam dan berusaha membumikan ajaran Islam. Wallahu a’lam.

*Ketua Senat Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Al-Washliyah Aceh Tengah

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.