Oleh : Fauzan Azima*
YA…sepahit apapun penderitaan selama peperangan, gerilyawan harus tetap terlihat bahagia. Dalam keadaan terkepung, wajah mereka tidak boleh kecut. Sesulit apapun kondisi pada suatu medan, mereka harus bersikap seolah-olah berada dalam wilayah berdaulat.
Bahkan jika nyawa di ujung tanduk, mereka harus tetap tenang. Ada kode etik di antara gerilyawan. Mereka dilarang menangis. Air mata adalah aurat, tidak boleh tersingkap saat ada orang lain melihat.
Seperti kisah Tengku Zakaria. Pria itu populer dengan nama panggilan Pang Jack Gayo. Dia sempat terpisah dengan pasukan selama empat bulan lebih. Selama itu pula dia harus bertahan di dalam rimba, sendirian. Tapi selama terpisah dengan anggota pasukan, dia tidak mengeluh dan sedih. Dia menganggap peristiwa yang dialami itu merupakan latihan untuk lebih sabar dalam menjalani hidup.
Peristiwa itu terjadi pada awal pemberlakuan Darurat Militer di Aceh, 19 Mei 2003. Tekanan dari pasukan Indonesia membuat pasukan Gerakan Aceh Merdeka Wilayah Gayo Lues harus menyebar. Salah satu tempat yang aman bagi mereka adalah Badak Uken, tepatnya di Hutan Simpang Radang. Di sana mereka membangun markas yang dipimpin oleh Komandan Operasi, Pang Ayuara.
Di markas itu berkumpul 40 orang anggota pasukan, termasuk pasukan dari Linge. Di antaranya Pang Gesing, Pang Turbo dan Pang Gegana. Di markas itu juga tinggal Tengku Muhammad Sur alias Pang Camat. Saat itu Pang Camat menjabat sebagai Gubernur GAM Wilayah Gayo Lues. Di markas itu bergabung pasukan dari Terangun, Pining, Dabun Gelang dan Putri Betung.
Setelah beberapa hari terbangun markas di Simpang Radang, tiba-tiba datang tiga orang pemuda dari Kampung Ketukah. Mereka meminta bergabung dengan pasukan GAM karena di kampung situasi semakin mencekam. Militer Indonesia memaksa masyarakat bergabung dalam Keamaman Rakyat (Kamra). Ini adalah satuan masyarakat sipil yang dibentuk untuk melawan GAM. Ketiganya menolak. Mereka lantas melarikan diri dari kampung.
“Daripada dipaksa melawan GAM, bangsa sendiri, lebih baik kami mati melawan TNI/Polri. Atau kalau tidak diterima bergabung dengan GAM, bunuh saja kami daripada harus pulang lagi ke kampung,” demikian jawaban seorang dari mereka saat Pang Ayuara meminta mereka balik kanan.
Beberapa hari kemudian, Pang Camat menerima Informasi dari kaki tangan di kampung tentang pergerakan pasukan TNI menuju hutan Simpang Radang dari Tiga Arah. Satu kelompok dari Kampung Badak Uken, kelompok lainnya dari Gumpang Putri Betung, dan lainnya akan masuk dari Kampung Ekan Pining.
Berdasarkan informasi itu, seluruh pasukan bermusyawarah dan diputuskan Pang Jack, Tengku Acah alias Pang Toha dan Tengku Jalaluddin alias Pang Dohot untuk menjemput pasukan yang piket di daerah Sungai Merah Kapi. Ini harus dilakukan karena sinyal handy talky tidak menjangkau daerah itu. Sedangkan pasukan lainnya segera pindah ke Pining dengan melintasi Sungai Tembolon.
Dalam perjalanan Pang Jack, Pang Toha dan Pang Dohot bermalam di Bukit Atu Telak. Pasukan menyebutnya Jamur Ledak atau Gubuk Becek. Mereka tidak tahu ternyata pasukan TNI juga beristirahat di kawasan itu. Jarak mereka hanya sekitar 300. sebaliknya, pasukan Indonesia juga tidak mengetahui keberadaan Pang Jack dan kawan-kawan. Jumlah anggota TNI saat itu berkisar satu peleton atau sekitar 30 orang dan dua orang masyarakat dari Pining sebagai penunjuk jalan. Setelah sarapan mereka berangkat. Belum jauh berjalan, tiba-tiba terlihat asap mengepul di pematang jalan.
Mereka tidak tahu ternyata pasukan TNI juga beristirahat di kawasan itu. Jarak mereka hanya sekitar 300. sebaliknya, pasukan Indonesia juga tidak mengetahui keberadaan Pang Jack dan kawan-kawan. Jumlah anggota TNI saat itu berkisar satu peleton atau sekitar 30 orang dan dua orang masyarakat dari Pining sebagai penunjuk jalan.
Pang Jack lantas meminta Pang Taha dan Pang Dohot bersembunyi di balik pohon besar. Pang Jack mengendap-endap mendekati asap untuk mengetahui siapa yang menyalakan api. Baru beberapa langkah, tiba-tiba Pang Jack disergap seorang anggota TNI dan menodongkan senjata SS-1 ke wajahnya. Tak lama berselang, muncul dua orang anggota TNI lain dari belakang dan memukul Pang Jack dengan gagang senjata.
“Angkat tangan pemberontak biadab, jatuhkan tasmu,” teriak anggota TNI itu.
Pang Jack tidak punya pilihan lain. Dia terpaksa mengangkat tangan dan menjatuhkan tas berisi Bendera Bintang Bulan, dokumen dan satu periuk besi setebal 3 milimeter. Lalu satu per satu anggota TNI mengelilingi sambil menodongkan senjata.
Pang Jack terkepung dari segala sisi. Dia menoleh ke belakang untuk memastikan tidak ada anggota pasukan GAM lain. Tapi itu terlambat, Pang Taha dan Pang Dohot ternyata mengikuti dan mengintip dari jarak yang tidak terlalu jauh. Mengetahui ada sosok lain, prajurit TNI melepaskan tembakan ke satu titik. Pang Dohot terkena tembakan dan syahid di tempat. Sedangkan Pang Toha sempat melarikan diri meski pipi kirinya terkena serpihan peluru TP.
Beberapa anggota TNI lantas menghampiri jasad Pang Dohot. Sementara yang lainnya masih menodongkan senjata kepada Pang Jack. Gerombolan TNI yang mengelilingi Pang Jack itu sangat dekat. Pang Jack merasa yakin mereka tidak akan menembaknya karena bisa mencederai rekan mereka. Pang Jack pun segera mengambil tasnya kembali, kemudian memukul salah seorang TNI dengan tasnya sampai terjatuh.
Kesempatan itu digunakan Pang Jack untuk melarikan diri dari kepungan musuh. Aksi itu dibalas dengan rentetan senjata ke arah Pang Jack yang lari tunggang langgang. Mereka hanya berjarak sekitar 10 meter. Alhamdulillah, tidak ada satupun peluru mengenai Pang Jack. Dia terus berlari hingga benar-benar merasa aman. Malam itu, dia beristirahat di sebuah tempat di hulu sungai.
Keesokan hari, Pang Jack kembali ke Sungai Sinpang Radang, tempat pasukan semula bermarkas. Dia tidak mendapati siapapun di sana. Pang Jack lantas turun ke kampung terdekat. Dari kejauhan, dia melihat anggota TNI sedang mengumpulkan masyarakat untuk diinterograsi. Tak sedikit dari mereka yang mendapat siksaan hanya karena dicurigai membantu GAM. TNI juga menangkap anggota GAM, yaitu Tengku Sidik alias Pang Atu Anak.
Setelah operasi TNI itu, pasukan GAM berpindah-pindah tempat. Pang Jack kesulitan menemui mereka. Dia memutuskan untuk bertahan hidup seorang diri di rimba yang pekat dengan berburu kijang dan rusa sebagai makanan utama. Pang Jack juga pernah mencoba membunuh dan membakar ular untuk makanan, tapi baru saja makan sedikit dia muntah.
Masyarakat juga saat itu mulai tertutup. Mereka enggan memberitahukan lokasi persembunyian pasukan GAM. Mereka menduga Pang Jack menyerah. Sementara pasukan GAM mengetahui bahwa Pang Jack masih hidup. Mereka juga mencoba mencarinya di lokasi-lokasi yang diperkirakan menjadi tempat persembunyian pria itu. Saat Pang Jack berada di sebuah hutan di antara Putri Betung dan Dabun Gelang, dia memutuskan ke daerah Geruguh, Badak Uken. Tanpa disangka-sangka bertemu dengan Pang Rajawali, Pang Cobra, Pang Bangsu .
Pertemuan itu membawa suka cita. Pang Jack tidak berniat menceritakan semua kesedihannya dan cara dia bertahan sendirian dalam hutan. Bahkan ketika menceritakan detail kematian Pang Dohot, dia tidak menunjukkan kesedihan berlebihan. Semua tertutup rapat dan menjadi pil pahit untuk memperkuat semangat perjuangan. Bagi semua pasukan GAM, air mata adalah aurat.
(Raklunung, Juli 7, 2023)
Baca Juga ; Catatan Masa Konflik (Bag. 9) : Pasukan Musuh Fasilitasi Pasukan Pejuang