Oleh : Fauzan Azima*
SYAHDAN, berbagai upaya ditempuh Pemerintah Indonesia untuk menumpas perlawanan Gerakan Aceh Merdeka sampai ke akar. Beribu alasan diungkapkan untuk menghancurkan citra dan semangat kombatan GAM. Mereka berupaya lewat cara yang sopan. Tapi tak sedikit upaya itu ditempuh dengan cara kotor.
Alasan yang paling sering diungkapkan adalah GAM merusak integrasi bangsa. Lantas mereka merayu kombatan untuk menyerah dan berbalik membela pemerintah dengan iming-iming uang, rumah, mobil, tanah, bahkan wanita.
Mau tahu cara kotornya? Mereka mengebom, menyerang bahkan menyandera keluarga pejuang. Ada juga yang menggunakan bantuan dari alam gaib, dukun-dukun yang mampu mengendalikan jin, untuk membantu mengendorkan semangat perjuangan tanpa disadar oleh korban.
Pada daerah yang mudah dijangkau, Pemerintah Indonesia menyerang titik-titik yang dianggap sebagai lokasi gerilya pasukan GAM. Sebaliknya, saat keberadaan pasukan GAM sulit dijangkau, mereka merayu dan menebar propaganda. Salah satu pihak yang paling rentan mereka dekati adalah ibu.
Pada awal Darurat Militer 2003, pasukan RI sempat kelimpungan untuk menyerang markas GAM di Tampur Bur, Gayo Lues. Satu-satunya jalan untuk sampai ke sana menggunakan boat membelah arus deras Krueng Tamiang. Perlu waktu seharian untuk sampai ke lokasi itu. Perjalanan itu saja cukup melelahkan.
Bagi pasukan GAM, keberadaan serdadu musuh dalam satu kelompok kecil di tempat yang kecil, sekecil perahu atau boat, adalah sasaran empuk. Cukup dengan “petasan”, mereka dapat dipastikan hanyut.
Lantas, pada satu ketika, seorang mengaku pengusaha bernama Sasmita muncul. Dia menghubungi Panglima Jafar alias Ama Uwe. Awalnya, Sasmita menanyakan kabar Ama Uwe. Tak lama kemudian, Sasmita meminta Ama Uwe turun menyerahkan diri, kembali kepada NKRI.
Hampir saja komunikasi menjadi hambar. Tapi Ama Uwe tidak bodoh. Pembicaraan berlanjut dengan tema berbeda. Ama Uwe sadar bahwa tidak mungkin seorang pengusaha memintanya menyerah. Apa urusannya pengusaha dengan pemberontak kecuali dia butuh bermain dua kaki untuk mengamankan bisnisnya.
Kalau dia pengusaha, mungkin saja Sasmita dapat membantu Ama Uwe mendanai peperangan. Ama Uwe menduga penelepon adalah petinggi militer atau dari kepolisian.
Tak lama setelah percakapan itu, Ama Uwe memanggil semua pasukan. Mereka mengatur siasat. Ama Ume seolah-olah akan menyerah. Ya, seolah-olah. Bagi Ama Uwe, idiologi Aceh Merdeka mendarah daging sejak dibaiat dengan sumpah yang keras, “jika menyerah dan berkhianat terhadap perjuangan, maka saya bersumpah apabila mati tidak diterima bumi.”
Mereka juga sepakat untuk mengungkapkan setiap isi pembicaraan kepada anggota pasukan yang lain agar tidak muncul kecurigaan di antara sesama pasukan. Dalam forum itu juga disepakati tentang peran Pang Ujang Krani untuk mengomunikasikan hal ini kepada pasukan musuh. Di antara semua, hanya Pang Ujang Krani yang lumayan lancar berbahasa Indonesia.
“Oke…kami bersedia menyerah, kembali kepada NKRI. Tapi tidak dengan pasukan yang ada sekarang. Sekarang di sini lebih dari 30 orang pasukan. Sementara menunggu pasukan yang tersebar, kami perlu logistik,” ujar Pang Ujang Krani saat berbicara di telepon dengan saat Sasmita.
Kenyataannya, tidak banyak anggota pasukan di Tampur Bur. Yang menetap tidak lebih dari sepuluh orang pasukan. Di antaranya; Ama Uwe, Pang Tiger, Pang Merpati, Pang Surya, Ujang Krani dan lainnya.
Sasmita setuju. Sasmita bersedia mengatur pengiriman logistik melalui Aman Tadi. Pria ini memiliki boat dan biasa hilir mudik Tamiang, Simpang Jernih, Tampur Paloh, sampai ke Tampur Bur. Aman Tadi menjadi kepercayaan kedua belah pihak.
Dua hari setelah sambungan telepon diputus, Aman Tadi tiba di Tampur Bur. Di dalam boatnya penuh logistik yang dibutuhkan pasukan GAM, 3 ton beras, rokok, gula, kopi dan pakaian. Tidak satupun permintaan terlewati. Pasukan pun bersuka ria menerima kiriman itu. setiap malam mereka berpesta dengan makanan-makanan mewah dalam versi berjuang.
“Kapan lagi kita manfaatkan harta musuh, kecuali saat ini,” kata Pang Tiger. Mendengar komentar Pang Tiger, teman-temannya tergelak.
Karena permintaan dipenuhi, Sasmita menuntut balik. Dia menghubungi Pang Ujang Krani, berulang kali, untuk menanyakan waktu penyerahan diri. Mereka berbicara secara intens dalam durasi yang panjang. Dan tetap saja pertanyaan itu terucap, “kapan turun?”
“Kami masih menunggu pasukan Pang Tiger. Kalau dia sudah menyerah bersama kami, baru aman. Jika tidak, satu saat kami pasti akan dibantai oleh Pang Tiger,” kata Pang Ujang Krani mengeluarkan jurus silat lidah.
Pang Krani sengaja membangun propaganda bahwa pasukan GAM Gayo Lues yang paling berpengaruh adalah pasukan Pang Tiger. Pang Tiger digambarkan sebagai orang yang bertubuh besar dan selalu memimpin setiap perang melawan pasukan musuh di Gayo Lues.
“Pasukan kami berpencar-pencar,” sambung Pang Krani. “Susah membangun komunikasi. Jadi kami harus mengirim utusan. Kendalanya, mereka harus komunikasi langsung dengan kami sebagai pimpinan. Jadi kami perlu hape satelit lima buah untuk memudahkan komunikasi dengan setiap kelompok pasukan.”
Pang Tiger sendiri tersenyum-senyum di sudut basecame ketika mendengar percakapan Pang Ujang Kerani dan Sasmita. Faktanya, Pang Tiger bertubuh kecil, mungkin berat badannya tidak lebih dari 50 kilogram. Pokoknya tidak sesangar yang digambarkan Pang Krani.
Permohonan ini disetujui Sasmita. Seminggu kemudian telepon genggam satelit beserta voucher pulsanya diantarkan Aman Tadi. Hape itu segera dikirimkan ke setiap kelompok pasukan agar mudah berkomunikasi dan berkoordinasi pasukan GAM di Gayo Lues. Bukan mengatur penyerahan diri.
Kurang lebih dua bulan mereka menikmati hidup dari kiriman petinggi TNI yang menyamar sebagai pengusaha. Sasmita pun mulai berhitung. Dia memenuhi semua permintaan Pang Kerani tapi imbal baliknya tidak ada, sama sekali. Sasmita pun kehilangan kepercayaan kepada Pang Krani dan pasukan GAM.
Pada satu hari, Pang Ujang Krani mengirimkan kembali daftar kebutuhan pasukan kepada Sasmita. Beberapa hari kemudian, Pang Tadi datang. Tapi boatnya kosong. Dia lantas bertanya, pertanyaan yang pasti dititipkan oleh Sasmita, “kapan menyerah? Personil pos TNI di Tampur Paloh sudah membuat tong untuk senjata orang GAM menyerah.”
Nyata sudah bahwa Sasmita adalah bagian dari militer Indonesia. Andai tidak ada hubungan Sasmita dengan TNI, tidak mungkin personil TNI di Tampur Paluh telah bersusah payah untuk persiapan pejuang menyerah.
Pertanyaan itu memantik emosi anggota pasukan yang mendengar. Aman Tadi tidak memahami skenario yang dimainakan. Tapi mereka mampu menahan amarah. Lantas Aman Tadi berkata bahwa dia tidak berani pulang jika janji menyerah itu tidak dilaksanakan. Di ujung amarah, Pang Ujang Krani meminta Pang Tadi segera pulang. “Kalau nanti seluruh pasukan sudah berkumpul di Tampur Bur, tidak ada satupun orang pun yang terpisah. kami menyusul dalam beberapa hari.”
Pang Krani tidak sedang berbohong. Dia sedang bermain dengan kata-kata. Tidak mungkin pasukan seluruh Wilayah Gayo Lues tumplek di Tampur Bur. Jadi selama ada pasukan yang terpisah, walaupun satu orang, mereka tidak akan turun. Sasmita dan Aman Tadi korban tafsir kalimat Pang Krani.
Meski demikian, kehadiran Aman Tadi dengan pertanyaan itu memunculkan kekhawatiran. Aman Tadi bukan tidak mungkin berkhianat. Jika ini terjadi, bukan tidak mungkin Aman Tadi mengungkapkan markas GAM, jumlah personil dan jumlah senjata. Pasukan pun bergeser demi keamanan. Pasukan bergerak berpencar dalam kelompok kecil ke Pining, Trangon dan sebagian lain ke Badak Uken. Sejak itu tidak ada lagi komunikasi dengan Sasmita.***
(Raklunung, Juni 25, 2023)
Baca Juga : Catatan Masa Konflik (Bag. 8) ; Beli Senjata dari Sarang Burung dan Pajak Ganja