Catatan Masa Konflik (Bag. 8) ; Beli Senjata dari Sarang Burung dan Pajak Ganja

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

DALAM perang berlaku hukum darurat. Demi bisa bertahan hidup yang haram pun bisa jadi halal. Salah satu alat pertahanan hidup adalah senjata api. Karena itu setiap anggota pasukan harus memegang bedil. Bagi yang tidak punya, tidak jarang mereka melakukan hal tidak terpuji untuk mendapatkan senjata api. Tanpa senjata, pasukan tidak lebih dari ayam potong di hadapan pasukan musuh.

Pada saat konflik Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka, senjata api menjadi komoditas penting bagi dua pihak. Tentu saja tidak ada senjata api yang bisa didapat secara gratis. Walaupun di wilayah lain seorang pasukan menyandang dua senjata, tapi jangan harap dia memberikan senjata itu untuk pasukan di wilayah lain. Setiap senjata beserta pelurunya harus berbayar. Sehingga setiap pimpinan pasukan GAM harus putar otak untuk mendapatkan dana membeli senjata.

Pasukan GAM Gayo Lues memiliki beberapa sumber dana untuk keperluan makanan, rokok, senjata dan peluru. Di antaranya dari penjualan sarang burung walet. Pada waktu itu harganya berkisar antara Rp 3 juta sampai Rp 10 juta per kilogram. Harganya bergantung kualitas sarang burung tersebut. Tidak ada patokan harga resmi. Apalagi yang menjual pasukan GAM dengan alasan keamanan, sering kali harganya menjadi murah.

Pasukan GAM Gayo Lues menguasai dua sarang burung walet, yakni di Gua Kala Pining di Daerah Lesten dan Gua Gantung di Pining. Panen sarang walet dilakukan setiap 100 hari. Sekali panen, satu sarang bisa menghasilkan 30-50 kilogram. Sementara harga satu senjata bisa mencapai Rp 35 juta.

Namun kombatan sering kali kalah dari para pencuri. Saat hendak memanen, ternyata sarang walet yang dinanti selama seratus hari hilang digondol maling. Kalaupun ada sisa, paling hanya 10 kilogram. Tentu saja pelakunya adalah orang spesial. Karena memanen sarang burung di dalam gua membutuhkan pengalaman dan keahlian khusus.

Tidak semua orang bisa memanen sarang walet. Biasanya, pasukan menyerahkan urusna ini kepada anggota Lokop Serbajadi. Masyarakat di daerah ini terkenal dengan spesialisasi mereka sebagai pemanen sarang walet. Bahkan mereka bisa melakukan pekerjaan itu di gua-gua ekstrem.

Selain dari sarang burung walet, pasukan GAM Gayo Lues juga memperoleh dana dari pengangkut ganja. Pajak yang dikutip dari setiap 10 kilogram ganja adalah satu kilogram ganja. Biasanya, saat “diekspor”, sekilo ganja dikemas seukuran dua batu bata dan dipikul oleh kurir.

Kurir itu disebut tukang gendong. Mereka membawa ganja dari Gayo Lues ke Besitang, Sumatera Utara. Waktu tempuh ke Besitang, berjalan kaki, mencapai 7 hari. Pada waktu itu, harga ganja kering dari petani hanya Rp 200 ribu per kilogram. Di Medan, Sumatera Utara, harganya melonjak menjadi Rp 1,8 juta per kilogram. Sedangkan ongkos gendong Rp 200 ribu per kilogram.

Tukang gendong tidak membayar pajak ganja secara tunai. Setiap bungkus pajak dikumpulkan hingga mencapai 20 kemasan lantas dititipkan lagi ke tukang gendong untuk dijual. Kalau dihitung-hitung, keuntungan dari pajak ganja ini tidak terlalu berarti. Apalagi dalam dunia hitam itu banyak terjadi penipuan. Tukang gendong ganja biasa mengelabui pasukan dengan menceritakan kisah fiktif, seperti ditangkap petugas keamanan atau dicurangi pembeli di Medan.

Ya, seperti bisnis lain, bisnis ini juga tidak memiliki kepastian. Jadi anggota pasukan sudah kenyang dengan penipuan dan sering tidak berharap banyak dari hasil penjualan ganja. Kalau dapat penjual jujur, bersyukur. Tapi kalau tidak berhasil pun mereka tidak kecewa lagi. Yang penting jangan terlalu berharap agar tidak kecewa. Apalagi memanfaatkan ganja sebagai modal perjuangan akan mendapat stigma negatif. Tentu saja akan menjadi bahan propaganda bagi musuh untuk menjatuhkan moral masyarakat untuk mendukung pejuang.

Satu hal yang penting, tetapi kurang mendapat perhatian kita bahwa pejuang penting membangun moral dengan menyucikan jiwa dan harta yang berimplikasi pada menang atau kalah dalam perang. Jiwa yang kotor dan harta yang subhat, apalagi haram akan meruntuhkan moral pejuang. Pada Akhirnya menjual ganja dicoret dari daftar prioritas pencarian dana.

Selain sarang burung dan pajak ganja, pasukan juga mendapat dana dari “pajak nanggroe” yang nilainya tidak bisa dipatok. Dana terkumpul dari pajak ini biasa digunakan untuk keperluan logistik sehari-hari, seperti membeli beras, rokok, kopi dan lain-lain. Besaran biaya kebutuhan terhadap rokok hampir setara dengan senjata. Rokok dan senjata sama-sama penting. Tanpa rokok, pikiran pasukan akan kacau. Tapi dengan banyak senjata, perbekalan, termasuk rokok, mudah didapat.

Di awal perjuangan GAM, Gayo Lues merupakan bagian dari Wilayah Linge. Dalam struktur, Negeri Seribu Bukit ini termasuk Daerah V yang dipimpin seorang Panglima Muda. Gayo Lues terdiri dari empat sagoe yang masing-masing dipimpin oleh Panglima Sagoe. Daerah V mendapat jatah senjata 5 pucuk, yaitu, satu GLM, dua AK 47 dengan peluru 600 butir, M-16 (puntung) satu pucuk dengan peluru 450 butir, pistol jenis colt dan senjata rakitan pecahan seribu masing-masing satu pucuk.

Pada akhir 2001 Gayo Lues dipimpin Tengku Jafar alias Pang Ama Uwe sebagai panglima Muda dan Pang Pun Pantan sebagai Komandan Operasi. Pada Desember 2002 diadakan dialog Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) atau kesepakatan penghentian permusuhan antara Pemerintah Indonesia dan GAM. Walaupun kesepakatan itu singkat, tiga bulan cukup bagi pasukan GAM untuk meningkatkan jumlah persenjataannya.
Sebelum diberlakukan darurat militer, GAM Gayo Lues berubah menjadi wilayah otonom. Ini berarti mereka mendapatkan jatah senjata lebih banyak dari komando, yakni sebanyak 8 pucuk senjata AK-47.

Dalam masa Darurat Militer, tekanan terhadap GAM semakin represif, tetapi mereka bisa membeli senjata jenis AK-47 dan atribut GAM lewat kolega Tengku Ilyas Pase di Medan. Senjata dan atribut itu dikirim ke Aceh dengan disembunyikan di bal pakaian bekas alias monza. Pernah jumlah senjata di Gayo Lues mencapai 18 pucuk, terdiri dari berbagai jenis.

Namun senjata di tangan padukan terus berkurang akibat serangan TNI/Polri. Hampir setiap pengepungan selalu ada senjata pejuang berpindah ke tangan musuh. Tapi pasukan tidak terlalu khawatir. Kehilangan senjata dalam perang adalah hal wajar. Sepanjang masih ada sarang burung walet, pajak ganja, dan pajak nanggroe, konfrontasi terus berlanjut.

(Raklunung, Juni 24, 2023)

Baca Juga : Catatan Masa Konflik (Bag. 7) : Gayo Lues Wilayah Berdaulat

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.