Catatan Masa Konflik (Bag. 6) : Pasukan GAM Gayo Lues Mabuk Asap Kayu Medang Gatal

oleh
Tampak dalam gambar; Tengku Ilyas Pase, Pang Krani, Pang Sukut dan Pang Sonia. (Ist)

Oleh : Fauzan Azima*

JIKA ditanyakan kepada setiap anggota pasukan Gerakan Aceh Merdeka, “Selama berjuang, mana lebih banyak dukanya daripada sukanya?” Dapat dipastikan jawaban mereka sama, “lebih banyak dukanya.”

Bahkan tidak sedikit pula di antara mereka yang memastikan duka dalam peperangan melawan pasukan Republik Indonesia itu dirasakan sepanjang waktu. Karena sepanjang perang digelar, terlalu banyak kehancuran dan kesedihan.

Pasukan GAM bukan tentara profesional. Mereka hanyalah anak kampung yang menyakini bahwa hanya dengan berperang, angkat senjata, kemandirian dan kesejahteraan mereka dan keluarga terpenuhi. Tak banyak waktu dan kesempatan bagi para muallim untuk menjadikan setiap anak Aceh yang bergabung ke barisan untuk digembleng menjadi prajurit andal, seperti tentara di pihak musuh. Bahkan banyak dari mereka yang berperang tanpa senjata.

Kurangnya pengetahuan tentang peperangan dan cara menyintas di alam liar di kalangan prajurit GAM itu juga menjadi sumber duka. Bahkan seringkali suasana suka berubah malapetaka akibat pengetahuan prajurit minim. Satu di antaranya adalah pengetahuan tentang jenis kayu yang aman dibakar.

Dengan peralatan yang terbatas, praktis prajurit GAM memanfaatkan kayu di hutan untuk dijadikan kayu bakar. Baik untuk memasak atau sekadar menghangatkan badan saat dingin mencoba menusuk tulang. Sayang, tidak semua jenis kayu hutan bisa aman bagi manusia.

Kayu kercing, misalnya. Kayu ini dapat menyebabkan badan gatal jika kita memegang dengan tangan telanjang. Ada juga kayu ibuh yang getahnya beracun. Pada masa lalu getah pohon ini dioleskan di mata panah untuk memaksimalkan efek pada musuh. Sehingga kalau bertemu sungai kecil di hutan, airnya tidak boleh langsung diminum walau bersih karena bisa jadi di bantarannya akar-akar pohon berbahaya itu menjulur ke sungai.

Namun dari semua jenis itu, kayu ini harus diwaspadai. Kayu medang gatal namanya. Efek kayu ini jauh berbeda dengan namanya. Alih-alih gatal, seseorang bisa berubah rabun atau buta jika kayu ini dibakar dan asapnya mengenai mata.

Pada akhir 2003, pada masa Darurat Militer, pasukan GAM Gayo Lues yang bermarkas di daerah Bur Bener, sekitar 3 kilometer arah selatan kota Blangkejeren, sempat terkena musibah penyakit rabun akibat memasak nasi dengan kayu medang gatal.

Pada suatu siang, Tengku Nada Jamil alias Pang Krani, Tengku Ilyas Pase dan Pang Gelep dari Kampung Uning Gelung mengumpulkan ranting-ranting kayu kering yang jatuh ke tanah. Lalu berbagai jenis kayu yang mereka kumpulkan itu dibakar untuk menanak nasi. Suasana saat itu cukup menyenangkan. Sebentar lagi waktu makan tiba.

Asap tipis berubah tebal seiring dengan membesarnya api. Tidak ada yang seorangpun anggota pasukan yang berpikir bahwa di antara tumpukan batang kering itu terdapat kayu medang gatal.

Beberapa menit kemudian, pasukan mulai merasakan sesak napas. Lantas tiga jam kemudian, pandangan mereka menjadi kabur. Siang cerah itu seperti berkabut. Jarak pandang hanya sekitar dua meter. Sebagian dari mereka mencoba mencari tahu cara untuk memulihkan kondisi. Air…mungkin air dapat menetralkan kesadaran dan pandangan mereka.

Lantas mereka saling menuntun untuk mengambil air. Tapi mereka tidak pernah sampai ke sumber air karena terlalu lemah untuk berdiri. Di saat yang sama, seluruh anggota pasukan mendapatkan informasi bahwa tentara musuh tengah menyisir hutan di Kampung Bener, tidak jauh dari lokasi mereka. Pengetahuan itu menambah kekhawatiran mereka.

Mereka bertahan sampai akhirnya, keesokan hari, 12 anggota GAM Wilayah Linge, yang dipimpin oleh Tengku Genancing datang. Mereka juga membawa sejumlah obat-obatan termasuk neurobion, obat penambah darah.

Setelah diobati, Pang Krani dan Pang Gelep perlahan pulih dari pengaruh asap kayu medang gatal tersebut. Tinggal Tengku Ilyas Pase. Dia belum sepenuhnya pulih. Lantas dia salah anggota pasukan menyuntikan obat ke tubuhnya. “Operasi” ini membutuhkan empat orang yang, masing-masing, memegang kaki dan tangan Tengku Ilyas Pase.

Saat jarum suntik itu ditusukkan, Tengku Ilyas Pase menangis sejadi-jadinya. Dia takut bukan kepalang. Seperti anak kecil yang didudukkan di kursi dokter gigi. Lantas Tengku Ilyas Pase mengungkapkan rahasia besarnya, “saya tidak pernah disuntik seumur hidup.”

Pasukan yang menyaksikan “prosesi” itu tentu saja tertawa geli. Apalagi Tengku Ilyas Pase adalah bekas Panglima Muda Daerah I Wilayah Samudera Pasai. Dia adalah penguasa di daerah yang “disegani” oleh prajurit TNI/Polri di Aceh.

Tengku Ilyas Pase adalah anggota pasukan GAM yang menyerang markas TNI Den Rudal di Jamuan, Aceh Utara. Sebelumnya pada 3 Mei 1999, pasukan TNI itu membantai rakyat di Simpang KKA. Setidaknya 46 rakyat Aceh Utara syahid pada peristiwa yang terkenal dengan sebutan “Tragedi Simpang KKA” itu.

“Ike nengon parut bekas peluru ikiding Tengku Ilyas Pase ni gere nyak oya menye e ke? (Kalau lihat bekas-bekas luka peluru di kaki Tengku Ilyas Pase, tidak seperti itu dia manjanya, iya kan?)” kata seorang anggota pasukan. Kalimat itu disambut gelak tawa seluruh pasukan di markas Bener itu. Ya, itulah sedikit suka penawar luka dalam peperangan.

(Raklunung, Juni 22, 2023)

Baca Juga ; Catatan Masa Konflik (Bag. 5); Perang Gerilya Masa Lalu di Gayo Lues

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.