Catatan Masa Konflik (Bag. 5); Perang Gerilya Masa Lalu di Gayo Lues

oleh
Pang Tengku Maaris (Tengah)

Oleh : Fauzan Azima*

ENTAH apa yang merasuki Letkol Van Daalen. Suatu saat, pemimpin marsose penjajah Belanda itu membantai rakyat Gayo Lues di tujuh tempat, yaitu di Benteng Pasir, Benteng Gemuyang, Benteng Durin, Benteng Badak, Benteng Rikit Gaib, Benteng Penosan dan Benteng Tampeng.

Kolonialis Belanda memerangi rakyat Gayo Lues dari sejak 8 Februari sampai 23 Juli 1914. Dalam waktu yang relatif singkat itu 2.957 rakyat Gayo Lues syahid. Mereka terdiri dari 1.828 orang laki-laki, 800 perempuan dan 352 anak-anak. Perempuan dan anak-anak yang dibantai Belanda berjumlah 1.153 orang.

Kekejaman Belanda membantai rakyat Gayo Lues membuat mereka berpikir untuk tidak bertahan pada satu lokasi. Ini adalah ikhtiar untuk menghindari jatuhnya korban jiwa dari pihak rakyat. Pilihan itu bernama perang gerilya. Taktik ini tidak sekadar mengandalkan penguasaan terhadap alam, yang terpenting, dan paling penting, adalah mengusai hati masyarakat untuk bersatu dengan gerilyawan.

Muhammad Hasan Gayo dalam buku Perang Gayo Alas Melawan Kolonialis Belanda–buku itu diterbitkan oleh PN Balai Pustaka–menyebutkan meskipun Van Daalen menghancurkan tujuh benteng pertahanan dan tiga pertahanan rakyat Alas, banyak pejuang Gayo Lues yang menolak untuk menyerah pada penjajah.

Satu yang cukup populer adalah Reje Bukit alias Aman Linting. Setelah bentengnya hancur, aman Linting memilih mundur dan bertahan di gunung. Di sini dia menyusun pasukan baru untuk melanjutkan gerilya. Baru pada 1908 Aman Linting disergap dan ditembak Belanda. Musuh memenggal kepala Aman Linting dan mempertontonkan kekejaman mereka pada rakyat Gayo Lues.

Sosok lain yang cukup populer dari Gayo Lues adalah Muhammad Din. Ketika Belanda membuka sekolah rakyat di Blangkejeren, Muhammad Din tercatat sebagai seorang guru. Namun dia juga berjuang secara rahasia untuk menghancurkan Belanda di Gayo Lues.

Pada 1925 sampai dengan 1926, Muhammad Din, dibantu Pang Bahren dan Pang Jalim, nekat bergerilya dan menyerang tangsi Belanda di Blangkejeren. Serangan itu gagal karena musuh mendapatkan informasi dari seorang pengkhianat ihwal penyerangan itu.

Muhammad Din lantas ditangkap dan dibuang ke Digul, Tanah Merah, Papua. Setelah bebas mereka kembali lagi ke Blangkejeren dan berjuang lagi dengan mempengaruhi para cendekiawan untuk melawan Belanda.

Di dalam benak pejuang Gayo Lues tumbuh kesadaran bahwa pertahanan yang terbaik adalah menyerang. Sehingga ketika ada tawaran untuk berperang di Tanah Karo, pejuang-pejuang Gayo Lues segera bergegas menuju medan perang itu.

Pengalaman masa lalu, saat bertahan di kampung sendiri dan menyaksikan warga dibantai oleh musuh adalah ingatan yang merusak pikiran. Berperang di rumah sendiri, dengan anak dan istri di sekitar, membuat konsentrasi pecah. Seorang pejuang harus memikirkan cara mempertahankan diri dan menyelamatkan istri dan anak. Sedangkan berangkat perang menyerang musuh di markasnya jauh lebih menguntungkan karena lebih fokus pada keselamatan diri.

Saat agresi militer Belanda pertama, pada 21 Juli-5 Agustus 1947, masyarakat merasakan penindasan luar biasa. Belanda merampas sumber daya alam di Jawa dan di Sumatera. Lantas Belanda menangkap pemimpin Indonesia di Yogyakarta pada 19-20 Desember 1948. peristiwa ini dikenal dengan Agresi Kedua. Dalam masa itu, para “Pang” lebih memilih menuju medan jihat di kandang musuh, di Medan Area dan Tanah Karo.

Para Pang dan Datok dari Gayo Lues tersebut di antaranya; Pang Gantoi dari Pasir Terangon. Pang Gantoi biasa mengayun cucunya dari pohon kelapa ke pohon kelapa lainnya. Sedangkan Datok Sere mampu berpindah tempat dalam waktu sekejap. Dia berasal dari Blangkejeren.

Nama lain yang memilih berjuang di luar adalah Datu Matsyah dari Pining, Pang Rema ari Rema Tue, Datok Pining dari Pining, Pang Item dari Padang Pasir, Tengku Maaris asal Badak, Panglime Beramat ahli pedang dari Blangkejeren, Pang Cik Bengkik. Nama terakhir adalah saudara kandung Aman Pos yang dikenal memiliki kemampuan yang sulit dipahami nalar manusia.

Keunikan dari Tengku Maaris, seorang Pang yang berasal dari Kampung Badak. Dia bisa melempar batu dari kampung Badak sampai ke tangsi atau markas Belanda. Padahal jarak kedua lokasi itu mencapai 1 kilometer. Benteng Badak merupakan Benteng terakhir yang dikuasai Belanda. Ketika Belanda menyerang Benteng Badak, tercatat 122 rakyat Badak syahid. Mereka terdiri dari 99 orang laki-laki dan 29 perempuan.

Belanda juga membantai 16 anak-anak pada peristiwa itu. Satu hal yang pasti, setiap kekejaman penjajah itu tidak menyurutkan semangat para pejuang di Gayo Lues untuk melawan. Jika itu tak bisa dilakukan di kandang sendiri, mereka bergabung dengan front lain yang memiliki tekad sama melawan penjajah.

(Raklunung, Juni 17, 2023)

Baca juga : Catatan Masa Konflik (Bag. 4) : Wilayah Gayo Lues Tempat Paling Aman Bagi Gerilyawan

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.