Oleh : Fauzan Azima*
TULISAN-tulisan saya tentang perjalanan hidup, terutama saat masih berstatus anggota Gerakan Aceh Merdeka, hanya sebuah ikhiar untuk mencatat takdir masa lalu. Tulisan-tulisan itu dibuat tanpa tendensi untuk menyinggung pihak manapun. Tidak juga berniat untuk menyanjung diri.
Saat menuliskan takdir itu, saya hanya berharap orang-orang yang membaca mengambil hikmah. Saya hanya ingin mengingatkan anak dan cucu tentang sejarah pahit perang dan berharap mereka tidak mengulangi hal sama.
Karena setelah bertahun-tahun, segala sesuatu pada periode peperangan itu semakin jelas dan tergambar. Kepingan-kepingan puzzle yang dulu tak tampak kini tersaji di hadapan. Sama seperti peristiwa yang terjadi sepanjang 1998-2002 di Gayo Lues. Daerah itu merupakan salah satu bagian dari teretori GAM Wilayah Linge.
Dalam perkembangannya, Gayo Lues menjadi wilayah mandiri. Prajurit GAM di daerah ini memiliki kekuatan yang dapat diandalkan. Distribusi pasukan dan persenjataan merata. Melihat kesiapan mereka, para pemimpin GAM saat itu merasa perlu menetapkan Gayo Lues sebagai daerah otonom dalam perjuangan melawan Pemerintah Indonesia.
Prediksi itu terbukti. GAM Wilayah Gayo Lues berkembang pesat. Salah satu yang melatarbelakangi hal ini adalah anggapan pihak militer Indonesia bahwa Gayo Lues bukan daerah penting. Mereka menganggap masyarakat Gayo Lues tidak bakal terkontaminasi oleh idiologi perjuangan Aceh Merdeka. Apalagi, dalam sejarah, hampir tidak ada tokoh maupun pendiri GAM berasal dari Gayo Lues.
Biro penerangan GAM Wilayah Gayo Lues memanfaatkan situasi ini dengan baik untuk membangkitkan semangat para pemuda. Agitasi dan propaganda disebarkan untuk menyentuh emosional anak-anak muda di daerah itu. Termasuk dengan mengungkapkan bahwa nenek moyang orang Gayo Lues adalah pejuang berani dan gigih melawan kekejaman penjajah Belanda.
GAM Wilayah Gayo Lues mengungkapkan cerita tentang para Pang yang tidak pernah menyerah melawan penjajah, terutama pada agresi Belanda kedua, sekitar 1949. Itu adalah perang Indonesia-Belanda sebagai revolusi sosial, bukan perang kemerdekaan. Perusahaan-perusahaan Belanda mengubah nama pada 1980-an. Jadi kami mengampanyekan Indonesia adalah perpanjangan tangan Belanda.
Kelengahan militer Indonesia saat itu di daerah Seribu Bukit dimanfaatkan oleh kombatan di wilayah itu untuk memasok persenjataan. Di daerah ini pula pasukan GAM lebih leluasa berlatih. Para remaja, yang lahir di daerah itu, atau terlahir dari orang tua yang berasal dari Gayo Lues, diberdayakan untuk menyusup dan menyebarkan idiologi Aceh Merdeka di tengah-tengah masyarakat.
Pada akhir 2000, pasukan GAM bersenjata yang pertama kali bergerak dari Wilayah Linge terdiri atas sembilan orang; Tengku Jafar alias Ama Uwe sebagai panglima; Tengku Amir alias Pun Pantan sebagai Komandan Operasi; Tengku Karim alias Pang Tengkereng sebagai keuangan; Tengku Reje Kuala, Tengku Rajali alis Pang Tiger, Tengku Udin alias Pang Lemis, Tengku Dulah, Tengku Nas alias Pang Tanuk, dan Tengku Abdurrahman alias Pang Manti.
Di sepanjang perjalanan ke Gayo Lues, mereka melakukan sweeping, pengadangan, dan menyerang pos musuh. Sebaliknya, mereka juga berulang kali diserang pasukan TNI/Polri. Seperti yang terjadi saat pasukan di bawah komando Ama Uwe melakukan sweeping di Lumut, daerah yang berjarak sekitar 60 kilometer dari Blangkejeren, Ibu Kota Gayo Lues.
Namun saat pasukan mencegat agen pengusaha dari Takengon di Tembolon ke arah Pantan Cuaca, tiba-tiba pasukan GAM berada di tengah kepungan pasukan TNI dari Kesatuan Siliwangi. Pengadangan ini menyebabkan seorang anggota pasukan, Pang Reje Kuala, terpisah. Dia berhasil menyelamatkan diri dan pulang sendirian ke Samarkilang.
Sementara anggota pasukan Ama Uwe lain meneruskan perjalanan ke daerah Pining. Di sana mereka ditunggu pasukan dari Terangon, yakni Pang Ayu Ara, Pang Doyok, Pang Panji dan seorang lainnya.
Di daerah itu, semua anggota pasukan mensosialisasikan kepada masyarakat tentang Gerakan Aceh Merdeka. Hasil dari kampanye itu, seorang warga menyerahkan gua sarang burung Pining dan gua gantung kepada pasukan GAM sebagai modal perjuangan. Selain mengenalkan GAM, pasukan juga meyakinkan masyarakat untuk melawan tentara musuh.
Lantas Ama Uwe menetap di Tampur. Namun dia tetap memantau dan berkoordinasi dengan pasukan di lapangan saat melakukan penyerangan dan pengadangan. Terjadilah peperangan berikut. Pasukan saat itu dipimpin Pun Pantan. Mereka menyerang pos yang berdiri di Kampung Penosan, Kecamatan Blang Jerango. Pasukan GAM menyerang pos yang dijadikan tempat untuk menyiksa kondektur angkutan umum yang dibunuh di tempat itu.
Mereka juga mengadang pergantian pasukan TNI di Ampa Kolak, Kecamatan Rikit Gaib. Berlanjut dengan kontak tembak di Agusen, Kecamatan Blangkejeren. Mereka juga menyerang sejumlah anggota Brimob yang melintas dengan sebuah truk di Skuelen, Kecamatan Blang Jerango. Mereka juga terlibat kontak tembak dengan aparat di daerah Kacang Retak, di kawasan Agusen.
Ada satu kisah penyerangan yang sangat berkesan adalah saat pasukan Tengku Ramli, seorang disersi TNI dari Meulaboh, menyerang aparat di daerah Trangon. Setelah penyerangan itu, anggota pasukan yang tidak bersenjata terpaksa berlindung ke daerah Pining yang relatif aman dari serangan musuh.
Selama beroperasi di Gayo Lues, Komandan Operasi, Pun Pantan, menyatukan pasukan Rikit, Pining dan Trangon. Pun Pantan menyatakan secara terbuka bahwa pasukan GAM tidak melarang usaha masyarakat masuk ke hutan. Pun Pantan hanya berpesan, jika warga masuk ke hutan, hendaknya mereka membawa beras untuk membantu para pejuang.
Bergerilya di Wilayah Gayo Lues jauh lebih mudah dibandingkan dengan Wilayah Linge (Aceh Tengah dan Bener Meriah). Di Linge, musuh yang dihadapi pasukan GAM tidak hanya tentara TNI atau personil Polri. Mereka juga harus berhadapan dengan sejumlah milisi bersenjata dan “tukang tilok”.
Tidak banyak kampung yang mudah dimasuki GAM dan memberikan keamanan di tengah-tengah peperangan. Situasi ini menyebabkan pasukan GAM Wilayah Linge kerap kelaparan karena pasokan logistik sangat terbatas. Berbanding terbalik dengan pasukan di wilayah Gayo Lues. Mereka dengan mudah mendapat dukungan masyarakat, entah itu sekadar dukungan moral, pasokan makanan dan keuangan.
Masyarakat Gayo Lues saat itu memang tidak terlalu bersimpati dengan keberadaan TNI/Polri. Bahkan masyarakat di sana cenderung memusuhi TNI/Polri karena banyak warga yang terpaksa berurusan dengan hukum karena tanaman ganja.
Pemuda di daerah itu juga memiliki kesaktian, seperti para pendahulu mereka. Meski hal itu harus dibuktikan. Jangan seperti orang gundul yang menjual obat penumbuh rambut. Keuntungan lain yang disediakan Gayo Lues adalah penduduk yang relatif homogen. Tidak banyak suku yang bercampur baur di daerah itu hingga saat kehadiran tentara BKO TNI/Polri dari luar daerah.
Gayo Lues juga memiliki letak strategis. Kabupaten ini berbatas dengan Wilayah Peureulak, Linge, Blang Pidie dan Tamiang. Dengan segala keunggulan itu, ucapan Tengku alias Pang Camat tidaklah berlebihan. “Andai darurat militer maupun sipil diperpanjang, kami sudah siap.”
(Raklunung, Juni 16, 2023)
Baca Juga : Catatan Masa Konflik (Bag. 3); Urang Gayo Lues Minta GAM Berantas Ilmu Santet