Oleh : Fauzan Azima*
Dari seluruh perjalanan hidup, inilah sesi yang melelahkan. Hati, fikiran dan “keluarga” atau “negara” dalam tubuh ini masih larut dalam ketidaktahuan diri. Kelopak mata sebagai kunci penopang tubuh ini untuk tegak tidak lagi mampu melek dengan sempurna.
Mufti, ulama, pengelana, pemusik, ksatria, wartawan bahkan priyayi adalah aku yang di barat, timur, utara dan selatan. Ceritanya walau berliku, sedih, datar, melewati penderitaan, tetapi selalu berakhir dengan happy ending.
Panggung sandiwara kali ini, sudah dua per tiga durasinya masih mencari Ratu Adil, Imam Mahdi, Guru Mursyid, Ratu Sunda atau Guru Sejati untuk selamat dan berakhir dengan happy ending.
Episode demi episode pengembaraan ini kujalani peran sebagai tokoh antagonis; sparatis yang melawan negara dan makar. Inilah kekhasan dalam daftar riwayat hidupku yang tidak ada pada kehidupan sebelumnya.
Seorang penulis Elsha, perempuan Prancis turunan Aljajair membesarkan hatiku, “Berperang dan mendekam di dalam penjara adalah bagian dari kesempurnaan hidup.”
Padahal aku tahu dunia adalah panggung sandiwara. Aku terlalu serius membaca daftar dosa penyelenggara negara. Aku tidak bisa membedakan antara negara sebagai amanah dan penyelenggara negara sebagai penerima amanah. Lebih naif lagi, aku tidak faham, ternyata mereka hanya wayang yang dimainkan sang dalang.
Oh ya, ternyata “dalang” kata kuncinya. Para pesalik atau pemain wayang harus mencarinya dan berdialog untuk membuka jati diri dan tugasnya di panggung. Dalam kehidupan, dalang atau sutradara sering bersembunyi dalam bermacam lakon. Bahkan tidak sedikit yang menyamar sebagai dukun. Orang yang mengkhususkan diri sebagai pencari Tuhan, tentu tidak boleh terjebak wujud.
Tidak banyak sutradara yang mengatur keseimbangan kehidupan di dunia ini. Mereka juga yang mengatur; Sundo, Jowo, Cino dan Londo tidak akan pernah bisa dipisahkan. Kita termasuk ke dalam Sundo, tapi Aceh masuk dalam urutan ke enam dari 25 negara induk yang diakui dengan gelar Pangeran Waringin Sari.
Bersyukur aku masih bisa meneruskan hidup setelah scene sparatis dan makar. Perang berdarah-darah untuk kemerdekaan yang kami perjuangkan ternyata hanya perang kecil. Perang kemerdekaan yang sesungguhnya adalah perang melawan dan membebaskan diri dari hawa nafsu yang celaka dan apes.
Dalam lakon selanjutnya, ketika mendedikasikan diri pada pemenuhan hak dasar hidup manusia, aku harus berlatih untuk selalu tersenyum agar memberikan energi positif bagi siapapun yang ada di sekitar kita, meskipun hanya “senyum peksos (pekerja sosial)” sebagai andalan untuk bertahan hidup.
Percayalah, hanya hal-hal baik yang akan menjadi magnet untuk menarik hal-hal yang baik pula. Sehingga manusia adalah apa yang difikirkannya. Demikianlah hukum alam. Bahkan dalam berjima’ pun, bisa tahan lama, asal fikiran fokus untuk tahan lama.
Sepatutnyalah dalam hidup dan kehidupan ini, kita harus selalu berfikir bahagia agar kebahagiaan selalu menyertai kita. Sengsara, bahagia, surga, neraka kita yang menciptakannya. Bagaimanapun berlikunya hidup yang penting “Happy ending.”
“Lalu, kapan waktu kita bersedih dan menangis?,” istriku bertanya dengan serius.
“Temanilah aku berjalan pada saat turun hujan, moment itulah air mataku akan tumpah dan orang tetap menganggap kita tersenyum karena air mata kita larut dalam derasnya air hujan,” kataku dengan senyum.
(Mendale, Mei 2, 2023)