Oleh : Fauzan Azima*
Pada saat mencapai puncak kenikmatan, yang diperoleh dengan menafikan benar-salah, baik-buruk dan untung-rugi telah menjadi ukuran dalam hidup, namun kadang sebab sedikit kebaikan yang pernah kita lakukan, seringkali menuntun kita pada rentetan pertanyaan.
Di antara daftar pertanyaan itu; siapakah sesungguhnya diri ini? Apakah sudah benar praktek agama kita selama ini? Apakah agama sudah dibelokkan dari maksud sebenarnya oleh para tokohnya? Apakah sudah benar tafsir kitab suci menurut maksud Tuhan? Dan pertanyaan lainnya yang menjadi beban fikiran.
Berangkat dari beberapa pertanyaan itu, sekelompok orang mulai mencari jalan atau dalam tarekat, mereka menyebutnya pesalik, orang yang mengkhususkan hidupnya mencari Tuhan untuk berguru langsung kepada-Nya agar tidak sesat fikir dan perbuatan.
Sebelum mencapai Dia, para pesalik biasa terlebih dahulu mencari guru sejati atau guru mursyid yang akan membimbing mereka untuk menemukan Yang Satu itu. Maqom Guru sejati sangat menentukan dalam menunjukkan jalan pesalik menuju rumah-Nya.
Persinggahan pertama biasa terdaftar sebagai salah satu anggota tarekat atau majelis-majelis dzikir yang fokus pada tazkiatun nafsi (membersihkan diri dari nafsu lawwamah). Sebagai mana namanya tarekat yang bukan lagi diterjemahkan sebagai “jalan menuju Tuhan” tapi sudah dilabelkan sebagai “terikat”.
Pesalik masih belum bisa memerdekakan diri dari rasa benci dan sombong. Mereka masih merasa paling benar dan aliran tarekat di luar dirinya dengan mudah dikatakan sebagai aliran sesat. Sebagian sadar dan mencari guru mursyid yang lain.
Selanjutnya pada persinggahan kedua dari perjalanan panjang mencari guru mursyid di luar tarekat. kaum perjalanan sering terjebak dengan permainan sang guru yang tidak benar dengan cara mengayun-ayun pesalik dengan kalimat; sebelum kelahiran sekarang adalah orang besar, raja ini dan raja itu, sehingga timbul ujub yang merasa orang lain rendah.
Kalau kaum perjalanan sadar, mereka akan meneruskan perjalanan mencari guru mursyid yang lain yang berada pada persinggahan ketiga. Sering kali perjalanan spiritual dibelokkan menjadi praktek perdukunan dan larut dalam permainan barang antik.
Tidak ada yang sukses dalam menarik maupun jual beli barang antik. Semua hanya fatamorgana. Rata-rata para pemain barang kuno tidak saja jauh dari petunjuk, tapi juga menyebabkan miskin papa.
Begitupun banyak yang terus larut dalam permainan itu, beberapa orang sadar dan meneruskan perjalanan untuk mencapai maksudnya walaupun dengan merangkak.
Sebagian kecil dari pemain barang kuno itu mendapat petunjuk lewat “wali bahasa” bahwa yang dimaksud dari permainan barang antik itu, bukan benda atau khodamnya, tetapi namanya. Seperti Samurai (semua dapat kuraih), keris (mencapai ujung jalan dengan berliku-liku), tokek (cari orang tua sebagai guru sejati).
Walaupun kita selalu gagal dalam mengenal guru sejati, tapi tekad dan niat yang ikhlas pasti akan membimbing kita menuju kepadanya.
Dalam perjalanan panjang itu, berapa kalipun kita singgah, jangan sampai terjebak wujud dalam kubang kepura-puraan dan mata jangan pernah silau oleh asesoris sorban dan pakaian kearab-araban.
(Mendale, Mei 19, 2023)