Oleh : Fauzan Azima*
Pada tahun 1948, orang-orang tua di Jawa masih menyaksikan orang yang akan meninggal beramanah agar jenazahnya diantar ke sungai yang tidak jauh dari kampungnya.
Orang-orang tua waktu itu juga masih menyaksikan orang-orang yang diantar ke sungai itu, pada hari-hari pekan keluar berbelanja. Bagi pedagang yang faham akan memberikan gratis setiap mereka membeli kebutuhannya.
Mereka sering membawa anak-anak saat berbelanja. Artinya mereka juga melakukan perkawinan untuk mengembangbiakkan komunitasnya.
Sebenarnya cerita itu tidak aneh dan tidak saja berlaku di Jawa, tetapi juga terjadi di negeri kita. Seperti kisah Putri Ijo kurang lebih ceritanya sama.
Seperti cerita di Jawa, Komunitas Putri Ijo sudah berketurunan dan sering berbelanja di Pasar Pagi, Pasar Inpres dan Pasar Payailang. Hanya saja kita tidak “ngeh.” Kita tidak sensitif dengan kehadiran mereka.
Menurut orang-orang tua dulu, eksistensi mereka bermula dari pengamalan doa yang dirapalkan terus menerus dengan bertujuan setelah meninggal agar mereka ditempatkan sebagai penunggu sungai, danau dan hutan.
Pada masa konflik Aceh dan Jakarta, beberapa orang mengamalkan bacaan lima ayat terakhir Surat Alkahfi dan tiba-tiba menghilang di Tengah hutan. Sampai saat ini tidak diketemukan. Menurut orang pinter mereka telah bergabung dengan Manusia Bunian.
Manusia Bunian terbagi dua; Manusia Bunian Kebenaran (MBK) yang senantiasa berlaku jujur. Pusat MBK sekarang di daerah Ibu Kota Nusantara (IKN) Kalimantan. Sedangkan yang menjadi lawan MBK adalah Manusia Bunian Limunan (MBL) yang berpusat di Peurtorico, Amerika Utara. Antara MBK dan MBL selalu berperang.
Kemampuan Manusia Bunian di atas manusia biasa. Perumpamaannya, kita naik mobil di jalan menanjak, mereka bersepeda lebih cepat sampai di tujuan. Mereka menjadi sakti dan cerdas karena senantiasa bersikap jujur.
Hanya saja doa atau ilmu itu sudah tidak berlaku lagi. Masa uji berlakunya sudah habis. Mereka eksis dengan komunitas yang ada atau hanya segelintir pelakon yang bebad keluar masuk dunia kita dan dunia dimensi lain itu.
Roh mereka benar tidak mencapai derajat maqom para Nabi yang ditempatkan di Ka’bah, tetapi kelas aulia yang menguasai danau, sungai dan hutan sudah sangat beruntung. Roh mereka sudah jelas dititipkan masih dalam fisik atau bentuk manusia walaupun mereka hidup di dunia dimensi lain.
Penting, kehidupan sesudah mati sudah jelas. Tidak kemudian hidup gentayangan. Tidak ke langit dan tidak juga ke bumi. Di bumi tidak diterima dan di langit ditolak. Sehingga hidupnya terawang-awang. Jelas, menjadi komunitas penunggu sungai, danau dan hutan jauh lebih baik daripada gentayangan.
(Mendale, Mei 12, 2023)