Pengantar Singkat Untuk Naskah Panjang : Lelaki yang Lahir Salah Musim

oleh

Oleh : Nanda Winar Sagita*

Suatu kehormatan besar bagi saya dipercayakan oleh Pak Fauzan Azima sebagai editor dari ratusan opininya yang terhimpun dalam buku ini. Ada perasaan bangga, itu jelas, tapi bagaimana pun juga kebanggaan yang berlebihan tentu tidak baik.

Hal itu disebabkan karena kebanggaan adalah salah satu dari tujuh dosa mematikan yang dirumuskan dalam buku Summa Theologica oleh Thomas Aquinas!

Pertemuan pertama saya dengan Ama Gajah―demikianlah julukan beliau semasa menjadi Panglima GAM Wilayah Linge―adalah kecelakaan sejarah. Saat itu saya sedang mengajar di SMAN 6 Takengon, dan saya ditelepon oleh Bang Maharadi untuk bertemu dengan Ama Gajah di Cafe Temong, Mendale.

Tentu ada perasaan waswas dalam hati saya, karena entah bagaimana pada waktu itu mendengar namanya saja membuat saya gemetar. Dia seorang mantan Panglima GAM, tentu gambaran pertama di benak saya adalah sosok bengis yang untuk menatap matanya saja saya tidak akan berani.

Terlebih lagi saat itu saya baru saja menulis artikel di Mojok yang berisi satire soal bagaimana seandainya GAM menang dan Aceh merdeka menjadi sebuah negara. Artikel itu jelas sebuah sindiran, tapi mengaitkannya dengan ajakan bertemu oleh mantan Panglima GAM yang organisasinya turut saya sindir adalah momen pelik yang melemaskan lutut.

Sejauh yang saya mampu, saya sudah menyediakan apologia jika nanti beliau menanyakan soal kenekatan saya menulis artikel tersebut.

Setelah tiba di Kafe Lemong, ternyata kenyataan yang saya rasakan berbanding terbalik dengan ekspektasi saya. Saya merasa berdosa karena sudah berburuk sangka terlebih dahulu. Ternyata beliau orang yang ramah dan bicara dengan nada suara lembut, namun kesantunannya sama sekali tidak melunturkan aura bijaksana dan karismatik yang terpancar dari mimik wajahnya.

Pada mulanya saya bertanya-tanya: “Apa betul tokoh di hadapan saya ini pernah menjadi sosok GAM nomor satu di wilayah Aceh Tengah?” Kesan menyeramkan yang sebelumnya menggerayangi benak saya langsung raib setelah kami tenggelam dalam percakapan menyenangkan yang tidak akan pernah saya lupakan.

Waktu itu saya diminta untuk menyunting ulang buku pertamanya yang berjudul Sang Gerilyawan. Buku itu adalah memoar yang menceritakan momen-momen perjuangannya selama menjadi kombatan GAM. Setelah membaca draf awal, saya sempat menyandingkan buku itu dengan buku Husaini Hasan yang berjudul dari Rimba Aceh ke Stockholm.

Namun setelah membaca lebih jauh, saya berkesimpulan sudut pandang yang diambil oleh Ama Gajah sama sekali berbeda dengan buku Husaini Hasan. Saya bersedia untuk menyuntingnya, tentu saja, dan buku itu terbit sekitar empat bulan kemudian.

Barangkali atas kepuasan beliau dari hasil suntingan saya, sekali lagi saya diminta untuk menyunting opini-opininya yang tersebar di berbagai media untuk dihimpun dalam sebuah buku berjudul Lelaki yang Lahir Salah Musim ini. Selama dua pekan, saya mengumpulkan semua artikel yang pernah ditulis oleh beliau sejak lima tahun belakangan.

Titimangsa terlawas adalah artikel Membunuh Harimau dengan “Petukel Rebus” yang ditulis pada 28 Maret 2018, sedangkan yang teranyar adalah Manusia Dihukum oleh Perbuatannya yang ditulis pada 17 April 2023. Setelah berdiskusi dengan Ama Gajah, ia sepakat untuk menghapus semua tanggal penulisan untuk dicantumkan dalam buku ini karena dengan demikian semua tulisan itu tidak akan tergerus oleh zaman.

Secara garis besar, buku ini berisi tentang hasil permenungan beliau setelah masa perang berakhir. Jika Sang Gerilyawan fokus pada perjuangan dalam jihad kecil dalam pertempuran di medan perang, maka Lelaki yang Lahir Salah Musim ini tidak lain adalah pergelutan batin dalam jihad besar.

Kita semua tahu, jihad besar untuk melawan diri sendiri jauh lebih sulit dan lebih besar pahalanya jika dibandingkan jihad kecil untuk melawan musuh yang berasal dari luar diri.
Tentu antara saya dan beliau terpaut usia yang jauh.

Saya adalah seorang bocah yang lahir di masa perang, tapi baru memahami dunia setelah era perdamaian tiba; sedangkan beliau adalah pelaku perang itu sendiri, dan menjadi saksi atas segala kenyataan yang terjadi setelahnya. Jadi persahabatan kami berasal dua generasi berbeda yang mencoba untuk saling bertukar pikiran demi satu tujuan.

Setelah membaca semua opini yang ia tulis, saya menarik satu kesimpulan pasti: sosok Ama Gajah adalah seorang cendikiawan langka yang dimiliki oleh bangsa Gayo. Ia seorang pejuang, ia seorang politikus, ia seorang seniman, ia seorang budayawan, ia seorang sastrawan, ia seorang wartawan, ia seorang pemikir, ia seorang… intinya, ia seorang polimatik yang mampu merangkum segala isi kepalanya dalam tulisan-tulisan bernas dan bestari.

Buku ini terdiri dari empat bagian, yang mana tiap-tiap bagian mewakili tema besar yang diusung oleh penulis. Dilihat dari kompleksitas tema yang diusung, Ama Gajah bertindak layaknya Sang Pengoceh Saul Zuratas dalam buku El Hablador karya Mario Vargas Llosa.

Ia mengomentari segala hal yang terjadi, tapi memberi solusi pasti atas semua masalah yang sedang ia komentari. Meskipun beberapa kasus berasal dari latar yang sangat jauh―baik dari segi ruang maupun waktu―tapi pada akhirnya segalanya kembali pada satu titik temu: demi memperjuangkan kemaslahatan Aceh dan Gayo!

Adapun bagian pertama diberi judul Percikan Agama dan Falsafah Kehidupan. Bagian ini berisi pemikirannya tentang filosofi hidup yang dikaitkan dengan dogma dan riwayat yang berkaitan dengan agama.

Bagian kedua berjudul Kiasan Sejarah dan Kebijaksanaan Para Tokoh yang membahas tentang pentingnya sejarah dengan bertonggak pada kisah-kisah para tokoh yang membentang sepanjang zaman. Bagian ketiga diberi judul Renungan Budaya dan Kearifan Sosial yang merupakan kritik dan solusi atas permasalahan yang menyangkut dengan budaya dan sosial, khususnya di Aceh dan Gayo.

Adapun bagian keempat adalah Kelestarian Lingkungan dan Keganasan Wabah yang membahas tentang isu-isu lingkungan di seantero Aceh, khususnya pelestarian hutan dan bencana alam, serta topik-topik sekitar wabah pandemi Covid 19. Di samping semua itu, ada bagian pamungkas berisi beberapa syair yang ditulis liris ihwal perjalanan menuju tauhid (tahu diri).

Saya butuh banyak waktu untuk menuntaskan suntingan buku ini karena saya tidak ingin mengecewakan Ama Gajah. Tentu ada kesedihan lain yang saya rasakan dalam proses penyuntingan, karena beliau terserang penyakit selama beberapa bulan.

Lebih dari segalanya, saya berharap buku ini bisa menjadi persembahan bagi seluruh pembaca, terutama orang Aceh dan Gayo, karena tidak ada hal yang patut disyukuri oleh peradaban suatu bangsa selain daripada kehadiran cendikiawan yang begitu tulus ingin mengubah keadaan menjadi lebih baik. Tentu saja, tulisan adalah salah satu cara yang terbukti mampu untuk melakukannya!

[]

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.