Disposisi KIP Aceh: Kritik Terhadap Landasan Hukum yang Tumpang Tindih

oleh

Oleh : Maharadi*

Sejalan dengan perubahan Undang – Undang dasar 1945, kebijakan mengenai pemerintahan daerah juga mengalami perubahan yang cukup mendasar.

Perubahan ini dilatarbelakangi oleh kebijakan Desentralisasi yang dituangkan dalam Otonomi Daerah serta semangat memajukan kebijakan pelayanan publik yang mensejahterakan masyarakat di Daerah.

Berdasarkan UU No.32 tahun 2004 Pasal 1 No.5, memberikan definisi otonomi daerah yaitu hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang – undangan.

Melalui otonomi daerah, pemerintah pusat secara langsung memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya demi kesejahteraan masyarakat daerah tersebut.

Sesungguhnya UUPA bukan saja dasar umum bagi pelaksanaan kebijakan otonomi khusus Aceh saja melainkan juga terdapat banyak ketentuan lain, mulai dari kebijakan syari’at Islam, partai politik lokal, calon kepala daerah independen, hingga pelaksanaan pemilu.

Dalam konteks pelaksanaan pemilu, Komisi Independen Pemilihan Aceh atau KIP Aceh telah dibentuk sebagai lembaga terpisah dari komisi pemilihan umum lainnya di Indonesia.

Kelembagaan KIP Aceh berbeda dengan lembaga pelaksana pemilu lain di Indonesia karena diatur dalam tiga aturan sekaligus, yakni UUPA itu sendiri, UU Pemilu dan Qanun No. 6/2016 jo. Qanun No. 6/2018.

Perbedaan Lembaga dan aturan menghasilkan perbedaan nomenklatur, jumlah anggota, dan metode rekrutmen anggota yang berbeda dengan lembaga penyelenggara pemilu di daerah lainnya di Indonesia.

Perbedaan tersebut menimbulkan konflik norma dan disharmoni kelembagaan KPU dengan KIP Aceh. Oleh sebab itu, perlu upaya rethinking terhadap keberadaan KIP Aceh dan mengusulkan penyelesaian konflik norma yang dapat mengatasi tumpang tindih dasar hukum KIP Aceh.

Keberadaan KIP Aceh diatur dalam tiga aturan berbeda, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), dan Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2016 tentang Pemilihan Umum dan Pemilihan di Aceh dan telah diubah dengan Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Qanun Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2016 tentang Pemilihan Umum dan Pemilihan di Aceh.

Dari sisi norma hukum, kehadiran tiga landasan hukum tersebut seringkali tidak selaras. Adakalanya, ketentuan dalam qanun mengatur hal yang sama sekali tidak diatur dalam undang-undang.

Sebab di Aceh saat ini ada dua aturan pemilu yang berlaku; UUPA dan UU Pemilu. Dari UUPA kemudian melahirkan sejumlah qanun.
Dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2016, aturan kelembagaan KIP dapat dikatakan tidak berbeda secara signifikan dengan UUPA.

Qanun Nomor 6/2016 merupakan aturan pelaksana terhadap kelembagaan pemilu yang diatur secara umum dalam Pasal 56 UUPA.

Terlepas dari itu, yang patut dicatat hanya Aceh sebagai satu-satunya daerah otonomi khusus yang memiliki qanun/peraturan daerah tentang pemilihan umum, satu aturan yang tidak dimiliki dan dibentuk oleh pemerintah otonomi khusus di daerah lain.

Namun, ketentuan pasal 58 ayat 1 Qanun 6 Tahun 2016 dihapuskan seiring dilakukannya perubahan terhadap qanun tersebut sebagaimana tertuang dalam Qanun Nomor 6 Tahun 2018.

Sebab pada Pasal 58 ayat 1 Qanun 6/2016 sebelumnya. Dimungkinkan pembentuk qanun tersebut untuk memanfaatkan anggota KIP Aceh tidak hanya untuk satu kali pemilu saja.

Praktik memanfaatkan anggota KIP oleh sejumlah elite dalam memenangkan pemilu di Aceh memang sudah berlangsung lama dan menjadi kostruksi penentuan kuasaan di Aceh.

Pun demikian berlakunya Qanun Nomor 6 Tahun 2018 tidak membawa perubahan sama sekali bagi kelembagaan KIP Aceh. Pola lembaga KIP diatur sama seperti qanun sebelumnya.

Perubahan dalam qanun tersebut mengubah kelembagaan pengawas pemilihan Aceh. Penamaan lembaga pengawas pemilu di Aceh menjadi Panitia Pengawas Pemilihan Aceh Panwaslih Aceh dan menjadikan Panwaslih sebagai lembaga permanen yang bertugas mengawasi.

Perubahan bagi Panwaslih Aceh sejatinya adalah respon terhadap kehadiran UU Pemilu dan Putusan MK Nomor 61/PUU-XV/2017. Sementara bagi KIP Aceh kehadiran Putusan MK tersebut mengembalikan struktur kelembagaan KIP sesuai aturan UUPA.

Namun distingsih struktur kelembagaan KIP di UUPA dan UU Pemilu masih terus menjadi perdebatan serius. Apakah harus mengikuti aturan UUPA atau aturan UU Pemilu ?
Untuk menjawab permasalahan tersebut, kiranya perlu didudukkan secara jelas posisi kedua aturan tersebut dalam mengatur tata kelola pemilu di Aceh.

KIP merupakan lembaga independen penyelenggara Pemilu di daerah yang bertugas untuk menyelenggarakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur Provinsi Aceh sebagai pemilihan kepala daerah secara langsung pertama dibandingkan dengan provinsi lainnya.

Sedangkan KPU bersifat nasional, tetap, dan mandiri terbantuk menurut Pasal 22E UUD 1945 (setelah perubahan UUD 1945), KIP ditempatkan sebagai bagian dari KPU di mana KIP diberi kewenangan sesuai dengan UUPA untuk menyelenggarakan Pemilu dan Pilkada di Aceh.

Pada stufenbau theorie Kelsen, istilah groundnorm dimaknai sebagai konstitusi dalam arti materiil. Jadi apabila diterapkan dalam konteks studi berjenjang maka dalam suatu hierarki tata susunan norma yang lebih rendah bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi.

Dalam hal ini Tampak paradigma positivisme hukum dalam stufenbau theorie ini, digunakan untuk menjustifikasi Undang-undang secara hirearkis belaka, namun dengan mencampur struktur norma dengan fakta sosial politik. Padahal salah satu kunci dari stufenbau theorie subjeknya adalah hukum positif—sebagai sistem hukum “yang seharusnya”—daripada fakta sosial politik.

Apabila dalam sistem hukum terjadi pertentangan atau terjadi konflik norma, maka cara mengatasinya adalah melalui asas penyelesaian konflik hukum (asas preferensi). Namun hal tersebut tidak dimungkinan dalam kasus ini.

Sebab, Dalam kasus UUPA dan UU Pemilu, kedua aturan tersebut memiliki hierarki yang sama sebagai undang-undang, sehingga asas ini tidak dapat diterapkan.

Disisi lain asas lex posterior juga tidak dimungkinkan, sebab mengenyampingkan UUPA artinya juga menghiyanati konsesus desentralisasi kewenangan-kewenangan yang selama ini tersentralisasi, yang justru akan memperparah norma hukum jika penerapan UU Pemilu secara langsung mengatur KIP dan mengenyampingkan UUPA.

Distingsih pengenyampingan UUPA yang mengatur KIP digunakan untuk menjustifikasi Undang-undang secara hirearkis belaka, karena subyeknya adalah fakta social politik bukan hukum positif sebagai sistem.

Hai itu pula yang menyebabkan konteks UUPA dan UU Pemilu sulit dibedakan antara undang-undang khusus atau bukan. Sebab, UUPA sebagai undang-undang khusus bagi dasar hukum atas setiap kebijakan di Aceh dikotomi khususan UU Pemilu sebagai lex specialis, dimana aturan hukum yang harus digunakan dengan mengingat undang-undang yang saling bertentangan tersebut sama-sama merupakan aturan khusus.

Prinsipnya UUPA adalah aturan utama yang dapat dijadikan landasan bagi penyelenggaraan pemilu di Aceh, termasuk dasar untuk mengatur kelembagaan pemilunya.

Kekhususan UUPA diperuntukkan mengatur pelaksanaan kekhususan atau keistimewaan Aceh haruslah di rekonstruksi Kembali. Sebab, UUPA dalam pelaksanaan pemilu cenderung dimaknai bukan sebagai aturan khusus tentang pemilu, melainkan aturan umum tentang kewenangan pelaksanaan otonomi khusus Aceh.

*Penulis adalah Aktivis Antikorupsi Aceh

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.