Pemilu dan Demokrasi di Gayo

oleh

Oleh : Sertalia*

Menurut hasil temuan mutakhir, Gayo adalah suku tertua nomor tiga di Indonesia setelah suku Wajak dari desa Wajak yang berlokasi di Tulungagung, Jawa Timur, dan suku Kerinci di pulau Sumatera terutama yang tinggal di daerah dataran tinggi Jambi. (Kompas.com 15 Januari 2022)

Temuan ini didapat dari penelitian atas kerangka manusia prasejarah yang ditemukan oleh arkeolog dari Balai Arkeologi (Balar), Medan Sumatera Utara, dengan para peneliti Ketut Wiradnyana dan kawan-kawan.

Dari enam kerangka manusia prasejarah yang ditemukan di loyang Mendale dan Ujung Karang, Aceh Tengah ada yang berusia 7400 tahun yang artinya berasal dari zaman neolitik. Sedangkan lima kerangka manusia prasejarah lainnya di perkirakan berasal dari 5000 tahun hingga 2000 tahun sebelum masehi.

Adakah hubungan erat antara manusia yang pernah menghuni Loyang Mendale dengan masyarakat Gayo yang mendiami dataran tinggi ini sekarang?

Dari sumber https://kebudayaan.kemdikbud.go.id Prof. Harry Truman Simanjuntak (Ahli Prasejarah Indonesia), Darul Aman, dan Ambo Asse Ajis (Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh). Ditemukan bahwa Darul Aman, salah seorang anggota masyarakat Gayo yang bermukim di dekat situs, memiliki gen yang sama dengan manusia dari Loyang Mendale.

Dengan mengambil sampel pada rangka manusia yang ditemukan di Loyang Mendale kemudian membandingkannya dengan sampel DNA dari masyarakat Gayo sekarang. Kerangka manusia dari Loyang Mendale memiliki DNA yang sama dengan masyarakat Gayo saat ini.

Dari masa 7400 tahun itu, masyarakat Gayo diperkirakan juga sudah sudah memiliki hukum tersendiri, dalam menata kehidupannya, ini disebut sebagai hukum adat.

Hal itu juga diperkuat dengan pernyataan, Ketut dimana sejak zaman prasejarah nenek moyang urang Gayo sudah hidup majemuk dan sudah terjadi pluralisme dan multikulturalisme di dataran tinggi Gayo, di tepi danau Lut Tawar.
“Lebih dari 7000 tahun lalu sudah ditunjukkan adanya perbauran ras di situs arkeologi yang tengah kita teliti. Ada ras Australomelanesoid dan Mongoloid yang kita temukan disini dan sudah berbaur,” kata Ketut Wiradnyana, sebagaimana dikutip dari LintasGAYO.co.

Dari kedua ras tersebut, katanya, juga ditemukan perbauran budaya Hoabinh dan budaya Austronesia. “Pembauran juga kami lihat saat penelitian menggunakan uji DNA (deoxyribonucleic acid). Hasilnya juga ditemukan perbauran kedua ras dan budaya tersebut,” ujar Ketut.

Ketut menambahkan, dari data yang telah diteliti itu, urang Gayo sudah terbiasa berbaur baik dengan ras dan budaya lain.
Melihat pernyataan Ketut itu, tentunya sistem pemerintahan yang berlangsung secara demokratis sudah berjalan sejak lama di dataran tinggi Gayo.
Lebih-lebih, urang Gayo dalam pola pemerintahannya tidak mengenal sistem kerajaan. Reje yang memimpin, jabatannya bukan diwariskan secara turun temurun kepada keluarganya.
Dalam pemerintahan yang bersifat umum yang dilaksanakan oleh “Sarak Opat”.

Keberadaan Sarak Opat tersebut sampai sekarang masih ada dan berperan dalam penyelenggaraan pemerintahan kampung dan penyelesaian perselisihan antar warga kampung.

Sarak Opat yang terdiri dari Reje, Imem, Petue dan Rakyat Genap Mupakat (RGM) dari masing-masing unsur ini mempunyai peranan tersendiri dianataranya unsur-unsur penting dalam hal layak masyarakat gayo yang menyangkut perlindungan kedaulatan rakyat Gayo.

Reje yang menjadi kepala masyarakat hukum adat, mempunyai peranan yang sangat penting dalam menata kehidupan masyarakat. Dalam melakukan peranannya, dia senantiasa harus “musuket sipet” yang artinya harus berusaha selalu menegakan keadilan, kebenaran.

Imem mempunyai peranan tertentu, menurut adat Gayo disebut “muperlu sunet”. Ungkapan adat ini dengan jelas menunjukan apa yang harus dilakukan oleh imem dalam kehidupan masyarakat Ia berkewajiban menegakan norma-norma agama (Islam). Caranya adalah dengan jalan mengajarkan masyarakatnya hukum-hukum Islam yang dilambangkan oleh perkataan “Perlu” dan “Sunat”.

Petue dalam melakukan perannya, harus selalu “musidik sasat”, yang artinya adalah seorang “petue” harus senantiasa mengamati, menyelidiki dan bahkan mengetahui semua keadan dan perkembangan yang terjadi sesuai dengan faktanya Ia harus segera menanggapi dan menyelesaikan perselisihan yang terjadi antr masyarakat dan segera menyampaikan apa yang diketahuinya dan menjadi dasar keputusan melalui Reje.

RGM peran dari “rakyat” bersifat “genap mupakat” ini dilakukan dalam melaksanakan berbagai tugas yang diletakkan oleh masyarakat hukum adat ke pundak setiap masing pemangku adat mewakili masyarakat untuk menilai jalannya pemerintahan dan kehidupan kemasyarakatan.

Peranan ini dilaksanakan melalui lembaga “musyawarah”. Di samping itu, rakyat juga mempunyai peranan untuk melakukan pengawasan terhadap ketiga unsur “Sarak Opat” di atas, apakah mereka melaksanakan peranannya masing-masing selaras dan sesuai dengan norma-norma adat Gayo.

Mengukur sejauh mana kedemokrasian masyarakat Gayo saat ini dalam melindungi hak kedaulatannya dalam menentukan dipilih maupun memilih melalui demokrasi.

Berkaca dari umur suku Gayo dan sistem pemerintahan kampung di Gayo ini, tentunya sistem demokrasi sudah tak asing di masyarakat Gayo. Sebab itu sudah membudaya dari nenek moyang Gayo hingga sekarang.

Dan dalam menentukan wakil rakyat di legislatif dan pemimpin daerah sudah sepatutnya, masyarakat Gayo dalam menentukan sosok yang dimaksud maupun sarak opat mutimang beret, musuket sipet mu perlu sunet, musidik sasat dan rom genap mupakat.

Secara khusus masyarakat Aceh Tengah sampai saat ini dalam melakukan pemilihan pemimpin baik di level pemerintahan paling terendahpun melakukannya dengan cara demokrasi, sehingga masyarakat sangatlah dekat yang nama bahasa kedaulatan dipilih dan memilih.

Sayangnya ketika memasuki alam demokrasi modern, nilai-nilai demokratis yang sudah berurat berakar dalam kehidupan sosial masyarakat Gayo ini seolah menguap begitu saja.

Tidak seperti demokrasi tradisional yangmana masyarakat Gayo sebagai RGM bersenyawa dengan sistem sarak opat yang menjadi sistem pemerintahan di Gayo.

Dalam demokrasi modern, masyarakat Gayo seolah memiliki jarak dengan sistem pemerintahan, merasa calon eksekutif dan legislatif yang dipilih itu bukan bagian dari dirinya. Sebagaimana Sarak Opat di masa lalu, sebelum adanya dana desa.

Perbedaan ini membuat kualitas produk demokrasi di Gayo di zaman modern ini, secara kasat mata terlihat tak sebaik produk demokrasi Gayo di zaman klasik.

Jadi, adalah tantangan bagi kita semua pada Pemilu 2024 ini, untuk meningkatkan kualitas produk demokrasi di Gayo secara umum dan Aceh Tengah secara khusus.

Caranya, dengan mengembalikan rasa memiliki Gayo ini dan mengembalikan cara menentukan sosok pilihan yang akan diberi mandat, mutimang beret, musuket sipet mu perlu sunet, musidik sasat rom genap mupakat.

Dengan itu, Insyaallah, Gayo ke depannya akan menjadi lebih baik.

*Ketua KIP Aceh Tengah

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.