Kasih Sayang Adalah Power Kehidupan

oleh

Oleh : Dr. Marah Halim, S.Ag., M.Ag., MH*

Momentum Ramadhan kembali kita rengkuh, tidak semua orang bisa sampai kepada Ramadhan tahun 1444 H ini, karena itu mari kita manfaatkan dengan sebaiknya-baiknya untuk meningkatkan ketaqwaan, yakni kesadaran dalam semua aspek kehidupan kita; sadar diri, sadar fungsi, sadar situasi, sadar visi dan sadar aksi.

Agar kita tidak termasuk pada orang-orang yang disitir Nabi: kam min sha’imin laysa lahu min shiyamihi illal ju’ wal ‘athsy, maka kita perlu mendalami hakikat dan fungsi agama.

Tulisan ini merupakan upaya untuk menjabab pertanyaan reflektif, mengapa di akhir Ramadhan amalan yang dianjurkan kepada kita adalah saling memaafkan dan menjalin silaturrahmi?

Padahal selama Ramadhan amalan yang dianjurkan adalah bernuansa ibadah seperti shalat, zikir, shalawat, sededah, membaca al-Qur’an, singkatnya selama proses Ramadhan yang lebih banyak ditekankan adalah hablumminallah (iman, ibadah) dan setelah Ramadhan adalah hablumminannas (amal shalih).

Hablum minallah atau iman hanya bisa dikuatkan dengan ibadah. Semua ibadah intinya adalah menguatkan akidah, bukan untuk ibadah itu sendiri. Inti dari akidah adalah bukan sebatas keyakinan kepada Allah dan semua yang ada dalam rukun iman. Tetapi yang lebih dalam lagi apa yang diinginkan Allah untuk kita yakini?

Inilah yang dimaksud dengan hakikat agama. Hakikat agama itu adanya di dalam ayat pertama di dalam al-Qur’an, surat yang dikirim oleh Allah kepada manusia, semua manusia harus bisa menangkap keinginan Allah itu. Keinginan Allah itu dinyatakan langsung dalam ayat pertama yang ditempatkan di dalam al-Qur’an adanya dalam Surat al-Fatihah, yakni “Bismillahirrahmanirrahim”.

Pernahkah kita renungkan penempatan ini? Pernahkah ini mengusik pikiran kita? Ayat ini mengandung esensi atau inti dan tujuan atau hakikat dari beragama itu sendiri, yaitu ar-Rahman dan ar-Rahim, yakni sifat Allah yang lebih sering disebut dengan asma’ul husna, yang substansinya sesungguhnya adalah sifat-sifat Allah (awshafullah).

Mengapa Allah merasa penting menempatkan ayat itu langsung dalam ayat pertama dalam al-Qur’an? Jawabnya itu adalah isyarat bahwa sifat Rahman dan Rahim itulah inti kehidupan; bahwa kehidupan akan hasanah (baik) jika kasih sayang sesama manusia itu subur dan merekah, sebaliknya kehidupa akan buruk jika di antara sesama manusia terjadi krisis dan defisit kasih sayang.

Problem kehidupan saat ini dalam berbagai bidang kehidupan kita seluruhnya menguji kesuburan atau ketandusan sifat ini. Perilaku ekonomi dengan praktek manipulasi, monopoli dan riba; perilaku politik dengan sistem demokrasi yang transaksional, koruptif, kolutif, misalnya dalam sistem partai dan pemilu; perilaku budaya misalnya perilaku keluarga, perilaku pendidikan, sosial semuanya bermasalah karena kegagalan implemnetasi sifat kasih sayang.

Cekcok dalam keluarga, cekcok dalam masyrakat, cekcok dalam antara pemimpin adalah cerminan tipisnya kasih sayang. Pernyakit sosial seperti judi, narkoba, selingkuh dalam rumah tangga, adalah cerminan dari tidak adanya kasih sayang dalam diri pelakunya. Cekcok dalam cara beribadah dengan menyalahkan cara beribadah orang lain adalah cerminan ego yang bukan didasari oleh kasih sayang.

Jadi, fungsi ibadah yang berintikan akidah adalah untuk muamalah itu sendiri, agar muamalah kita (ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum, administrasi, pelayanan publik) seluruhnya dispiriti oleh semangat kasih sayang dalam dalam al-Qur’an dimulai dari diri sendiri dan keluarga hingga lingkungan yang lebih luas, semuanya dalam peran kita sebagai khalifah, tapi yang diinginkan oleh Allah khalifah yang penuh kasih sayang.

Setiap individu yang berakal harus sayang pada dirinya sendiri, setelah bertambah peran maka harus siap sayang pada keluarga, anak, istri, saudara. Banyak yang menginginkan peran besar, tapi tidak siap untuk memberi sayang dalam skala besar. Karena itu, besarnya kasih sayang itu harus menjadi kriteria memilih pemimpin.

Seperti halnya menikah, maka jangan pilih karena hartanya, karena nasabnya, karena tampangnya, tapi karena agamanya; karena agama itu intinya adalah kasih sayang.

Agama atau kasih sayang itu ibarat garam yang harus ditaburkan dalam semua interaksi manusia dalam kehidupan, mulai dari keluarga, sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum, administrasi, lingkungan dan sebagainya. Ibarat masakan, jika tidak dibubuhi garam maka rasanya akan hambar.

Setelah Ramadhan ini, mari kita kuatkan kasih sayang itu mulai dari keluarga kita karena dalam keluarga itulah pembinaan kasih sayang kita dimulai. Salah satu keresahan yang menuntut ditumbuhkannya rasa kasih sayang yang besar adalah masalah generasi kita masing-masing.

Keresahan ini dibangkitkan oleh al-Qur’an sendiri, yakni surat al-Nisa ayat 9, diawali dengan ayat tentang pernikahan “Ya ayyuhann nas ittaquu Rabbakum allazi khalaqakum min nafsin wahidah wakhalaqa minha zawjaha wa batstsa minhuna rijalan katsira”.

Banyak problem sosial saat ini yang berawal dari keluarga, dan setelah dtelusuri akar masalahnya adalah tidak adanya interaksi yang berkasih sayang dalam keluarga, sebaliknya yang subur adalah interaksi kebencian.

Uniknya, al-Qur’an ditutup dengan ayat yang memperingatkan bahwa kehidupan yang berkasih sayang rentan dihancurkan oleh kebencian (syarr).

Yang kita rasakan saat ini secara global, nasional, lokal adalah suburnya kebencian dalam semua bentuk interaksi keluarga, ekonomi, politik, sosial, budaya, informasi, administrasi, hukum dan sebagainya. Semua bentuk perilaku yang merugikan orang atau pihak lain, energinya adalah kebencian; bukan kasih sayang.

Karena kasih sayang dan kebencian adalah dua sifat yang sama-sama bisa menjadi energi manusia untuk menggerakkan arah kehidupan; untuk seluruh manusia atau untuk sekelompok manusia saja. Inilah parameter untuk menguji sebuah agama; Islam dan Yahudi, Islam menyebarkan kasih sayang untuk seluruh manusia tanpa kecuali, tetapi Yahudi menyebarkan kebencian kepada selain golongannya.

Dengan demikian, terjawablah pertanyaan di awal tadi, mengapa Ramadhan kita ditutup dengan memperbaiki silaturrahmi antara suami istri, orang tua dan anak, pemimpin dan rakyat., karena jika interaksi manusia dalam semua aspek kehidupannya jika tidak atas dasar kasih sayang maka akan terjadi arena kehidupan yang saling menghancurkan.

Kehancuran bangsa-bangsa dan kaum-kaum terdahulu sesungguhnya bukan karena campur tangan Tuhan dalam kehidupan mereka, tetapi kegagalan mereka mengejawantahkan keinginan Tuhan untuk menebarkan kasih sayang dalam kehidupan mereka, sebagaima firman-Nya: Wa ma arsalnaka illa Rahmatan Lil ‘Alamin. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.