Oleh : Dr. Jamhuri Ungel, MA*
Kata salah menurut KBBI adalah 1) tidak benar; tidak betul. 2) keliru; khilaf. 3) menyimpang dari seharusnya. 4) luput; tidak mengenai sasaran; gagal. 5) cela; cacat. 6) kekeliruan. Ketika makna yang disebutkan dipahami tentu kata salah tersebut diperlawankan dengan kata benar. Sedangkan benar adalah 1) sesuai sebagaimana adanya; betul; tidak salah. 2) tidak berat sebelah; adil. 3) lurus (hati). 4) dapat dipercaya; tidak bohong. 5) sah. 6) sangat; sekali; sungguh.
Ketika kata salah ini dijadikan menjadi kata “masalah” dalam artian mereka yang mencari masalah untuk dijadikan penelitian ilmiah, maka permasalahan adalah suatu kejadian atau realita yang berbeda dengan yang seharusnya, yaitu sesuatu yang sudah menjadi tradisi dan telah menjadi pendapat umum.
Dan bila dilanjutkan dengan kajian atau penelitian maka “masalah” sebenarny belum tentu salah, tetapi boleh jadi masalah tersebut adalah kebenaran yang lain.
Jadi salah itu ada dua, pertama adalah salah yang salah, dan kedua adalah salah yang benar.
Salah yang salah adalah suatu perbuatan yang tidak ada benarnya seperti kita melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama, perbuatan ini melanggar kebenaran yang ditetapkan oleh agama.
Tidak shalat adalah perbuatan yang salah karena agama mengatakan kebenarannya adalah melakukan perbuatan shalat, makan pada bulan puasa ini adalah perbuatan yang salah karena agama menyuruh untuk tidak makan.
Jadi perbuatan itu adalah perbuatan salah yang salah. Contoh lain adalah Perbuatan yang melanggar aturan yang di buat atau ditetapkan oleh Pemerintah, seperti menggunakan kewenangan atau kekuasaan sehingga merugikan orang lain, pada lah tujuan dari pada aturan adalah untuk memberi kesejahteraan orang lain. Ini juga termasuk kepada perbuatan salah yang salah.
Perbuatan salah yang benar, perbuatan ini berbeda dengan perbuatan kebanyakan, bahkan perbuatan ini berbeda atau bersalahan dengan aturan atau norma yang ada. Orang-orang, baik itu orang biasa, ilmuan bahkan agamawan menganggap derajat perempuan dari segala aspeknya lebih rendah dari perempaun.
Secara keseluruhan perempuan tidak bisa melakukan perbuatan sesempurna perbuatan laki-laki, tidak hanya perbuatan-perbuatan perempuan yang berhubungan dengan perbuatan laki-laki tetapi juga perbuatan ibadah.
Mereka menganggap perbuatan ibadah perempuan tidak sesempurna perbuatan laki-laki, mereka melihat kenyataan kalau laki-laki tidak punya alasan (batasan) untuk tidak melakukan ibadah (pendekatan) kepada Allah sedangkan perempaun mempunyai keterbatasan.
Perempuan mendapatkan harta warisan tidak sebanyak laki-laki, kalau laki-laki mendapatkan mendapatkan dua bagian maka perempaun hanya boleh satu bagian. Kalau laki-laki boleh satu orang untuk menjadi saksi maka kalau perempaun harus dua orang orang.
Ditambah lagi dengan adanya riwayat yang berhubungan dengan kepatuhan perempaun sebagai dalam keluarga kepada laki-laki sebagai suami. Selanjutnya, laki-laki karena kelaki-lakiannya dalah semua keadaan mempunyai kewenangan lebih, mereka diwajibkan memberi nafkah kepada perempuan karena keperempuanannya dan perempuan tidak mempunyai kewajiban kendati laki-laki butuh dan perempuan sanggup memberikannya.
Itulah ketentuan syara’ yang dipahami dan pemahaman itu benar karena pemahaman langsung dari dari nash dan dipahami oleh ulama yang memenuhi syarat untuk menetapkan hukum.
Pola pemahaman seperti ini dikatakan sebagai kebenaran karena kondisi masyarakat ketika diturunkan Islam adalah dalam masyarakat Jahiliyah, masyarakat yang pada saat itu sama sekali tidak menghargai perempuan, baik itu dari sisi perempuan sebagai pribadi dan juga mereka tidak menghargai perempuan dari sisi perbuatan mereka. Sebenarnya bisa dikatakan pada saat itu perempaun belum mempunyai nilai sama sekali.
Bila pembagian warisan tidak sesuai dengan apa yang telah disebutkan oleh nash (tidak satu banding dua) maka itu dianggap salah, bila seorang perempuan menjadi saksi maka perkara atau pembuktian dengan saksi tidak diakui, apabila perempuan sebagai istri tidak melayani laki-laki sebagai suami kapan saja suami kehendaki maka perempuan dikatakan sebagai istri yang tidak patuh kepada suami bahkan bisa dikatakan dengan perempuan nusyuz, kendati suami tidak mempunyai kemampuan dalam memberi nafkah/belanja sedangkan selama ini istri yang mencari nafkah (berusaha), usaha istri tetap dianggap tidak ada dan hukum wajib tetap melekat kepada suami.
Pola pemikiran yang terakhir inilah yang dimaksudkan dengan kesalahan yang benar, artinya duluu pemahaman ini dianggap sebagai pemahaman yang salah tetapi setelah melakukan kajian ulang pemahaman ini merupakan keharusan.
*Ketua Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum Fak. syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh