Antara Aktivis dan Hak Tipis

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

SERING kali saya terheran melihat sikap sejumlah kawan-kawan yang mengklaim sebagai Aktivis 98. Setelah sukses menurunkan Soeharto, dengan seketika kehidupan mereka berubah. Jika dulu berteriak di luar pagar parlemen, mereka kini menghuni banyak instansi pemerintahan.

“Beberapa orang bekas aktivis yang saya kenal diberikan jabatan di satu instansi” kata Ketua Deputi IV Kantor Staf Kepresidenan (KSP), Abetnego Tarigan, kepada saya pada suatu ketika. Perbincangan tentang nasib aktivis ini terjadi saat kami, saya dan Abetnego, mendapat undangan dari Pemerintah Amerika Serikat untuk mengikuti International Visitor Leadership Program-Program Kunjungan Kepemimpinan Internasional pada Desember 2010.

Hingga saat ini, hal itu terus berulang. Mungkin orangnya berbeda, namun kejadianya tetap sama. suara-suara kritis direktrut untuk mendapatkan jabatan prestise di sebuah instansi. Sebagian lagi mendapatkan kehormatan untuk menjadi simbol perusahaan milik negara.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata aktivis memiliki dua arti yang mirip-mirip. Pertama, aktivis adalah orang (terutama anggota organisasi politik, sosial, buruh, petani, pemuda, mahasiswa, wanita) yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan dalam organisasinya. Makna lain dari kata aktivis adalah seseorang yang menggerakkan (demonstrasi dan sebagainya).

Saat ini, banyak aktivis muda yang berunjuk rasa di depan kantor kepala daerah atau kantor dewan rakyat mengkritik orang-orang di dalamnya. Mereka menyiapkan banyak hal sebelum aksi mulai dari tema hingga jumlah peserta aksi. Persiapan ini memakan waktu berhari-hari.

Pada hari H aksi, mereka melaksanakan kegiatan sesuai skenario. Ada yang memegang toa dan berteriak menyampaikan orasi dan tuntutan. Ada yang membagi-bagikan selebaran berisi tuntutan aksi. Ada juga yang sekadar hanya bercakap-cakap dengan sesama aktivis lain jenis kelamin.

Mereka yang berunjuk rasa meyakini bahwa tuntutan mereka adalah suara rakyat yang diwakilkan pada mereka. Mereka berteriak nyaring tanpa tedeng aling-aling. Mereka dengan kesadaran sebagai agen perubahan meyakini bahwa langkah kecil mereka di depat kantor pemerintahan itu bakal membawa perubahan hidup menjadi lebih baik dan berkeadilan. Mereka adalah aktivis sejati.

Tapi ada juga yang memanfaatkan massa dan ide perubahan itu untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Biasa dilakukan oleh pentolan grup yang merasa berhak atas keuntungan materi, “hak tipis”. Golongan seperti ini ada di setiap kelompok yang berbeda.

Kelompok “hak tipis” ini, dengan kapasitas sebagai orang yang berpengaruh, memiliki massa, dan ditakuti pemegang kekuasaan, lantas naik tingkat menjadi menjadi makelar kasus. Mereka berusaha mencari keutungan dari setiap perkara yang membelit sebuah lembaga bermodalkan pengalaman sebagai aktivis tidak peduli kasus besar dan kecil, semua disikat.

Mereka adalah orang yang merasa diri aktivis saat berdemonstrasi. Setelah aksi massa bubar, mereka mulai ngamen ke banyak dinas untuk mencari modal membeli barang-barang mewah. Mereka tidak peduli dengan integritas. Bagi mereka, uang yang didapat dari “hubungan gelap” dengan pejabat di sebuah lembaga adalah hak; buah dari kerja keras, meski itu memanfaatkan teman-teman sendiri yang mempertahankan idealisme.

Sulit membedakan antara seorang aktivis dengan mereka yang memperjuangkan “hak tipis”. Sama seperti wartawan yang bekerja, menjalankan profesi, dengan berpedoman kepada kode etik jurnalistik. Banyak juga yang mengaku sebagai wartawan namun kerjaannya memeras.

Biasanya, para penganut paham “hak tipis” ini makan enak sendirian dan hanya kembali ke kawanan saat duit menipis untuk bergerak lagi, berunjuk rasa. Ujung-ujungnya, mereka masuk dari pintu belakang kantor yang didatangi untuk setelah kawan-kawannya pulang.

Kamus Besar Bahasa Indonesia seharusnya menambah satu keterangan bahwa aktivis adalah orang yang menggerakkan orang lain dengan niat tulus, menjaga integritas, dan dapat dipercaya dan jujur.

Timbangan kejujuran dan integritas inilah yang membedakan satu orang dengan orang yang lain. Seorang ayah yang jujur tidak serta merta merasa senang saat mendapatkan kiriman uang dari anak tanpa menanyakan dari mana uang ini berasal. Apakah uang ini diperoleh dengan cara halal? Atau didapat dengan menipu dan memeras orang lain.

Anak yang mendapatkan pertanyaan seperti ini dari orang tua bakal menjadi lebih hati-hati dalam mencari rezeki. Tapi entahlah. Sosok seperti ini sepertinya sulit dicari di Gayo. Mereka yang berkoar-koar tentang Gayo, sulit untuk diklasifikasikan kelompoknya, aktivis atau “hak tipis”.

(Mendale, Pebruari 26, 2023)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.