Oleh : Fauzan Azima*
TULISAN ini merupakan sambungan dari tulisan sebelumnya, “Orang Waras Tahu Batas”. Tulisan yang mengingatkan kita bahwa orang yang menderita gangguan jiwa juga tahu batas wilayah bermain. Artinya, sepatutnya kita yang merasa diri waras tidak serta merta mencaplok wilayah orang lain, terutama di saat kita berkuasa.
Terkait : Orang Waras Tahu Batas
Caplok mencaplok wilayah ini menjadi cerita tak berseri. Sekelompok orang datang ke satu daerah dan mengklaim kekuasaan di negeri orang atas nama bisnis atau investasi dengan modal kekuasaaan atau dekat dengan penguasa.
Namun kata kuncinya adalah investasi. Masyarakat Gayo bukan antiinvestasi. Namun untuk berinvestasi, datanglah dengan salam. Sampaikan niat dan keinginan kepada orang-orang di sekitar lokasi usaha. Bukan dengan lagak invasi.
Tidak usah meniru-niru cara yang tidak benar seperti cerita invasi di banyak belahan dunia lain, sejak dulu kala. Saat kapal perang datang bersama kapal dagang. Nuansa itu masih tetap berlaku hingga saat ini: mesin perang datang untuk meloloskan investasi.
Saudara-saudara kita dari pesisir maupun dari Jawa tidak ada yang merasa “tepeh hate” karena mereka merasa bukan seperti burung yang bebas buang kotoran, lalu terbang pergi entah ke mana. Membangun hubungan baik dengan pribumi sepatutnya menjadi modal utama investasi.
Orang Gayo juga bukan makhluk kanibal yang perlu ditakuti, apalagi dimusuhi. Silaturrahmi adalah jalan terbaik untuk bisnis investasi di negeri Malem Dewa ini.
Beberapa investasi besar yang pernah ada di Gayo, seperti Alas Helau, lantas berlanjut ke THL, melakukan hal yang sama: datang tanpa “punten” walaupun mereka lewat menyentuh hidung kita.
Tapi orang Gayo tidak menganggap mereka sebagai musuh. Mereka cenderung apatis. Mereka menganggap masing-masing ada rezekinya. Apalagi jika semua itu berlangsung dengan restu oleh negara.
Soal datang tanpa sowan ini hampir tidak ada yang peduli. Hanya secuil di kalangan seniman yang melontarkan kritik sosial lewat syair dan lagu. Mereka bercerita tentang pinus dari Gayo yang diangkut siang malam, hanya menyisakan kesedihan dan kerusakan ekosistem bumi Linge.
Pada saat pinus Gayo dieksploitasi; seniman-seniman Gayo menciptakan lagu dengan syair dan lirik yang sedih dan mendayu-dayu. Bercerita tentang kesulitan hidup akibat perubahan lingkungan. Semua nada dan syair lirih itu terasa sangat syahdu untuk dinyanyikan di malam-malam sepi di tengah pemberlakuan Daerah Operasi Militer.
Sikap orang Gayo sama seperti sikap rakyat Cina yang bernyanyi untuk merespons kekejaman Dinasti Ming, Dinasti Shang dan Dinasti Qin. Rakyat Cina tidak bisa melawan. Mereka memanifestasikan kedukaan itu lewat irama musik dan lagu.
Begitupun suku Sunda juga menciptakan lagu yang sedih karena pembantaian iring-iringan pengantin Dyah Pitaloka Citraresmi oleh pasukan Gajah Mada. Pertempuran antara bala sentana Raja Sunda yang tanpa persiapan dan angkatan perang Majapahit yang berlangsung di alun-alun Bubat, kawasan utara Trowulan, Ibu Kota Majapahit, pada 1279 Saka atau 1357 Masehi. Akibat pengkhianatan tersebut, sampai saat ini tidak ada satu pun jalan dinamai dengan nama Gajah Mada di Jawa Barat.
Jadi siapapun dia, apapun warna kulitnya, dari manapun dia berasal, jika ingin berinvestasi di Gayo datanglah dengan niat bersilaturrahmi. Orang Gayo sangat terbuka. Jangan ada lagu dan irama sedih di Gayo tersebab kekerasan dengan dalih memuluskan investasi. Datanglah dengan rasa saling menghargai.
(Mendale, Pebruari 24, 2023)