TAKENGON-LintasGAYO.co : Beredarnya video yang menggugat keabsahan usia Kota Takengen yang diposting oleh anggota Dewan Redaksi LintasGAYO.co, Win Wan Nur di channel YouTube miliknya telah memantik diskusi hangat bernuansa ilmiah yang diikuti para tokoh, pakar sejarah dan akademisi top asal Gayo di sebuah grup WhatsApp.
Tak kurang sejarawan dengan reputasi nasional, Prof Dien Madjid, antropolog dari Universitas Sumatera Utara, Prof. Fikarwin Zuska, bahkan Muchlis Gayo yang dulu menggagas peringatan hari jadi kota Takengen dan tentu saja Win Wan Nur sendiri terlibat dalam diskusi yang dipenuhi dengan argumen-argumen logis yang disampaikan dalam bahasa Gayo dan bahasa Indonesia tersebut.
Dalam diskusi tersebut terungkap fakta yang disampaikan oleh Profesor Dien Madjid bahwa ternyata penetapan hari jadi Takengen itu tidak berdasarkan kajian akademis. Untuk itu Profesor yang berkarir di UIN Jakarta tersebut menyarankan jalan pintas agar Universitas Gajah Putih membentuk tim untuk mengkaji ulang hari jadi Kota Takengen.
Sementara itu Muchlis Gayo meminta Prof Dien Madjid untuk menceritakan kapan SK penelitian tentang sejarah awal Takengen, siapa-siapa saja anggotanya dan apa hasilnya sehingga mengusulkan usia Takengen 434 tahun. Menurutnya saat itu public hearing Komisi D dipimpin oleh ketua Ridwan dan Sekda Karimansyah, dihadiri rektor UGP, OKP, Ormas dan Petue dari 14 kecamatan.
Hal ini kemudian dijawab oleh profesor Dien Madjid bahwa dalam perjalanan seminar yang ada (terkait hari jadi Kota Takengen) tidak ada sumber yang valid. Yang berkembang dalam seminar tersebut adalah sumber cerita. “Dalam ilmu sejarah, cerita itu belum akurat secara akademis,” ungkapnya.
Yang artinya latar belakang dan proses pengambilan keputusan dalam seminar itu, jauh dari nuansa akademis.
Selanjutnya Profesor Dien Madjid menjelaskan menggunakan bahasa Gayo, bahwa dalam ilmu sejarah ada dikenal satu langkah yang namanya interpretasi, yang berfungsi menghubungkan sesuatu yang belum terhubung. Fungsi interpretasi itu mengisi kekosongan, yang mana jika kekurangan data maka padanannya bisa didapat melalui interpretasi, sehingga meskipun tidak benar-benar akurat, setidaknya mendekati.”Sumber sejarah tidak hanya terbitan, tapi benda pun bisa jadi sumber primer. Namun ada caranya benda itu bisa berbicara,” ujarnya.
Apa yang disampaikan Profesor Dien Madjid ini bisa kita lihat contohnya pada penelitian Ceruk Mendale, yang mana sumber primernya bukanlah catatan-catatan, tapi benda-benda peninggalan masa lalu yang “dipaksa berbicara” melalui metode-metode saintifik, mulai dari tes peluruhan karbon sampai tes DNA.
Kemudian, linguistik, antropologi, politik dan ekonomi juga dapat digunakan sebagai ilmu bantu untuk menguji keakuratan sejarah. “Kalau klaim 446 tahun usia Takengen itu, tidak sinkron dengan kajian-kajian ilmu bantu tersebut, artinya klaim itu tidak valid,” tambahnya.
Hal ini kemudian ditimpali oleh Win Wan Nur yang mengatakan bahwa apa yang dia sampaikan dalam videonya adalah sebuah usaha untuk mensinkronkan klaim 446 tahun usia Takengen dengan menggunakan ilmu bantu tersebut. Secara linguistik misalnya dia mempertanyakan nama-nama kampung di Takengen, apakah itu nama-nama yang sudah ada sejak 446 tahun yang lalu? Ternyata tidak sinkron, secara antropologi, apakah Takengen melahirkan tokoh, memiliki folklor yang menceritakan kota ini, memiliki karakter budaya khas yang sudah terbentuk ratusan tahun? Ternyata tidak ada, artinya tidak sinkron dan tidak valid, demikian juga secara politik, tak ada pola kekuasaan khas yang terbentuk di Takengen sebelum abad ke – 20 dan secara ekonomi juga tidak ditemukan adanya daya tarik ekonomi khas di Takengen sehingga orang-orang yang hidup sebelum abad ke 20 punya alasan untuk tinggal mendiami daerah ini.
Selanjutnya, Profesor Fikarwin Zuska mengkritisi penggunaan istilah Kute untuk Takengen, karena senada dengan Win Wan Nur, profesor antropologi dari USU ini mengatakan bahwa istilah Kute ini kemungkinan sama dengan istilah Kuta di Pakpak dan Huta di Batak.
Sementara Win Wan Nur mengatakan kalau Kute ini,kalau mengacu pada nama Kute di kampungnya Isak, itu adalah sebutan untuk kampung yang dilindungi pagar tinggi, menurutnya dulu di Isak itu banyak harimau, sehingga supaya harimau tidak masuk ke kampung di malam hari, dibuatlah pagar-pagar tinggi seperti benteng di semua kampung di Isak, karena itulah semua kampung di Isak bernama Kute. Menurutnya, kemungkinan hal yang sama juga terjadi pada Kute Lintang dan Kute Panang, dua kampung itu dulunya kemungkinan kampung berpagar tinggi, bukan sebuah kota.
Dari diskusi yang berlangsung hangat ini, Yusradi Usman Al -Gayoni, dari Pusat Kajian Kebudayaan Gayo mengusulkan untuk mengadakan sebuah diskusi serius berbentuk seminar melalui zoom meeting, untuk meluruskan sejarah hari jadi kota Takengen ini dan para tokoh dan akademisi inipun setuju.
Seminar melalui zoom meeting ini, akan diadakan pada hari jumat tanggal 24 Februari 2023, mulai dari pukul 20.00 – 21.30.
Bagi pembaca LintasGAYO.co yang ingin bergabung, dapat masuk melalui link berikut ini :
Join Zoom Meeting
https://us02web.zoom.us/j/81686417670?pwd=VkhoK1BLa0FnVU5oSVRLQlZUUHg0Zz09
Meeting ID: 816 8641 7670
Passcode: 119044
[Red]