Oleh : Dr. Jamhuri Ungel, MA*
Masyarakat Gayo adalah masyarakat yang menganut sistem kekeluarga patrilenial yang menyandarkan garis keturunan kepada ayah, sistem perkawinan yang berlaku adalah pernikahan eksogami, dimana mereka harus menikah dengan orang-orang di luar clean (urang) mereka.
Dari sistem kekeluargaan dan sistem perkawinan ini melahirkan hukum syariat dan hukum adat. Sebagai contoh dalam tulisan ini diangkat tentang perolehan harta bagi perempuan sebagai akibat dari perkawinan.
Dalam masyarakat Gayo memberi nama sama untuk mahar dan teniron, artinya kalau dikatakan teniron termasuk mahar dan harta pemberian suami dan bila dikatakan mahar maka tidak termasuk semua teniron.
Karena kajian ini membahas tentang penemuan hukum syariat dan hukum adat maka tulisan ini membedakannya sehingga membagi harta yang didapat kepada tiga, yaitu :
1. Mahar
Mahar adalah pemberian laki-laki sebagai calon suami kepada perempuan sebagai calon istri, dalam tradisi masyarakat mahar biasa berwujud emas, baik berbentuk kalung, gelang, atau anting-anting.
Mahar dalam tradisi masyarakat tradisional untuk dikenakan bukan untuk disimpan, karena itu maka bentuk atau wujudnya mesti seperti yang disebutkan. Jumlah mahar yang diberikan sangat tergantung dengan kemampuan pilah kali-laki bahkan juga jumlah mahar disesuaikan dengan tempat atau daerah.
Untuk masyarakat yang hidupnya sebagai petani jumlah mahar sangat terbatas, dengan sebutan hanya membayar dengan hitungan gram, berbeda dengan masyarakat yang hidupnya sebagai pedagan, biasanya mereka menghitungnya dengan jumlah mayam.
Hitungan 1 mayamnya dengan banyak tiga gram. Kendati masyarakat yang bertani membayarnya dengan jumlah (umpamanya) 5 gram mereka tetap menyebutnya dengan gram. Sedangkan untuk masyarakat pedagang kendati membayarnya dengan jumlah yang sama dengan masyarakat petani menyebutnya dengan mayam.
Ketentuan jumlah mahar yang akan diberikan laki-laki kepada perempuan yang akan dijadikan istri untuk sebagian masyarakat ditentukan oleh orang tua dari pihak perempuan dan orang tua dari pihak laki-laki. Alasannya adalah karena laki-laki (anak laki-laki) sebelum menikah masih berada dalam tanggungan dan perlindungan orang tua, sehingga orang tua bertanggungjawab terhadap kebutuhan anak laki-lakinya.
Sedangkan anak perempaun masih berada dalam perlindungan orang tua semenjak anak-anak sampai sebelum menikah karena itu orang tualah yang mengatur dan bertanggungjawab terhadap kehidupan anak perempaun tersebut.
Walaupun anak mempunyai harta atau memiliki uang untuk membeli mahar/emas untuk calon istrinya tetapi karena anak masih dalam perlindungan/pengampuan orang tua maka orang tua tetap merasa berkewajiban menyiapkan mahar anaknya, dan kalau orang tua tidak mempunyai kemampuan untuk menyediakan mahar maka oran tua lazim meminta maaf dan meminta izin kepada anak supaya anak menggunakan uangnya untuk dibelikan mahar.
Di dalam Islam memberi mahar bagi laki-laki kepada istri hukumnya wajib, ini didasarkan kepada ayat al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 4, terjemahnya :
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Dari ayat inilah dipahami oleh ulama bahwa hukum dari mahar dalam perkawinan adalah wajib, artinya semua laki-laki yang menikah wajib menyerahkan mahar kepada perempuan yang menjadi istri mereka walaupun dengan kadar dan nilai paling sedikit.
Untuk ini Nabi menyebutkan dalam hadisnya walaupun dengan cincin besi atau boleh juga membayarnya dengan jasa yaitu dengan mengajari istri untuk membaca al-Qur’an.
Kendati hukum wajib telah diistinbathkan ulama dari ayat tersebut di atas, ulama tidak menyebutkan hukum wadh’i dari pembayaran mahar tersebut.
Sehingga secara umum masyarakat menyerahkan mahar katika aqad nikah berlangsung, seperti lafazh aqad “saya nikahkan anak saya Pulanah menjadi istrimu dengan mahar sekian emas tunai.
Sebenarnya juga mahar itu boleh diserahkan ketika setelah selesainya aqad (tidak melafazhkan mahar dalam aqad) atau boleh juga menyerahkan mahar sebelum berlangsungnya aqad. Karena ada ayat yang menyebutkan kalau Sumi boleh menceraikan istri sebelum menyerahkan aqad.
2. Teniron
Teniron (bahasa Gayo) artinya permintaan, permintaan yang datangnya dari perempuan yang akan menjadi istri kepada laki-laki yang akan menjadi suami. Permintaan (teniron) biasanya melekat dengan mahar dalam permintaan atau penentuan jenis dan jumlah yang akan diminta.
Masyarakat Gayo yang mempunyai adat melekatkan teniron kepada mahar ketika ada seseorang (keluarga laki-laki) yang meminang seorang gadis yang tidak ikut dalam acara meminang pasti bertanya “sana teba teniron e” artinya apa saja permintaannya. Yang ikut pasti menjawab “selain dari emas adalah …”
Teniron berbeda dengan mahar waktu penyerahannya, kalau mahar sebagaimana disebutkan diserahkan ketika aqad nikah tetapi kalau teniron diserahkan sebelum atau setelah aqad nikah.
Kalau tenironnya berupa benda yang digunakan untuk kebutuhan hari-hari dan bisa dipindah maka akan diberi (antarkan) sebelum aqad nikah, namun bila permintaannya berupa harta untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari maka diberikan setelah aqad nikah.
Permintaan yang digunakan sehari-hari, seperti : tempat tidur, lemari, mesin jahit dan kebutuhan alat kebutuhan rubah tangga lainnya. Sedangkan permintaan yang digunakan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari seperti, kebun, sawah dan hewan ternak (kuda atau kerbau).
Semua harta yang bersumber dari teniron menjadi milik penuh perempuan yang menikah, ketika satu saat suami meninggal harta ini tidak dikelompokkan dalam harta warisan untuk istri.
Umpamanya suami meninggal meninggalkan istri maka istri berhak terhadap harta suami (Seperempat atau seperdelapan) tidak termasuk dan tidak menghitung harta teniron, dan harta teniron juga tidak bisa diwariskan kepada anak karena meninggalnya suami.
3. Penosahan
Masyarakat patrilineal yang menganut sistem pernikahan eksogami, menjadikan perempuan berpindah clean kepada clean suami. Suami akan bertanggungjawab terhadap semua kebutuhan istri, perempuan sebagai istri keluar dari cleannya sehingga semua yang dimiliki selama sebelum menikah akan ditinggalkan.
Tidak meutup kemungkinan dalam masyarakat seperti ini perempuan tidak mendapatkan harta warisan dari orang tua mereka.
Alasan perempuan tidak mendapatkan warisan karena mereka telah berpindah clean kepada clean laki-laki, alasan lain karena pernikahan mereka menganut sistem pernikahan eksogami maka tempat tinggal mereka sangat jauh dengan kampung asal sehingga tidak mungkin membawa harta warisan kalaupun ada.
Ditambah lagi bentuk harta warisan dalam masyarakat tradisional (agraris) adalah sawah atau kebun.
Solusi yang diambil oleh masyarakat (orang tua perempuan) memberi harta kepada anaknya berupa harta yang dapat dibawa/diantar (biasanya kerbau atau kuda), pemberian ini dalam masyarakat Gayo disebut dengan “penosahan” atau bisa di arti akan dengan pemberian.
Yaitu pemberian orang tua kepada anak perempuannya yang menikah dengan sistem eksogami atau juga disebut dalam istilah adat Gayo dengan pernikahan “kerje juelen”
Selanjutnya penosahan ini sama dengan harta teniron yakni menjadi hak muthlak perempuan yang tidak bergabung dengan harta suami.
Harta ini dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga bila diperlukan, tetapi harus mendapat persetujuan dari istri. Sama halnya dengan mahar seperti disebutkan dalam ayat di atas.
*Ketua Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum Fak. Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh