Berharap Keajaiban

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

SEBELUM masuk ke materi tulisan ini, saya memohon maaf sebesar-besarnya kepada setiap pribadi yang pernah saya buat tersinggung, kecewa, sakit hati dan terzalimi; baik sengaja, maupun tidak saya sadari. Sekali lagi, saya mohon dibukakan pintu maaf, sebesar-besarnya, buat saya.

Tak ada kata yang lebih banyak saya rangkaikan dalam hati, pada hari-hari belakangan ini, selain doa. Doa, permohonan, yang saya sampaikan dalam diam dan gerak. Dalam keramaian atau saat sendiri. Doa, kepada Yang Maha Berkehendak, di saat gerak.

Saya memahami doa dalam dua makna. Doa diri dan Dia Yang Berkuasa dan Mengusai. Kita harus memasrahkan diri, menunduk serendah-rendahnya, dan menjadikan diri menjadi Dia karena hanya Dia yang mengabulkan segala permintaan kita.

Doa juga terdiri atas dua suku kata yakni do atau usaha dan a atau huruf vokal atau nyata. Sehingga lahir ungkapan ora et labora atau doa disertai usaha. Doa sebagai hakikat harus dibarengi kerja nyata sebagai syariatnya.

Di masa-masa sulit, semua orang berharap keajaiban untuk mengubah keadaan. Masing-masing orang menyusun bait-bait doanya untuk dirinya. Banyak doa yang diajarkan oleh para nabi dan ulama.

Syahdan, Nabi Yunus as berdoa saat dia ditelan ikan, “Lailaha illa anta. Subhanaka inni kuntu minadzdzalimin.” “Allaumma inni masyanidhdhurru WA anta Arhamur Rahim.” Doa dari ulama misalnya “Zi, wazi, Ma’ni, maknikem, menjadi manusia kembali seutuhnya”

Sebetulnya apapun bunyi bait doanya, semua harus terhubung dengan pikiran. Kita adalah apa yang kita pikirkan. Saat kita berpikir untuk sehat, maka pikiran akan menginstruksikan seluruh bagian tubuh untuk menjadi sehat. Demikian juga sebaliknya.

Begitupun dalam hidup dan kehidupan. Kalau kita ingin kaya, pikiran akan menuntun ke arah itu. Jika kita ingin bahagia, maka pikiran akan menuntun ke arah kebahagiaan. Pikiran adalah alat untuk menangkap sinyal sejenis.

Kondisi saya saat ini sudah berobat jalan, setelah enam hari dirawat di RS Kesdam. Hari ini, sudah 18 hari saya terkena stroke. Tangan dan kaki belum merespons perintah dari otak. Saya sadar, ini membutuhkan waktu, energi dan semangat.

Perlu beberapa kali lagi terapi dengan gerakan-gerakan tertentu untuk membangkitkan saraf-saraf agar terhubung perintah otak sampai ke tangan dan kaki.

Tidak ada yang mudah bagi penderita stroke. Semua serba sulit. Semua serba dikontrol, mulai dari makanan sampai pikiran. Saya disarankan untuk tidak terlalu berpikir keras atau membiarkan pikiran melayap ke mana-mana. Tekanan darah harus dijaga tetap stabil. Bagi saya, sakit ini menyetel ulang semua hal. Seperti telepon yang diatur ulang ke setelan pabrik.

Ada saat saya terlalu menikmati hidup. Saya lupa ujung kata “menikmati” adalah mati. Boleh menikmati tapi harus kontrol diri, jangan sampai mati. Sebelum serangan itu datang, saya menikmati liburan beberapa hari di Sabang, bersama keluarga.

Namanya liburan, semua terlihat indah. Hati senang. Makan pun tak terkontrol. Demikian juga saat pulang dari Sabang, dalam perjalanan ke Bener Meriah, gulai daging rusa, kerupuk muling, kue kacang, gulai udang, telor asin, semua disantap. Tidak ketinggalan kopi manis dan pop mie.

Di sepanjang perjalanan–saya berangkat dari Banda Aceh sekitar pukul 1.00 WIB–saya menyantap langsat dua kilo. Plus keripik singkong dengan penyedap, biar tidak mengantuk. Malam itu, saya menyetir sendiri.

Kawan-kawan beranggapan daging, udang dan ikan boleh dimakan. Tapi jangan terlalu banyak makan nasi. Karbohidrat dalam nasi dapat menjadi lemak jahat yang memicu kolesterol, darah tinggi dan stroke. Saya makan sendiri setara dengan makan sepuluh orang. Seharusnya saya makan dengan membawa teman-teman sejumlah sembilan orang.

Tapi seperti hari-hari saat saya masih sehat, saya tidak pernah berhenti berharap Allah SWT memberikan keajaiban-keajaiban. Karena saya yakin, saya dapat bertahan hidup hingga saat ini adalah keajaiban yang dihadiahkan Allah SWT.

Tapi semua juga butuh ikhtiar. Seperti mencari jalan pintas di hutan Andaliman, tidak ada jalan pintas. Saya harus menapaki jalan normal; pergi ke dokter saraf untuk memulihkan saraf yang rusak. Setiap hari, saya juga harus mengulang-ulang pekerjaan tangan dan kaki agar tersimpan kembali di “my dokumen” di otak yang siap memerintah dan direspons oleh kaki dan tangan.

Saya selalu berdoa keajaiban itu tidak terlalu lama datangnya. Namanya juga keajaiban tidak bisa kita rencanakan kapan datangnya. Namun saya berharap Allah mengampuni segala kesalahan saya dan membalas semua itu dengan kebaikan dan kesembuhan dari penyakit ini.

Saya hanya berharap untuk dapat mengambil hikmah dari kejadian-kejadian yang mendera dalam beberapa pekan terakhir. Dan saya tidak lupa mengingatkan kawan-kawan untuk tetap menjaga kesehatan. Pada alinea ke-18 ini saya masih berharap keajaiban. Sudilah kiranya, Ya Allah, Engkau mengabulkan. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.