Oleh : Fauzan Azima*
“Hem…sasaran pertamaku adalah rumah politisi.” Bujang Pane memantapkan rencananya setelah sekian lama bertapa untuk menyempurnakan ilmu lahir dan batin, rencana ini sepertinya menjadi pilihan yang tepat.
Apalagi Bujang Pane telah berhitung-hitung. Semakin sempurna ilmu, semakin kecil kemungkinan untuk gagal. Kesempurnaan ilmu seperti mengasah pisau. Semakin sering diasah semakin tajam ilmu itu. Sekarang adalah waktu bagi Bujang Pane untuk membuktikan seberapa tajam ilmu.
Apalagi baru saja selesai pesta pemilihan penjabat bupati. Diperkirakan banyak politikus, terutama yang duduk manis di kursi dewan, mendapatkan operan pendek maupun operan panjang dari calon penjabat. Kalau ada lima calon penjabat, maka dari kelimanya mereka bisa memperoleh manfaat. Bujang Pane mendapat informasi lengkap tentang karakter politikus.
Bujang Pane mendapati sebagian mereka merupakan perempuan perayu, lebih memanfaatkan politikus dibandingkan pengusaha yang masih suka menawar dan birokrat yang malu-malu kucing. Politikus lebih royal soal uang. Mereka tidak pelit karena memiliki sumber mata uang dari segala penjuru, bisa dari pokir, bisa juga dari dinas yang ingin menggolkan programmnya. Sumber uang itu pun juga bisa datang sebagai broker investasi.
Azan maghrib baru saja berkumandang. Masih perlu beberapa jam lagi untuk bergerak. Dupa pun dinyalakan. Asapnya tegak lurus, pertanda langkah yang baik mendatangi target. Pakaian khusus pun sudah disediakan. Mantra-mantra dirapalkan. Pengalaman pertama menyambangi rumah tokoh politisi kedekut.
Bujang Pane menghisap rokoknya dalam-dalam. Pikirannya melayang sampai kepada hukum halal dan haram. Mencuri jelas haram, tetapi memindahkan harta orang yang mendapatkannya dengan cara haram kepada orang-orang miskin, barangkali hukum turun menjadi subhat.
Tampaknya perlu nomenklatur baru selain “mencuri ala Robinhood” dengan “harta kalang nyawa.” Seperti halnya “judi” jelas haram, tetapi disebut “mempertajam mata batin” barangkali menjadi halalan tapi tetap saja tidak tayyiban.
Bujang Pane adalah orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai adab. Baginya adab tidak saja berlaku bagi kehidupan yang normal, tetapi juga penting bagi orang berperilaku menyimpang; utamanya pencuri dan perampok. Adab mencuri adalah “tunin” atau “menyembunyikan” hasil curiannya. Sedangkan adab merampok adalah “sangkan” atau “dibawa lari jauh-jauh” hasil rampokannya.
Bujang Pane bukan pemain solo. Dia perlu kawan untuk menggasak hasil jarahan yang terbilang banyak. Mulai dari emas batangan sampai uang di brankas. Itu tidak mungkin dia pikul sendirian. Adalah Munaf, yang punya rongga mata cekung dengan tatapan mata mata tajam. Tipikal orang-orang yang sering begadang.
Bagi tetangganya, keahlian Munaf cukup dikenal. Mereka menggelarinya Munaf Perusuh. Ada juga yang memanggilnya Munaf sang pencuri.
Hampir tidak ada persoalan bagi Munaf untuk melakukan aksinya kecuali putri sulungnya yang terlalu mengintervensi. Sehingga perlu strategi agar putri yang kepo tidak mengetahui gerak-geriknya. Dia berpura-pura pergi salat maghrib dan isya berjamaah walaupun tujuan utamanya adalah menemui Bujang Pane sebelum beraksi malam ini.
Ilmu mencuri mereka sempurna luar dan dalam. Tapi perlu mengatur strategi, mulai dari waktu untuk melangkah ke lokasi, peta rumah, kemungkinan kamera CCTV dan posisi brankas. Semua diperhitungkan dengan matang. Sehingga waktu tidak sia-sia. Waktu adalah uang, tapi salah-salah waktu bisa menjadi pedang.
Setelah waktunya tiba untuk beraksi. Mereka buru-buru menyeruput kopi beberapa teguk lagi. Kopi tidak saja membuat orang kuat melek, tetapi juga membuat orang cerdas. Tentu saja pencuri tidak boleh bodoh yang menjadi penyebab kegagalan menguras harta orang.
Bujang Pane dan Munaf melangkah dengan mantap menuju sasaran politisi, Khair namanya. Seorang anggota dewan. Di depan pintu utama rumah besar itu, Bujang Pane merapalkan mantra:
Ah pintu terbuka
Tujuh kun
Tujuh kuala
Terbukalah pintu rumahmu Khair
Tanpa menyentuh, pintu rumah Khair pun terbuka lebar. Sorban ajaib berwarna hijau mereka letakkan di kursi ruang tamu yang berfungsi seperti jubah Harry Potter. Saat sorban terbentang, mereka tidak terlihat oleh empu rumah atau kamera CCTV. Sorban itu pula yang mengarahkan mereka ke tempat penyimpanan harta berharga.
Dalam waktu setengah jam, semua harta berhasil dikuras. Sebelum pulang membawa harta curian itu mereka masih menyempatkan diri makan larut malam di rumah Khoir. Maklum mereka tergoda juga makanan anggota dewan itu yang lezat. Beruntung mereka masih bisa makan sisa ikan kakap asam manis, ikan salmon, cah kangkung, kambing kuah beulangong dan sedikit belacan.
Dalam sesaat, hidangan di atas meja berpindah ke perut keduanya. Setelah kenyang mereka pun keluar rumah Pak Khoir dengan santai. Tidak ada rasa takut karena semua berjalan sesuai rencana. Semua masyarakat tertidur pulas karena memang sudah waktunya, tetapi juga karena mantra yang mereka amalkan membuat masyarakat tidur pulas dan mendengkur.
Baca Juga : The Legend of Bujang Pane (Part VI) : Dunia Pencuri
Hari belum masuk waktu subuh. Khoir terjaga dari tidurnya dan kaget mendapati pintu rumahnya terbuka dan hatinya sangat kacau. Dia langsung menebak ada pencuri yang masuk ke rumahnya. Dia buru-buru berlari ke brankasnya. Dia jatuh pingsan setelah melihat tidak ada lagi brankas di tempatnya. Anak istrinya menangis sejadi-jadinya karena melihat kondisi suaminya. Istrinya pun pingsan setelah melihat brankasnya tidak ada di tempat.
Tetangga yang mendengar teriakan dari rumah Khoir buru-buru mendatangi rumah itu. Penuh kepura-puraan, mereka terlihat seolah-olah bersimpati. Di hati, mereka bersyukur. Maklum selama ini ini Khoir tidak familiar dengan tetangga. Di gedung dewan seolah-olah kritis, namun dia juga mematok tarif untuk setiap negosiasi di luar ruang sidang. Semua orang tahu itu. []