Eksistensi Ibu, Antara Rumah Tangga dan Karir

oleh

Oleh : Hammadin Aman Fatih*

Sabda Rasullullah : “Seorang laki – laki datang kepada Rasullullah SAW. Kemudian bertanya, “siapa orang yang paling berhak mendapat perlakuaan baik “ ? Ibumu. Ia bertanya lagi, “ Lalu siapa ? Ibumu. Beliau menjawab “ibumu” dan kemudia siapa ? Rasullulah menjawab, “ kemudian bapakmu (HR Bukhari dan Muslim).

Saat ini, peranan seorang ibu akan semakin sulit dengan menyodorkan pilihan dilematis. Bagaimana tidak ? Harapan sosial (social expectiatio ) sangat bergantung pada peran ibu. Ibuku, ibumu dan ibu kita lah yang dianggap bertanggung jawab dalam mengendalikan urusan domestik (rumah tangga) dan menjaga citra keluarga secara umum.

Di tambah lagi beban yang lebih berat. Karena emansipasi, aktualisasi diri dan pelung meraih domostik, maka ibu-ibu berbondong-bondong berdalih untuk berperan ganda. Di sini jelas menampakkan beban kaum ibu lebih berat dari sang bapak (suami). Dan ada juga sebagai pendapat mengatakan bahwa kalau ingin mendapatkan penghargaan dari seorang laki-laki (zuami), ia harus keluar rumah atau mengejar karir dan lain sebagainya.

Perdebatan tentang peran ibu akan terus berlangsung selama masih ada pihak-pihak yang merasa dirugikan dari hubungan laki-laki dan perempuan, baik dalam tataran hubungan keluarga (suami/istri) maupun tataran dalam masyarakat. Realitas sosial yang kita hadapi memang memperihatinkan.

Di sini yang menjadi pertanyaan, dimanakah ibu harus menempatkan diri ? Sebagai ibu rumah tangga atau berkonsentrasi pada aktualisasi kemampuan, keterampilan maupun intelektualitas yang dimiliki terabaikan. Atau sebaliknya, pergi keluar rumah untuk mengejar karir setinggi mungkin dengan konsekuensi penundaan pernikahan, tidak menikah, atau menjadi single parent?

Ternyata tidak sederhana itu. Ada tiga kelompok pendapat yang mengemukakan peran ibu, yakni sebagai berikut :
Pertama ; mereka yang berpendapat bahwa identitas perempuan sebagai ibu. Tidak semata-mata menempel secara artificial fisik pada diri kaum perempuan, tapi yang harus menjadi ruh dari aktivitas perempuan.

Realitas menunjukkan bahwa ibu mulai merambah bidang garapan laki-laki. Hal ini dianggap sudah meninggalkan kodratnya identik dengan aktivitas yang meneduhkan, mententramkan dan sense of sacrifice yang tinggi bagi keluarga.

Kedua ; mereka yang menandaskan bahwa peran keibuan itu telah membelenggu dan menindas perempuan. Perempuan terpaksa kehilangan kesempatan untuk mengaktualisasikan dan mengekspreasikan diri, berimprovisasi, serta berprestasi dalam kancah kehidupan.

Suatu keharusan untuk melepaskan diri dari belenggu tersebut. Sebagai contoh ekstremnya ; mengapa perempuan tidak bermain gulat atau sumo, serta melakukan hal-hal yang dianggap milik khusus pada macho.

Ketiga ; mereka yang tidak menolak pengindentifikasian karakter keibuan yang lembut, high sense of sacrifice, meneduhkan, menentramkan dan seterusnya. Namun, identitas itu dianggap suatu yang khas (special) dan tidak mengungkung serta merampas peran perempuan di mata masyarakat.

Sebagaimana kaum adam, juga memiliki identitas yang khas.
Motif berkarir yang klise saking dominannya karena factor ekonomi. Akibatnya tuntutan kebutuhan pokok keluarga, termasuk dirinya. Wanita (istri tak melihat alternative lain selain bekerja, keluar dari territorial fitrahnya.

Apalagi bahwa sifat wanita (istri) umumnya menghendaki anggaran belaja rumah tangga lebih besar, di luar kebutuhan primer. Tapi terus terang juga merupakan dorongan yang paling rawan bagi nilai kemanusia. Sebab, ia cenderung menghalalkan segala macam cara.

Wanita karir yang bermotifkan kebutuhan pokok akibat kemiskinan, umumnya dihadapkan pada persoalan yang dilematis. Ia harus bekerja, tetapi harus juga menderita dalam pekerjaannya : gaji rendah, bargaining position lemah keselamatan kerja keritis dan kadang – kadang tak ada jaminan sosial. Tapi, karena persaingan kerja begitu ketat ,ia tidak punya pilihan lain. Kondisi seperti ini akan membunuh kreativitasnya.

Kita hidup dalam materialisme sebagai urusan utama. Seluruh kegiatan ekonomi hanya di hargai bila menghasilkan komoditas. Dengan demikian, satu hal yang wajar jika seorang perempuan menikah dan memilih sebagai ibu rumah tangga “saja” dianggap melakukan kegiatan yang kontra produktif.

Padahal kalau kita lihat jika seorang ibu menggurus hanya urusan rumah tangga dihargai dengan nilai uang seperti penjual jasa (biro jasa), maka sumbangan para ibu tersebut begitu besarnya.

Setiapa tahun jika demikian, benarkah tugas seorang ibu di rumah merupakan kegiatan yang kontrak produktif? Padahal, dia telah menyumbang dana sedemikian besar bagi roda perekonomian.

Ketertindasan kaum perempuan (ibu) ini, karena kaum perempuan masuk perangkap sekrup mesin komoditas yang tergantung dan di hitung serta dikendalikan oleh sistem pasar (uang) sehinga dalam bahasa ekstremnya ; perempuan sudah menjadi salah satu komoditas industrial (lihat Ivan Illich dalam buku Gender)

Dalam memenuhi kebutuhan khas perempuan, keadaan perempuan di perburuk dengan alasan pertimbangan materialisme, yaitu pengorbanan yang kecil untuk keuntungan yang besar. Secara sederhana, cuti haid, cuti hamil, perlindungan terhadap sexual harassments, penempatan waktu kerja yang memadai (tidak diperkerjakan malam hari) merupakan biaya-biaya yang mahal untuk dipertimbang materialisme.

Ada sebahagaian informasi di satu sisi lain telah mengangkat tinggi-tinggi kedudukan ibu rumah tangga. Bayangkan, kemajuan sebuah bangsa yang sering dijadikan contoh keberhasilan membangun dari suatu keruntuhan, berpokok pada keberhasilan ibu yang mendidik anak-anak mereka.

Maka disebutlah tugas tersebut sebagai tugas mulia.

Di sisi lain, ternyata kedudukan tinggi yang mulia itu membawa konsekuensi berat, yaitu tanggungjawab kemajuan bangsa. Lebih jauh lagi, bila asumsi di atas di terima, sudah barang tentu menunjukkan hidung ibu untuk maraknya perkelahian antar remaja, tingginya angkatan pengangguran, meningkatnya angka dan kualitas kriminalitas saat ini, seperti aborsi, atau bahkan jangan-jangan juga saat ditemukannya kebocoran pada anggaran negara.

Peran mulia sebagai penentu keberhasilan bangsa lalu sangat terasa sebagai sebuah pisau yang bermata dua. Dengan ketajaman kemulian, sangat mudahlah dan menarik mereka untuk memenuhi peran mulia tersebut. Sedangkan pada saat yang sama, kemulian itu pulalah yang akan menyekap mereka dalam beban berat.

Kemulian seorang ibu rumah tangga didengungkan sejak kita lahir. Ketiga masa kecil melalui alat permainan, anak-anak telah dilatih untuk bekerja di rumah tangga. Pada periode selanjutnya melalui pendidikan formal, buku-buku pelajaran di SD dipenuhi ilustrasi dan bacaan yang menegaskan tempat perempuan yang terbatas di sekitar rumah, sementara laki-laki lebih diarahkan untuk memimpin, mencari nafkah dan berjuangan di masyarakat.

Pembagian atau pembatasan peran perempuan di khasanah domestik dan laki-laki di publik masih terus terasa, meskipun di saat yang sama selalu pula didengungkan perlunya keterlibatan perempuan dalam pembangunan, yang artinya, mestinya, termasuk penggunaan dan pengembangan pontsi perempuan.

Pada media umum kita senantiasa di suguhi cerita keberhasilan kaum hawa dalam profesi masing-masing, yang tak pernah dilepaskan dari keberhasilannya di rumah tangganya. Sampai kemudian kita mengenal istilah superwomen yang secara sins menggunggat keharusan perempuan berhasil di dalam rumah dan luar rumah.

Artinya, sebaik-baiknya perempuan di lingkungan kerjanya, tetapi ia terbebani oleh kewajiban untuk sukses dalam rumah tangganya. Sementara ukuran sukses sangatlah luas dan abstrak.

Topik keberhasilan kaum hawa di dunia dunia menjadi lekat dengan keberhasilan kaum hawa sebagai ibu rumah tangga. Bahkan ibu dikondisikan sedemikian rupa, sehingga keberhasilan dalam rumah tangga seakan-akan menjadi segala-galanya.

Walaupun demikian, anehnya bertentangan dengan kecenderungan di atas, pada saat yang sama masyarakat pun sebenarnya tidaklah menghargai para ibu rumah tangga. Ini bila kita mengambil kurangnya pemberitauan yang berasal dari dunia tersebut. Maka, bolehkah kita mencurigai, bahkan penghargaan yang ada nampaknya hanyalah sebatas penghargaan itu belaka ?

Istilah ratu rumah tangga perlu dipikirkan kembali kebenarannya. Sebagai seorang ratu dalam rumah tangga, ibu akan memiliki hak untuk menentukkan kebijakan. Ia menjadi identik dengan kesanggupan untuk memimpin dan menjadi panutan. Sebagai ratu, seseorang juga tentunya akan memiliki kemampuan untuk memperioritas kepentingan berdasarkan keadaan yang dipahami serta dihadapinya. Nah, apakah ratu rumah tangga memiliki semua ini ?

Keraguan yang sama juga dirasakan pada kemulian yang didengungkan. Dasarnya justru pada beban berat yang datang bersama dengan kemulian itu sendiri. Pada hemat penulis, suatu kemulian merupakan hak-hak abstrak yang tidak mungkin lenyap secara serta merta.

Walaupun demikian, nyatanya peran mulia ibu rumah tangga segera menguap, ketika rumah tangga berjalan tersendat. Apalagi bila ternyata sang ibu tidak hanya melakukan perannya sebagai ibu rumah tangga, tetapi juga mencoba mengais kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya. Dalam sekejap pula pujian kepada ibu rumah tangga berubah menjadi tundingan atas kegagalan menjadikan tugas utama. Bila dalam sesaat puji-puji berubah menjadi caci makian, maka masihkan ada arti kata mulia itu ?

Dalam banyak kasus, hampir seluruh perkembangan kenakalan anak dianggap berangkat dari kenyataan makin banyaknya jumlah ibu yang bekerja “kurang pengawasan” selalu ditunding dari sumber bencana. Dan kurangnya pengawasan biasanya berarti kurangnya pengawasan sang ibu, bukan bapak dan bukan lingkungan.

Begitulah gambaran ibu-ibu menghadapi persoalan-persoalan serba dilematis dan kompleks di sebabkan kepungan nilai – nilai materialisme. Jika ia memutuskan berada di dalam rumah tangga bekerja di luar rumah, maka ia dianggap kontra produktif. Sebaliknya, jika ia memutuskan untuk bekerja atau berperan ganda (rumah atau demi karir), ia harus siap menghadapi mesin-mesin industri yang garang dan tidak manusiawi, sexual harassment, disentregrasi, keluarga dan beban kerja yang lebih berat.

Oleh karena itu, sudah saatnya, di era ini, para kaum ibu harus mengkikis habis jiwa – jiwa kerdil, yang menerima letupan-letupan nafsu keserakahan penghuninya. Tetapi sebaliknya harus selektif terhadap segala macam norma, aqidah, prilaku, baik ucapan ataupun perbuatan.

Dalam hal ini harus ditanamkan prinsip dalam diri setiap kaum ibu dalam atau akan memilih peran atau prilaku yang sesuai dengan fitrahnya sebagai wanita (ibu rumah tangga). Dia tidak akan terjerumus oleh arus yang terkadang aneh yang mampu menelantarkan kaum ibu dari kodratnya yang hakiki. Dan saat ini kaum ibu memerlukan acuan untuk mendefenisikan kembali peran mereka.

Karena terlibatnya wanita dipasaran telah mengacaukan peran wanita. Semua itu bukan mengantarkan kaum ibu kepada ketenangan batin. Boleh jadi malahan mengantarkan mereka ke lembah kenistaan.

Takengon, 21 Desember 2022

*Penulis adalah hanya seorang antropolog dan pemerhati masalah sosial yang berdomisili di seputaran kota Takengon. Sebelum direvisi tulisan ini telah pernah diterbitkan di surat kabar nasional terbitan Banda Aceh yaitu : SERAMBI INDONESIA dan SKH WASPADA terbitan Medan-Sumatera Utara.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.