Oleh : Dr. Jamhuri Ungel, MA*
Bila membaca kitab-kitab dan buku-buku yang ditulis oleh ulama klasik dan modern kita akan temukan kalau perempuan tidak pernah dibahas secara mandiri tetapi selalu dikaitkan dengan laki-laki, baik laki-laki itu sebagai ayah, sebagai suami atau juga laki-laki itu sebagai wali.
Dan juga tidak pernak membahas perempuan secara mandiri dalam perbuatan baik itu perbuatan terhadap dirinya, terhadap anak-anak mereka dan juga terhadap harta yang dimiliki.
Kajian ketidakmandirian perempuan ditemukan di dalam pembahasan kitab-kitab fiqh tanpa membedakan mazhab. Umpamanya dalam hal ibadah, ketika melaksanakan ibadah yang bersifat jamaah maka perempuan harus menjadi orang yang berada dibelakang laki-laki, ketika ia hendak melakukan ibadah sunat maka laki-laki boleh menghalangi demi melakukan perbuatan wajib lain yang berhubungan dengan laki-laki. Ketika perempuan mau melaksanakan ibadah haji maka dikaitkan dengan mahram.
Apabila perempuan berhubungan dengan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup maka harus mendapat izin atau persetujuan dari laki-laki sebagai suami, ketika suami mengatakan perempuan tidak perlu bekerja makan perempuan harus mentaatinya.
Dalam hal memutuskan ikatan suci perkawinan perempuan harus menggugat perceraiannya dan tidak punya hak untuk memutuskannya, berbeda halnya dengan laki-laki yang mempunyai hak mutlak dalam memutuskan ikatan perkawinan.
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa apa yang telah dibahas merupakan masalah fiqhiyah atau disebut juga dengan masalah ijtihadiyah, artinya semua orang yang mempunyai kemampuan mempunyai peluang yang sama untuk memahami sama ataupun berbeda terhadap permasalahan fiqh (ijtihadiyah).
Sebagai pengkaji hukum Islam kita masih mempunyai peluang untuk memahami dalil-dalil (al-Qur’an dan Hadis) sebgaimana upaya yang tlah dilakukan oleh fuqaha terdahulu, dari pemahaman tersebut dikeluarkan hukum (hukum syara’) untuk selanjutnya dilekatkan kepada mukallaf (pelaku perbuatan) atau kepada perbuatan yang dilakukan.
Seperti mengeluarkan hukum wajib nafkah dari dalil dan dilekatkan kepada perbuatan laki-laki, oleh ulama tidak melekatkannya kepada perempuan, pada hal kita masih bisa melekatkannya kepada perbuatan perempuan, tentu Pelekatan kepada perempaun juga dengan menggunakan kajian yang mendalam.
Berbeda dengan kajian fiqh yang memfokuskan kajian kepada perbuatan mukallaf yang banyak membedakan antara perbuatan laki-laki dan perempuan, dalam kajian ushul fiqh yang memfokuskan pembahasan pada dalil nash tidak banyak membedakan antara laki dan perempuan.
Seperti kajian tentang ahliyah (ahliyah al wujud dan ahliyah al ada’), dalam kajian ini tidak dibahas tentang keahliyahan karena kelaki-lakian dan keahliyahan karena keperempauanan.
Seperti kajian tentang kepemilikan harta perempuan, para fuqaha mendekati harta perempuan dengan ahliyah al wujub (ahliyah pasif) semata tanpa ahliyah al ada’ (ahliyah aktif) sehingga perempuan hanya menerima harta dari,pewaris, pewasiat atau pemberi hibah dan pemberi sadaqah, dengan tidak ada Pembahasa tentang pengembangan harta perempuan.
Selanjutnya peluang pemahaman kita menambahkan bahwa perempuan mempunyai keahliyahan aktif sehingga mempunyai kewajiban untuk mengembangkan harta yang didapat.
Inilah salah satu upaya yang dilakukan untuk menjadikan perempua itu mandari tanpa harus dibandingkan dengan laki-laki. Artinya perempuan dapat bertanggungjawab pada dirinya dah juga dapat bertanggungjawab kepada orang lain.
*Ka. Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum Fak. Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh