Oleh : Fauzan Azima*
SYAHDAN, di Paya Tumpi, daerah yang dikenal sebagai salah satu gerbang masuk ke Kota Takengon, saya mendengar percakapan anak-anak. Percakapan itu terjadi saat mereka baru saja melihat seseorang membawa sepeda motor berkelir serba kuning, seperti warna emas. Senada dengan warna helm nya dimodifikasi seperti mahkota terbuat dari emas.
“Jangan-jangan celana dalamnya juga warna emas,” seorang dari anak-anak menyeletuk dan yang lain menyambut dengan gelak tawa.
Saya yang “menguping” pembicaraan tersebut juga merasa geli. Tapi saya hanya bisa menahan tawa. Percakapan mereka menerbangkan ingatan saya pada tahun 90-an. Saat itu hanya ada tiga partai politik yang diizinkan oleh rezim Orde Baru, Partai Persatuan Pembangunan, Golkar dan Partau Demokrasi Perjuangan.
Dalam sebuah sidang paripurna yang dipimpin oleh Suryadi, Ketua Fraksi PDI, seluruh wakil partai politik membacakan pendapat mereka di podium. Mereka mengenakan pakaian kebesaran partai politik masing-masing, PPP hijau, Golkar kuning, dan PDI merah.
“Saya sebagai pimpinan sidang memakai baju merah dan mudah-mudahan di dalamnya pun merah,” kata Suryadi disambut dengan gelak tawa. “Kolega saya dari PPP dan Golkar masing-masing memakai pakaian hijau dan kuning. Tetapi saya berharap dalamnya berwarna merah,” kata Suryadi membuat riuh seisi gedung DPR-MPR RI.
Entah itu anak-anak di Paya Tumpi dan atau Suryadi yang memimpin sidang di Senayan, mereka hanya bisa menebak-nebak. Dan berharap tebakan mereka benar. Tapi untuk membuktikan itu perlu upaya lain, upaya yang jelas-jelas tidak mudah. Pandangan manusia jelas terbatas.
Tapi urusan jeroan ini seperti tidak berlaku pada pemimpin di kampungku. Dia seperti memakai baju yang terbuat dari plastik transparan; jangankan warnanya, tapi ukuran dan mereknya celana dalamnya pun orang tahu.
Tidak ada rahasia di antara mereka. Rekaman percakapkan soal fee proyek dan aliran dana yang mengalir jauh terdengar dan menjadi pengetahuan umum. Kontrak pekerjaan yang bermasalah beredar di mana-mana. Aparat penegak hukum jelas telah mengendus hal ini.
Hal ini membuat “kebekuan” di kampungku mulai mencair. Masyarakat kembali bergairah untuk membicarakan hal-hal yang sebelumnya membuat mereka enggan berbicara. Seluruh masyarakat kampungku tahu itu.
Cik…cik…cik…begitu transparan. Jika dulu Setya Novanto, bekas Ketua Umum Partai Golkar, heboh dalam kasus “Papa Minta Saham”, pemimpin di kampungku istilah “Bos Minta Fee” jadi viral.
Andaipun pemimpinku membuat konferensi pers untuk membantah soal menerima fee, tapi masyarakat kadung faham apa yang sesungguhnya terjadi. Semakin disembunyikan semakin tak terbantahkan. Semakin dia kubur, semakin dia tidak bisa kabur. Maju kena mundur kena.
Bahkan seorang teman yang menjaga istrinya di rumah sakit berkata, semua orang di tempat itu tidak lagi bicara tentang penyakit. Mereka semua bicara soal rekaman berisi suara pemimpinku minta fee proyek karena banyak kebutuhan.
Kalau di rumah sakit saja begitu, apa cerita di warung kopi. Mulai pagi ketemu pagi, semua orang membahas detail tentang bancakan dana yang bersumber dari anggaran belanja daerah itu.
“Tujuh bulan pertama sebagai pemimpin di kampungku, dia begitu ingin memperbaikinya, tetapi selanjutnya dia tidak tahan dengan godaan dari keluarganya, terutama anaknya,” kata politikus jalanan di Warung Kopi Kaheng atau sebagian orang menyebut warung politik.
Pada masanya, kalau saja mereka beramai-ramai memakai baju warna oranye, jelas bukan karena laporan seseorang, tetapi mereka mengobral kesalahan mereka di hadapan publik. Ini sangat bertentangan dengan pepatah; enti nyemur rom arapni kurik (jangan menjemur padi di depan ayam). Frasa dalam bahasa Gayo itu bermakna jangan membuka rahasia kepada umum.
Pemimpin di kampungku kali ini juga tergolong aneh. Tidak pernah ada pemimpin yang seperti ini di kampung kami sebelumnya, ya minimal caranya tidak sekasar yang sekarang. Kali ini, semua dugaan kejahatan tergambar jelas. Tidak perlu jadi sakti atau menggunakan kacamata tembus pandang milik Presiden Soekarno untuk melihat kejahatan mereka. Dugaan kejahatan mereka tembus pandang.
Baca Juga : Cerita dari Kampungku (Episode 8): Dan Kembang Tai Ayam Pun Berguguran
Kalau akhirnya si pemimpin muserit, atau bermasalah dengan hukum; karena polisi atau jaksa menangkap. Lantas dia diproses hukum dan divonis bersalah, pemimpinku tidak berhak sedikitpun untuk menyalahkan rakyat karena melaporkan dugaan kejahatan itu. Jika kelak dia dijebloskan ke penjara, itu karena nyali dan mulut besarnya. Tahankan saja sendiri.
(Mendale, Desember 12, 2022)