Oleh : Dr. Jamhuri Ungel, MA*
Sudah dimaklumi bahwa perempuan dari masa anak-anak sampai sebelum menikah mereka akan menjadi tanggungjawab orang tua baik itu nafkah atau juga tempat tinggal, demikian juga dengan anak laki-laki.
Bedanya menurut Fuqaha kalau tanggung jawab terhadap anak perempuan sampai anak perempaun tersebut menikah dan tanggungjawab orang tua terhadap anak laki-sampai mereka baligh (ini menjadi kesepakatan para ulama mazhab).
Sedangkan apabila dilihat dari sisi keahliahan (kewenangan) perempaun maka perempuan yang dewasa sama halnya dengan laki-laki mempunyai kewajiban untuk memenuhi kebutuhan minimal untuk dirinya, karenanya perempuan mempunyai posisi yang sama dengan anak laki-laki laki dalam kemandirian.
Kemandirian perempuan terhadap kepemilikan harta dapat kita lihat dari sumber harta yang didapat, perempuan mendapatkan harta dari warisan, wasiat, hibah dan lain lain.
Harta ini menjadi milik mereka secara penuh, dapat diwariskan kepada ahli waris mereka dan harta ini juga dapat diwasiatkan kepada penerima wasiat serta dapat juga dihibahkan dan juga bebas digunakan sepanjang untuk kebutuhan dan kebaikan.
Dalam fiqh ulama mazhab menempatkan perempuan dalam kepemilikannya terhadap harta dengan kewenangan yang bersifat pasif, yaitu kewenangan mendapatkan harta sebagaimana telah disebutkan dan harta yang didapatkan tersebut hanya sekedar untuk dimiliki karena perempuan tidak mempunyai kewenangan secara aktif, yaitu tidak mempunyai kewenangan untuk menambah mengembangkan harta yang mereka miliki.
Namun bila didalami dengan menggunakan teori ahliyah sebenarnya perempaun juga di samping mempunyai keahliyahan secara pasif juga mempunyai keahliyahan yang aktif.
Ketika perempuan menikah dan mempunyai suami maka tanggungjawab berpindah dari orang tua kepada suami, kondisi seperti ini maka suamilah yang bertanggung jawab untuk memberi nafkah berupa makanan dan minuman serta pakaian dan tempat tinggal yang layak sesuai dengan kemampuan suami dan kebutuhan istri.
Bila dalam kondisi tertentu suami tidak mampu memberi makanan dan pakaian kepada istri dan keluarga, karena istri juga mempunyai keahliyahan yang aktif terhadap harta maka istri juga berkewajiban memberi nafkah kepada suami dan keluarganya.
Karena istri menjadi bagian dari keluarga suami dan semua tanggungjawab berada di tangan suami, maka apabila terjadi perceraian tanggungjawab suami selesai baik perceraian itu karena talak atau juga karena fasakh.
Kalaupun ada tanggungjawab suami itu hanya pada masa iddah (masa memastikan apakah istri dalam keadaan hamil atau tidak) atau kalau istri sedang menyusui anak. Setelah itu tanggungjawab nafkah suami selesai.
Setelah itu para istri harus kembali hidup bersama orang tua atau para wali mereka, karena dalam pendapat ulama mereka tidak mempunyai keahliyahan terhadap dirinya apalagi terhadap orang lain, kedemikian menurut pendapat ulama fiqh dan juga dilaksanakan dalam masyarakat patrilineal.
Bila pendapat dan praktek ini tetap dipertahankan maka tidak menutup kemungkinan para istri yang sudah dicerai akan hidup menderita bila orang tua mereka tidak ada lagi dan para wali mereka tidak sanggup bertanggungjawab karena banyaknya beban yang lain.
Untuk itu kajian harus dilanjutkan dengan penetapan keahliyahan perempuan yang selama ini hanya ahliyah yang pasif ditambah lagi dengan keahliyahan yang aktif. Artinya nafkah yang didapat sebelum pernikahan dapat dikembangkan katika dalam perkawinan dan juga setelah perkawinan, sehingga para istri yang dicerai tidak lagi bergantung pada orang atau walinya. Dan akan hidup mandiri.
*Ka. Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum, UIN Ar-Raniry Banda Aceh