Alhamdulillah, Engkau Jadikan Aku Orang Gayo

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

SEBELUM muncul ranah penelitian mikroskopis sejarah, awal mula sejarah adalah kisah-kisah agung. Begitu pula awal mula kata Gayo yang tidak terlepas dari tiga peristiwa besar di zaman baheula.

Pertama pada saat terjadi banjir besar masa Nabi Nuh as—menurut ahli geologi, tinggi banjir itu mencapai 6.000 meter dari permukaan laut sekarang. Artinya penyusutan laut banjir pada masa Nabi Nuh sampai saat ini telah mencapai 6 kilometer.

Penyusutannya tidak sekaligus. Air bah itu surut perlahan-lahan. Konon 40 hari 40 malam. Jejak kejadian penting dalam sejarah umat manusia itu masih tertinggal hingga saat ini. Di puncak-puncak gunung terdapat pasir laut, jadi tidak perlu heran.

Air laut berangsur-angsur susut dan kapal Nabi Nuh terombang-ambing sampai ke daerah Gewat, di pedalaman Aceh Tengah. Seseorang turun dari kapal dan menyebutkan kata Gayo. Kata itu berarti selamat. Orang tersebut bisa disebut melahirkan orang Gayo yang sampai sekarang makamnya di puncak gunung Gewat bernama Datok Perau.

Bahan-bahan kapal Nabi Nuh as tumbuh subur di hutan Gayo. Banyak orang menyebut bahwa kapal Nabi Nuh terbuat dari kayu jati. Tapi pohon jati hanya salah satu bagian dari kapal Nabi Nuh sebagai pengikat lambung kapal. Dalam bahasa Gayo orang menyebutnya manil atau dalam bahasa Aceh bak mane atau kaye beso (kayu besi).

Selain kayu manil, kapal Nabi Nuh terbuat dari berbagai kayu. Bagian lambung, misalnya, dibuat dari kayu medang ara. Sedangkan sebagai tiang, untuk mengikat layar, dibuat dari kayu bungur. Kayu ini tumbuh di antara hutan dan padang ilalang. Sedangkan haluan kapal dan kemudi terbuat dari kayu gerupel.

Penggunaan kayu itu menjadi tradisi turun temurun di Gayo. Nenek moyang orang Gayo membuat rumah dengan bahan-bahan seperti Nabi Nuh membuat kapal; medang ara, manil, bungur dan gerupel. Selain kualitas kayu, pertimbangan untuk itu adalah agar keluarga yang menghuni rumah itu tenteram, sebagaimana ketenteraman penghuni kapal Nabi Nuh.

Kisah banjir besar di masa Nabi Nuh memang hanya satu dari banyak kisah serupa yang seolah-olah bereinkarnasi sepanjang zaman. Sebut saja kisah seperti Epik Gilgamesh dari Mesopotamia, Athrasis dari Babilonia, Manu dalam mitologis Hindu. Semua kisah itu sama persis dan sebagai pengingat diri, kita tidak perlu berdebat lebih jauh lagi soal Nabi Nuh dan Gayo.

Penyebutan kata Gayo kedua dilakukan pada sebuah upacara di Kampung Waq. Syahdan, seseorang tanpa sadar menanak nasi dan mengaduk nasi itu dengan kayu geluni item. Nasi pun berubah hitam.

Tapi karena tidak ada nasi lain, nasi hitam itu terpaksa mereka makan. Lantas keajaiban pun terjadi. Setelah makan nasi itu, orang-orang tua berubah menjadi muda kembali.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Masyarakat Kampung Waq tidak menua. Mereka hidup abadi. Bahkan tidak ada lagi tradisi meratapi jenazah karena di kampung itu tidak ada kematian.

Kejadian ini berlangsung berpuluh tahun. Saking rindunya untuk meratap, mereka membeli jenazah dari Kampung Tenamak, kampung tetangga yang berjarak sekitar 20 kilometer arah barat Kampung Waq, untuk diratapi beramai-ramai.

Setelah selesai upacara meratapi jenazah itu, satu per satu penduduk Wag meninggal dunia. Belum selesai dikuburkan orang baru meninggal, datang lagi orang yang meninggal lainnya.

Kematian begitu cepat dan banyak, sampai masyarakat mulai ketakutan dan berlari keluar Kampung Waq. Orang-orang yang keluar dan selamat dari kematian lantas berucap Gayo, yang juga berarti selamat.

Sedangkan kata Gayo ketiga diucapkan ketika Merah Mege, anak bungsu Muyang Mersah yang ditinggalkan di sebuah gua oleh saudara-saudaranya ketika berburu di daerah Isaq. Sampai saat ini, daerah tempat Merah Mege ditinggalkan disebut Loyang Datu. Merah Mege yang ditinggalkan selamat. Pada saat itu orang-orang menyebutnya Gayo yang berarti selamat.

Dari ketiga kisah-kisah di atas, kita dapat melihat betapa kata Gayo punya hakikat yang tidak terlepas dari keselamatan. Dalam Bahasa Arab, kata Islam sendiri berarti selamat dan begitu juga kata Gayo.

Saya sendiri senantiasa bersyukur dilahirkan dari ibu dan ayah yang beragama Islam. Sama bangganya seperti saya dilahirkan dari ibu dan ayah yang bersuku Gayo. Pertama sebagai orang yang terlahir di Tanah Gayo. Orang-orang yang begitu dekat dengan petunjuk “jalan selamat” karena nenek moyang Gayo meninggalkan rambu-rambu jalan menuju selamat.

Salah satunya petunjuk keselamatan itu adalah Umah Pitu Ruang atau rumah tujuh ruang–ini adalah sebutan untuk rumah adat Gayo–secara fisik di manapun sama. Tetapi secara makna, di Linge, kemudian di Jamat, belumlah sempurna. Kesempurnaan Umah Pitu Ruang baru ditemukan di daerah Gewat.

Umah Pitu Ruang dibangun oleh Muyang Peradah dan Tengku Rilangan. Dalam Umah Pitu Ruang terdapat petunjuk tujuh anggota tubuh yang wajib dipelihara dari perbuatan maksiat; mata, telinga, lidah, perut, kemaluan, kedua tangan dan kedua kaki.

Umah Pitu Ruang juga dikaitkan dengan tujuh sosok yang berpengaruh besar, mereka adalah Syaikh Abdul Qadir Jailani atau Muyang Gerpa sebagai ahli hukum; Syaikh Abdul Rauf sebagai ahli adat; Syaikh Muyang Mugih atau Muang Ogeh sebagai ahli seni; Peteri Megarincing atau Ratu Nyi Roro Kidul sebagai perwakilan perempuan; Datok Perau sebagai pembina; Datok Gelung Perajah sebagai orang kuat atau yang berjiwa panglima; dan Pengulu Akal atau ahli mantiq

Umah Pitu Ruang sendiri, pada hakekatnya, memiliki sembilan ruang. Dua ruang lain tak tampak. Jika dikaitkan dengan anggota tubuh, itu berarti ada dua tambahan organ tubuh yang tidak terlihat, yaitu hati dan jatung.

Sedangkan dalam kaitan dengan tujuh tokoh di atas, ada penambahan dua tokoh yaitu Muyang Peradah, dengan sebutan Rintah Tue yang ditandai dengan simbol hati dan Tengku Rilangan atau disebut juga Rintah Mude yang disebut sebagai simbol jantung. Sehingga para tokoh yang tersebut di dalam Umah Pitu Ruang juga disebut sebagai “Muyang Siwah.”

Kedua, nenek moyang orang Gayo meninggalkan kalimat populer yang menjadi petunjuk jalan selamat. Seperti Asal Linge Awal Serule yang berujung kepada tauhid atau ajaran tentang tahu diri.

Kalimat ungkapan dari Muyang Siwah tetap relevan untuk kita amalkan. Di antaranya, “Gere daleh pedang ken luju, gere daleh atu ken pipisen, akal kin pangkal, kekire ken belenye.” kalimat itu berarti, tidak ada kebuntuan bagi orang Gayo dalam menjalani hidup dan kehidupan. Asal mau memutar otak kalau terjadi hambatan dan tantangan.

Amanah Muyang Siwah tersebut juga bermakna, banyak cara untuk menghindari perang dan tetap sebagai pemenang serta beroleh keuntungan besar. Hal tersebut, kabarnya pernah dipraktekkan oleh masyarakat Serule ketika berperang dengan Saudara kita, Batak 27.

Masyarakat Serule menanam pisang yang sudah berbuah di daerah Kebayakan dan membawa sekarung tanah dari Serule dan duduk di atasnya sambil bersumpah, “saya bersumpah, tanah yang saya duduki ini adalah milik saya.”

Contoh lainnya, “45 Pasal Adat Negeri Linge” yang merupakan Undang-undang Kerajaan Linge yang butir-butir dan falsafahnya tidak bertentangan dengan hukum internasional, hukum nasional dan hukum adat negeri lain. Begitu peka nenek moyang orang Gayo memikirkan dalam menyusunnya, sehingga semua pihak bisa menerimanya.

Ketiga, nenek moyang kita banyak meninggalkan doa, amanah dan isyarat. Hanya saja di zaman kita saat ini perlu dimodifikasi untuk kepentingan bisnis, kedudukan dan pengaruh. Sebagaimana teori perang Sun Tzu yang banyak disesuaikan dengan zaman untuk kepentingan bisnis.

Akhirnya, saya tidak pernah berhenti bersyukur Kepada-Mu Ya Allah, karena menjadikan saya sebagai orang Gayo.

(Mendale, Desember 4, 2022)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.