Kesaksian Korban Awan Panas Gunung Sinabung

oleh

Oleh : Yopi Ilhamsyah*

Dalam rangka survey dampak erupsi Gunung Sinabung terhadap bangunan. Saya bersama seorang peneliti UPT Mitigasi Bencana (TDMRC) USK Dr. Irwandi berkesempatan mengunjungi desa Gamber.

Desa ini berlokasi tepat di kaki Gunung Sinabung sebelah tenggara. Jarak dari desa ke puncak Sinabung sekitar 3,5 kilometer.

Desa Gamber merupakan salah satu desa paling parah terdampak awan panas. Kunjungan ini setelah memperoleh izin dari bapak Deri Al Hidayat, Ketua Pos Pengamatan Gunung Sinabung.

Kami tiba di desa Gamber pada pagi hari. Desa ini berada di atas bukit. Dari sana kami menyaksikan pemandangan luas hamparan bebatuan besar yang teronggok di sela-sela endapan abu vulkanik yang kini telah berwujud pasir halus. Batu-batu besar ini berasal dari dalam perut Sinabung yang terlontar saat erupsi.

Gunung Sinabung berdiri menjulang dihadapan kami. Suasana gersang tampak di sekeliling lereng Sinabung. Rekahan-rekahan membentuk jalur besar tampak jelas di banyak sisi Sinabung.

Di lereng timur, endapan lelehan magma beku yang oleh peneliti disebut sebagai Lidah Lava membentuk tembok raksasa. Di balik tembok Lidah Lava itu terdapat sebuah desa bernama Sukameriah yang kini hilang tertelan aliran lava.

Kami menuruni punggung bukit. Aliran sungai berpenampang sempit meliuk-liuk melingkari kaki bukit. Air mengalir deras berwarna jernih.

Awalnya kami bermaksud mengunjungi desa-desa yang tertimbun untuk mengambil dokumentasi bangunan-bangunan yang terdampak erupsi. Ada tiga desa yang menjadi tujuan kami, yakni desa Sukameriah, Bekerah dan Simacem. Namun, niat tersebut kami urungkan mengingat kondisi Sinabung yang labil serta berpotensi meletus kapan saja.

Udara di sini terasa panas. Terkadang diselingi hembusan udara dingin khas dataran tinggi. Kondisi ini bikin badan meriang.

Saat kembali menapaki bukit menuju desa Gamber, kami berpapasan dengan seorang bapak. Beliau bermarga Sitepu.

Pak Sitepu sedang memancing di pinggir tebing. Di bawah tebing ada danau kecil berair tawar. Ternyata itu adalah bekas kebun beliau yang kini telah berubah menjadi danau setelah erupsi dahsyat tahun 2016.

“Danau ini sangat dalam. Sebilah bambu panjang pun tidak mampu menyentuh dasar danau. Sesaat akan meletus, air danau mendadak panas, muncul gelembung-gelembung dibarengi asap, seperti air mendidih,” ujar Pak Sitepu.

Sembari mengingatkan kami untuk tidak mendekati Sinabung, ia mulai bercerita kala awan panas Sinabung menerjang desa Gamber tempat ia lahir dan tinggal selama 63 tahun.

Beliau selamat setelah berlari sekitar 900 meter ke jalan besar di selatan. Saat kejadian ia sedang bekerja di kebun.

Beliau berkisah saat itu tidak ada tanda-tanda Sinabung akan meletus.

“Siang itu cerah, langit biru. Tiba-tiba saja Sinabung meletus. Terdengar suara gemuruh besar, abu menyembur ke langit lalu gelap, udara mendadak pengap,” ucap Pak Sitepu.

“Itu erupsi kesekian kali sejak tahun 2010, awalnya kami sudah terbiasa. Hingga sore hari, tiba-tiba terdengar suara ledakan dahsyat, seperti bom besar. Saya menutup telinga. Sesaat setelah itu, saya seperti tuli, suara apapun tidak terdengar. Ternyata itulah puncak dari letusan Sinabung,” lanjut Pak Sitepu.

Ia yang masih berlindung di kebun lalu melihat abu besar menggulung-gulung meluncur cepat di lereng Sinabung.

Gulungan abu ini disebut Piroklastik, yaitu awan panas. Di Jawa, Piroklastik dikenal dengan istilah lokal “Wedhus Gembel” karena bentuknya menyerupai bulu domba.

Angin berhembus kencang, udara panas sekali, bernafas pun sulit seperti sesak.

Menurut Dr. Irwandi, abu vulkanik mengandung gas beracun yang mematikan.

“Tanah ini bergetar, dek,” kenang beliau. Pak Sitepu berhamburan bersama warga.

“Abu itu menggulung-gulung besar sekali menutupi langit, mengerikan sekali, hawanya sangat panas, bau terbakar, turun sangat cepat, menerjang desa kami, suara gemuruhnya besar sekali,” terang Pak Sitepu.

Menurut mereka yang terperangkap dalam awan panas yang diceritakan kembali oleh Pak Sitepu, suasana di dalam gulungan awan panas sangat gelap, bahkan kita tidak bisa melihat orang di dekat kita. Mata terasa sangat perih. Sesak nafas. Kilat sambar menyambar di depan mata. Bunyi petir menggelegar seolah-olah langit ini koyak. Hujan turun tapi karena ada awan panas, hujannya juga panas. Jadi kita seperti disiram air panas dari langit!

Menurut literatur, suhu di dalam awan panas bisa mencapai 1000 derajat Celcius.

Rumah-rumah kayu hingga permanen yang berada di belakang desa yang langsung berhadapan dengan Gunung Sinabung terbakar hebat. Pepohonan turut terbakar.

Tercatat 6 orang meninggal seketika, ada yang di dalam rumah, di halaman rumah dan di jalan desa kala menyelamatkan diri sementara 1 orang meninggal di rumah sakit setelah mengalami luka bakar hebat.

Hewan ternak dan peliharaan seperti lembu, kucing, anjing terbakar di tempat. Bau daging panggang tercium di dalam desa. Warga desa banyak yang mengalami luka bakar.

Korban yang mengalami luka bakar hebat, kulitnya melepuh hingga nampak tulang bahkan ada yang harus diamputasi.

Kondisi sangat panas di desa masih dirasakan selama seminggu. Tanah masih belum bisa dipijak karena sangat panas.

Suasana desa langsung berubah dari yang tadinya banyak pepohonan, kini yang tampak hanya bangunan rumah yang hangus terbakar berikut pepohonan dan hutan di sekeliling desa. Abu vulkanik menutupi desa.

Gunung Sinabung yang dulunya tersembunyi di balik pepohonan kini tampak garang berdiri di belakang desa.

Pak Sitepu berkisah air sungai seperti dihisap ke dalam Bumi. “Sungai menguap dan kering sampai sebulan. Sungai yang mendidih akibat direbus oleh magma dari dalam Sinabung mengeluarkan suara blup blup blup… suara didihan besar yang sangat menakutkan,” kata Pak Sitepu.

Batu lahar besar berpijar-pijar merah menggelinding sampai kaki bukit Desa Gamber.

Anak Pak Sitepu mengalami trauma sampai kini ia tidak berani ke luar rumah. Pak Sitepu bercerita dengan bulu kuduk merinding.

Beliau kini sadar akan ancaman erupsi Sinabung. Beliau kembali ke desa hanya untuk berladang hingga sore, itupun diliputi rasa cemas akan bahaya erupsi Sinabung.

Terselip juga cerita beliau “Tahun 2004 saat gempa kuat diikuti Tsunami di Aceh. Kita yang berada di sekitar Sinabung ini juga bergoncang hebat, saat itu kami berpikir Sinabung ini akan meletus.”

Di Aceh terdapat tiga gunung api yang masih aktif, yaitu Gunung Seulawah Agam, Peuet Sagoe di Pidie Jaya dan Burni Telong.

Menurut Pak Deri dari Pos Pengamatan Gunung Api, Kabupaten Bener Meriah yang berada dalam kawasan Gunung Burni Telong menjadi wilayah sangat rawan akan bahaya erupsi gunung api termasuk terjangan awan panas.

Hendaknya kisah ini membangun kesadaran kita akan bahaya gunung api terutama bagi penduduk yang bermukim dalam radius 5-kilometer dari puncak gunung api.

*Dosen Universitas Syiah Kuala

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.