Oleh : Wisnu Hasan*
Aceh Tengah ini memang sangat unik. Karena sumber utama perputaran ekonomi daerah bersumber dari belanja pemerintah.
Jarang sekali kita lihat acara yang diselenggarakan dengan menggunakan anggaran daerah yang tidak diserang kanan-kiri.
Kita yang paham situasi di Aceh Tengah, tentu sangat paham, meski serangan itu dikesankan untuk kepentingan masyarakat luas, tapi sebenarnya ada udang di balik batu.
Contoh terbaru adalah international Tour de Luttawar. Balap sepeda road bike pertama di Aceh yang diselenggarakan untuk pembalap profesional ini, sangat luar biasa.
Secara teknis penyelenggaraan, kegiatan ini mendapat acungan jempol dari para pembalap pro dan race director.
Setidaknya sampai etape kedua kemarin balapan ini sangat berhasil karena semua persyaratan teknis, efektifitas marshall, keamanan jalur, sepanjang jalur balapan dan berbagai sisi teknis lainnya. Sangat berhasil.
Kemudian dari sisi peserta, saya baca di sebuah status facebook pagi tadi, Edgar Nohales Nieto yang begitu dominan dan menjadi pusat pemberitaan media di Tour de Flores. Di etape 2 Tour de Luttawar (Kopi), hanya mampu berada di peringkat keempat.
Artinya, meski balapan ini “hanya” dibiayai Pemda dengan anggaran sangat terbatas, pembalap sekelas Edgar Nohales Nieto aja cuma bisa peringkat 4, jelas pembalap yang dihadirkan panitia iTDL, bukan main-main.
Karena itu, ketika para penyinyir yang kita semua tahu latar belakang dan apa yang diincarnya, menyerang penyelenggaraan balapan ini dari sisi teknis dan mengecilkan reputasi pembalap yang tampil, itu menjadi pemandangan yang sangat lucu.
Karena dengan begitu yang orang lihat, para penyinyir ini justru menunjukkan kedangkalan wawasan mereka sendiri.
Sudah dangkal tapi dengan bangga dipamer-pamerkan, bagaimana ini tidak lucu?
Tapi apakah dengan begitu, artinya balapan ini sempurna dari segala sisi, tentu saja tidak.
Sebut saja misalnya, kalau balapan ini dinilai secara tujuan balapan yang dimaksudkan untuk menghadirkan sejumlah besar wisatawan.
Untuk balapan tahun ini harus diakui memang target belum tercapai dan ini harus dievaluasi, di mana letak kegagalan pencapaian targetnya.
Tapi mengingat ini adalah penyelenggaraan pertama, kalau ini dilihat sebagai tonggak untuk menempatkan nama Aceh Tengah di dunia balap sepeda profesional, ini masih bisa dikatakan berhasil.
Hanya saja, kalau Dispora Aceh Tengah bermaksud menjadikan balapan ini, diselenggarakan tahun ini saja, bukan sebagai kegiatan balapan yang akan berkelanjutan dan tidak menjadi kegiatan rutin tahunan, maka kalau balapan ini dimaksudkan untuk mendatangkan wisatawan, balapan ini tak memenuhi harapan. []