iTdL Dikatakan Minim Peserta, Begini Kata Race Director dari PB ISSI

oleh
Race Director iTdL, Mbah Udiq (Dua dari Kiri).

TAKENGON-LintasGAYO.co : Terkait kritikan sejumlah pihak, tentang minimnya peserta International Tour de Luttawar (iTdL), Race Director dari PB ISSI, Udianto yang akrab disapa Mbah Udiq memberikan pandangannya.

Ia menyebut, bahwa penyebutan event internasional pada Tour de Luttawar sebenarnya kurang tepat.

“Secara regulasi, event internasional di balap sepeda itu harus masuk ke dalam kalender di Union Cycliste Internationale (International Cycling Union) atau disingkat UCI,” katanya, Jum’at 28 Oktober 2022.

Dirinya tidak mengetahui, pemakaian kata international pada iTdL oleh panitia. Namun, ia menduga panitia ingin mendaftarkan event ini ke kalender UCI di tahun-tahun berikut.

“Jika panitia ingin mendaftarkannya ke kalender UCI di event berikutnya, itu sangat baik. Mungkin kata internasional akan mengarah kesitu, jadi enggak perlu ganti-ganti nama lagi, langsung daftarkan,” katanya.

Terkait jumlah peserta yang dinilai berbagai kalangan minim, Mbah Udiq mengatakan, ada beberapa hal yang perlu diketahui terkait event bertajuk Tour ini. Dimana menurutnya, event ini merupakan ajang balapan pesepeda profesional, bukan gowes yang pesertanya bisa siapa saja dan dari kalangan manapun.

“Di iTdL panitia menetapkan beberapa kelas, dan setelah ditelusuri di Aceh sendiri atlet untuk kelas road bike memang sedikit begitu juga di Sumatera, dan ada beberapa kendala lainnya,” kata Mbah Udig.

Mbah Udiq mengatakan, dirinya juga diminta panitia untuk mempromosikan iTdL ke pebalap-pebalap di luar Aceh. Ia mengaku, banyak pebalap yang ingin datang ke Gayo, setelah dijelaskan potensinya.

“Saya diminta panitia mengundang peserta-peserta dari Sumatera dan Jawa, banyak yang ingin datang sebenarnya. Minsalkan, pebalap dari Bangka Belitung, Riau, Jambi dan dari Jawa,” kata Mbah Udiq.

Namun katanya lagi, konsep iTdL yang berbeda dengan tour-tour lain di Indonesia juga menjadi salah satu penyebab. Lebih jauh dijelaskan, Tour de Singkarak, Tour de Ijen dan Tour de Banyuwangi minsalnya, para peserta ditanggung oleh panitia.

“Jadi di tour-tour lain itu, peserta ada yang disubsidi oleh panitia. Minsalnya, pebalap dari Spanyol yang diundang, mereka hanya membayar tiket dari negara asal ke Jakarta, sementara dari Jakarta ke lokasi tanding, ditanggung panitia. Banyak yang seperti itu,” jelasnya.

“Nah ini bedanya di iTdL ini, peserta harus membayar. Akibatnya, peserta yang dari Jawa, dan wilayah Sumatera lainnya, memiliki keluhan yang sama yakni tiket,” terangnya.

Belum lagi, masalah aksesabilitas menuju ke Takengon juga menjadi kendala. Katanya lagi, untuk masuk ke Takengon, lewat udara ada dua jalur dengan menggunakan pesawar besar, yakni Banda Aceh dan Medan.

“Setelah mereka turun, ternyata mereka juga harus menempuh jarak yang lumayan jauh,  dari Banda Aceh 7 Jam dan Medan ke Takengon bisa 10 jam,” kata Mbah Udiq.

Tambahnya, pebalap sepeda yang akan bertanding biasanya akan membawa bagasi yang banyak.

“Akhirnya mereka menghitung, karena kan tidak dibayarin panitia, mereka bayar sendiri, mulai dari tiket, hotel dan keperluan lainnya. Waduh ternyata, kurang layak menurut pebalap tersebut, mereka harus mendapat sponsor untuk ikut ke iTdL,” katanya.

Pengalaman Mbah Udiq, event serupa iTdL juga pernah terjadi pada event yang lain di Indonesia. Dan melihat permasalahan yang sama, akhirnya pihak pemerintah daerah setempat, memperbaiki aksesibilitas ke wilayahnya.

“Begitu juga dengan infrastrukturnya, mulai dari jalan dan lainnya,” kata Mbah Udiq.

Di Gayo sendiri katanya lagi, sebenarnya punya aksesibilitas yang berpotensi berkembang. Salah satu contoh, Bandara Rembele di Bener Meriah, harus diupayakan dimasuki penerbangan dari beberapa daerah di Indonesia.

“Jadi pasti akan timbul pertanyaan, kenapa diawal tadi Bandara Rembele tidak dimasukkan ke aksesibilitas. Bisa sebenarnya, tapi pesawatnya kan kecil, sementara pebalap datang dengan bagasi besar. Ya itu ibaratnya pesawatnya itu hanya muat dua sepeda saja, begitu kira-kira anekdotnya,” canda Mbah Udiq.

“Jadi, jika ingin event ini menjadi magnet sepeda di Indonesia, ya harus berusaha keras kita memperbaiki hal pentingnya dulu yakni aksesibilitas. Begitu analisanya, konektivitas Takengon dengan wilayah lain, ini menjadi penyebab utama para pebalap batal datang,” tambah Mbah Udiq.

Melihat potensi alam di Gayo, untuk event balap sepeda, Mbah Udiq mengatakan wilayah ini bisa berkembang dan menghasilkan atlet-atlet potensial.

“Saat ini, PB ISSI tengah gencar mencari atlet dari dataran tinggi. Dan potensi itu ada di Gayo dengan ketinggian 1200 Mdpl hingga 1800 Mdpl. Ditambah lagi, potensi alam yang luar biasa, akan menjadi daya tarik bagi pebalap yang ingin ikut,” sebutnya.

Mbah Udiq mengatakan, minim peserta di event balap sepeda profesional sebenarnya hal yang wajar. Ia mencontohkan, di Kejurnas saja, dibeberapa kelas hanya diikuti kurang dari 10 peserta bahkan ada yang diikuti 4 pebalap saja.

“Itu wajar, karena ini balapan profesional, bukan gowes-gowesan yang selama ini marak. Satu lagi, balap sepeda itu juga tergolong olahraga mahal. Jadi harus dipahami dulu,” tandasnya.

[Darmawan]

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.