Oleh : Inike Yulia Putri*
Gender dalam pengertian di masyarakat masih sering disalahartikan, banyak masyarakat yang masih beranggapan bahwa gender adalah laki-laki atau perempuan. Terdapat dua hal yang harus dipahami dengan baik yaitu antara gender dan jenis kelamin merupakan dua hal yang berbeda.
Gender memiliki makna berupa pembagian peran, misalnya sesuatu yang dapat dilakukan oleh laki-laki dapat pula dilakukan oleh perempuan maupun sebaliknya, sesuai dengan kondisi dan keadaan.
Gender tidak bertujuan untuk menguntungkan salah satu pihak melainkan untuk saling melengkapi satu sama lain, sehingga dapat mewujudkan kehidupan yang lebih harmonis. Sedangkan, jenis kelamin merupakan sesuatu yang bersifat mutlak pemberian dari Tuhan yang dibawa sejak lahir dan perannya tidak dapat ditukar atau disebut juga dengan kodrat.
Contoh gender itu sendiri seperti mengurus pekerjaan rumah tangga, menjadi pemimpin, urusan politik, mencari nafkah dan mengasuh anak, sedangkan contoh kodrat seperti memiliki kelenjar mamae, memiliki sel telur, mensturasi, mengandung, melahirkan, dan menyusui, ini merupakan contoh kodrat pada perempuan.
Kodrat pada laki-laki seperti memiliki jakun, berjenggot, berkumis, dan memiliki sperma. Namun pada kenyataannya, di lingkup masyarakat masih mengkotak-kotakkan peran tersebut seperti urusan politik, kepemimpinan, dan pencari nafkah merupakan tugas bagi laki-laki, sedangkan tugas bagi perempuan adalah mengurus pekerjaan rumah tangga, memasak, dan mengasuh anak.
Gender juga dikaitkan dengan warna, misal warna merah muda biasanya akan disandingkan kepada perempuan sedangkan untuk laki-laki lebih tepat dengan warna biru atau merah.
Adanya pandangan tersebut di masyarakat dianggap sesuai dengan nilai, norma, dan harapan masyarakat itu sendiri, sehingga menjadikan hal-hal yang berhubungan dengan peran-peran tersebut menjadi pantas untuk dilakukan.
Seperti halnya perempuan di Aceh, dalam kebanyakan stigma di masyarakat Aceh, perempuan dianggap tidak layak untuk menangani urusan kepemimpinan dan politik, sudah menjadi budaya yang melekat bahwa urusan perempuan adalah urusan rumah tangga, reproduktif (mengandung, melahirkan, dan menyusui), dan pencari nafkah tambahan, sedangkan laki-laki menangani urusan publik, produksi, dan pencari nafkah utama.
Adanya pembagian peran yang dibentuk oleh konstruksi sosial ini menjadikan kelompok-kelompok tertentu sebagai objek yang dirugikan dan kemudian hal ini juga mendiskriminasi kelompok tersebut.
Tahun 2024 mendatang Indonesia akan mengadakan pesta demokrasi yang diadakan selama 5 tahun sekali dalam satu momen yang sama, yaitu pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilkada).
Pemilu akan diadakan pada tanggal 14 februari 2024 untuk memilih DPR, DPD, DPRA, DPRK, serta presiden dan wakilnya. kemudian disusul dengan pilkada pada tanggal 27 November 2024 untuk pemilihan gubernur, bupati, wali kota dan wakilnya.
Dalam hal pemilihan pemimpin, negara demokrasi ini memberikan kebebasan kepada rakyatnya untuk memilih pemimpin sesuai dengan hati nurani masing-masing. Namun berbicara tentang hak berdemokrasi, negeri ini masih jauh dari pengertian demokrasi itu sendiri.
Dalam dunia politik, terutama di Pemilu yang semestinya demokratis, perempuan merdeka dalam menentukan calon pemimpin sesuai hati nuraninya. Namun kenyataannya, masih banyak perempuan yang dibatasi haknya, misalnya karena harus mengikuti pilihan kepala keluarga atau terbawa oleh arus politik uang dan permainan gelap.
Sebagian tempat, satu sisi perempuan diajak berpartisipasi dalam kepemiluan untuk menentukan hak pilihnya, tetapi di sisi lain perempuan tidak diberikan fasilitas dan akses.
Beberapa daerah Tempat Pemungutan Suara (TPS) terletak jauh dari pemukiman masyarakat, untuk dapat menyalurkan hak pilihnya sering kali perempuan dengan kondisi yang rentan tidak memiliki akses serta fasilitas yang memadai menuju TPS, sehingga hal ini juga menjadi alasan terjadinya golongan putih (golput).
Dari akar rumput, beralih ke tingkat institusi. Dilansir dari halaman web Badan Pusat Staistik (BPS), keterlibatan perempuan di kursi parlemen dan pemerintah daerah melalui data hasil pemilu 2019 menunjukkan persentase perempuan yang menduduki kursi DPR adalah 17,86% dan yang menduduki kursi DPRD adalah 26,525%.
Melalui kip.acehprov.go.id dapat dilihat bahwa di Aceh sendiri. Terutama di Kabupaten Bener Meriah juga memiliki pola yang sama, yaitu dari 327 jumlah total calon legislatif (caleg) yang berhasil melawati seleksi pendaftaran caleg dengan komposisi caleg laki-laki berjumlah 202 orang dan caleg perempuan berjumlah 125 orang yang mewakili masing-masing daerah pemilihan hanya ada 4%.
Atau satu orang saja perempuan yang berhasil menduduki kursi pejabat DPRK Bener Meriah di pemilu 2019 dari 25 kursi yang tersedia.
Proporsi angka ini jauh dari seimbang, padahal kesetaraan gender menempati urutan kelima dari tujuh belas tujuan utama pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
Minimnya kuantitas perempuan yang maju sebagai anggota terpilih menunjukkan bagaimana perempuan dianggap masih lemah dalam menjalankan urusan poitik dan tugas pemerintahan, serta masih minimnya pengetahuan akan kesetaraan gender di lingkungan masyarakat.
Adanya subordinasi yang mana salah satu jenis kelamin lebih diprioritaskan atau lebih diutamakan dibandingkan jenis kelamin lainnya. Posisi ini menjadi hambatan bagi perempuan dalam mengembangkan bakat dan keinginannya.
Minimnya akses bagi perempuan untuk menduduki posisi strategis dan penting dalam pengambilan keputusan memberi efek terhadap peluang pemberdayaan perempuan dalam kehidupan politik dan publik.
Meskipun perempuan terlibat di dalam suatu forum politik, belum tentu keberadaannya dapat memberikan dampak signifikan untuk mengangkat isu-isu terkait perempuan, karena pengakuan atas haknya tidak begitu diprioritaskan sehingga keterlibatan perempuan dianggap hanya untuk melengkapi jumlah nominal saja.
Padahal, hanya perempuan yang paham dan mengerti apa yang sebenarnya diinginkan oleh perempuan itu sendiri.
Berbicara mengenai politik dan kepemimpinan perempuan di Aceh seharusnya sudah tidak tabu lagi. Sejak zaman kerajaan, Aceh telah memiliki 4 sultanah yang memimpin secara berturut-turut dengan hasil kemajuan dalam bidang politik, budaya dan ilmu pengetahuan.
Seorang ulama besar Aceh bernama Nurrudin Ar-Raniry, menilai bahwa perempuan bisa saja menjadi seorang pemimpin selama ia memiliki kualitas yang dibutuhkan untuk memimpin.
Pada era ini, Hj. Illiza Sa’aduddin Djamal merupakan salah satu wujud keberhasilan dari tokoh kepemimpinan perempuan di Aceh.
Selama periode jabatannya menjadi wali kota Banda Aceh, terlihat bahwa Aceh mampu menunjukkan capaian yang luar biasa. Melalui www.kemenpppa.go.id, pada tahun 2014 Aceh menempati posisi ke-3 setelah Kota Yogyakarta dan Kota Jakarta Selatan untuk Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menurut kabupaten kota dan status pembangunan manusia.
Indikatornya dapat dilihat dari pendidikan, kesehatan (angka harapan hidup), dan ekonomi berupa sumbangan pendapatan. Hal ini membuktikan bahwasanya perempuan juga mampu tampil di depan sebagai pemimpin.
Harapan penulis pada pemilu 2024 mendatang, jumlah partisipasi perempuan yang maju sebagai calon legislatif dan berhasil menduduki kursi parlemen dapat meningkat.
Mungkin bukan hal mudah untuk dapat mencapai angka setengah persen jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya yang didominasi oleh laki-laki.
Namun, dengan adanya peningkatan jumlah caleg perempuan dibandingkan pemilu sebelumnya, maka diharapkan dapat menciptakan pemilu yang lebih inklusif dan lebih adil gender.
*Anggota Komunitas Jurnalis Warga Banda Aceh, asal Pintu Rime Gayo, Bener Meriah