Pemimpin Ibarat Shalat

oleh

Oleh : Kausara Usman, S.Sos.I*

Dalam beberapa hari ini kita sering melihat berita di beberapa media, baik media televisi, koran maupun media online tentang berita mengenai pemilihan pemimpin di tahun 2024.

Memang sesuai dengan pernyataan Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung menyampaikan, Komisi II DPR RI selalu bekerja berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini.

Dan Undang-Undang yang terkait dengan persiapan Pemilu sendiri adalah Nomor 7 Tahun 2017 dan UU Nomor 10 Tahun 2016. Didalam kedua undang-undang tersebut diamanatkan bahwa tahun 2024 akan dilaksanakan Pemilu secara serentak dalam satu tahun yaitu pemilu Presiden, Pemilu Legislatif, dan Pemilihan Kepala Daerah.

Namun dalam media berita juga menyajikan berita yang tidak berimbang, karena masing-masing pengusung calon Presiden, Pemilu Legislatif, dan Pemilihan Kepala Daerah, selalu bersaing dalam hal pencalonan. Setiap calon yang diusung tidak mencerminkan suatu kapasitas dan kapabilitas yang ditunjukkan.

Demikian pula banyak sekumpulan masyarakat atau organisasi sudah beberapa kali akan mendukung salah satu calon yang ia kehendaki dan ia usung untuk di pemilu Presiden, Pemilu Legislatif, dan Pemilihan Kepala Daerah.

Pemilu Presiden, Pemilu Legislatif, dan Pemilihan Kepala Daerah, ketiga komponen ini sangat berkaitan satu sama lain, namun yang menjadi sangat perhatian masyarakat adalah Pemilu Presiden, di sana sini saling adu komentar antar calon yang diusung dan menonjolkan calonnya masing-masing.

Partai politik merupakan salah satu jalur atau jalan untuk menjadi seorang Calon Presiden. Dalam Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, ambang batas perolehan suara yang harus diperoleh partai politik dalam suatu pemilu agar dapat mengajukan calon presiden, diatur dalam Pasal 222.

Detailnya, pasangan calon presiden-wakil presiden harus diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki sekurang-kurangnya 25 persen kursi di DPR RI atau 20 persen suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif.

Pengamat Politik Unhas Andi Ali Armunanto mengemukakan, penurunan ambang batas presidential threshold dari 20 persen menjadi 10 persen dukungan parpol, secara positif akan membuat kompetisi politik para calon presiden menjadi lebih kompetitif. Sebab, membuka ruang bagi banyak calon yang akan maju. (FAJAR.CO.ID, MAKASSAR).

Persoalan sekarang apakah kita sebagai seorang pemilih yang ikut dalam Pemilu Presiden perlu pegangan untuk menjadi bahan renungan, karena tuntunan agama islam untuk kita di kaji dari beberapa kajian keislaman. Dalam persoalan ini saya memberikan suatu pandangan, jika kita memilih pemimpin melalui kajian pelaksanaan ibadah shalat lima waktu melalui beberapa tahapan diantaranya: kriteria dan syarat menjadi imam shalat, tata cara mengikuti imam, menegur imam jika salah, dan berikut ini kita kaji satu persatu ketiga persoalan menjadi imam shalat kaitannya dengan memilih pemimpin.

Sebelum lebih jauh kita mengkaji tentang pemimpin, tentu dalam islam pemimpin itu terkait dengan arti seorang imam, karena imam dalam islam adalah pemimpin. Kalau kita jelaskan, arti imam secara istilah adalah orang yang memimpin dalam sholat berjamaah.

Imam dalam sholat dimaknai sebagai orang yang sholatnya diikuti orang lain dengan syarat-syarat yang telah ditentukan dalam syariat. Sebagaimana dikutip dari Ibnu Abdin dalam kitab Hasyiyah.

Dirangkum dari buku Fikih Empat Madzhab Jilid 2 karya Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, berikut syarat seorang imam sholat dan syarat menjadi imam sholat berjamaah, diantaranya yaitu beragama islam, baligh, berjenis kelamin laki-laki, berakal sehat, dan berikut ini dapat dijelaskan berikut ini.

1. Beragama Islam

Imam yang beragama Islam menjadi salah satu syarat sah dalam sholat berjamaah. Hal ini diamini oleh seluruh ulama dan kaum muslimin. Bagi non muslim yang melaksanakan sholat dan mengaku menjadi seorang muslim, maka sholatnya tidak sah dan harus diulang kembali.

Pada syarat pertama diatas sangat jelas bahwa, harus memilih pemimpin yang jelas agama dan keimanannya, karena itu merupakan asa dasar dalam urusan kegiatan ibadah dan pergaulan di masyarakat. Kalau sesuai dengan tercantum dalam Al Quran bahwa Allah dalam surat An-Nisa ayat 144 artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi WALI (pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah kami ingin mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)? (QS: An Nisa’: 144)

Sebagaimana dijelaskan pada ayat di atas, kita dilarang untuk memilih kafir menjadi pemimpin dan meninggalkan orang mukmin, atau kandidat lain yang beragama islam, tapi menurut pendapat penulis jika kondisi darurat atau tidak ada calon pemimpin muslim karena tinggal di lingkungan non muslim, maka kita dibolehkan memilih pemimpin dari golongan kafir.

2. Baligh

Tidak sah hukum sholat fardhu orang dewasa jika menjadi makmum dari anak kecil yang mumayyiz. Hal ini disepakati oleh imam bersar tiga mazhab. Adapun jika anak kecil yang mumayyiz menjadi imam bagi anak-anak seumurannya, maka sholatnya dianggap sah.

Berbicara pemimpin yang baligh artinya kita bagi menjadi dua kata Akil yang secara bahasa artinya berakal, memahami, atau mengetahui. Sementara itu, balig dapat didefinisikan sebagai seseorang yang sudah mencapai usia tertentu dan dianggap sudah dewasa, atau sudah mengalami perubahan biologis yang menjadi tanda-tanda kedewasaannya (Rasjid, 2010: 83).

Artinya menggunakan akal untuk berpikir dan memahami persoalan dan masalah yang di hadapi oleh yang dipimpinnya, kemudian juga mengenai mengetahui arti dan tugsa dari seorang pemimpin.

3. Berjenis kelamin laki-laki

Menurut Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, tidak sah hukum sholat fardhu berjamaah bila dipimpin oleh seorang wanita atau khunsa (berkelamin ganda) sementara makmumnya ada yang laki-laki. Namun, sah bagi seorang wanita bila dipimpin oleh wanita lainnya atau juga seorang khunsa.

Hukum tersebut disepakati oleh tiga mazhab selain mazhab Maliki. Sebab mazhab Maliki melarang keras seorang wanita atau khunsa menjadi imam, siapapun itu makmumnya.

Mayoritas pemimpin adalah mereka yang berjenis kelamin laki-laki. Pemimpin perempuan hanya ditemukan di sebagian kecil masyarakat. Sebenarnya, terkait kepemimpinan, Islam tidak melarang perempuan untuk menjadi pemimpin.

Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa wanita tidak berhak menjadi pemimpin, meski dalam lingkup yang lebih terbatas. Sebab, bagaimanapun juga, menjadi pemimpin, baik dengan kekuasaan luas maupun terbatas, pada hakikatnya sama.

Yang membedakan hanyalah wilayah kekuasaannya semata. Padahal, Rasulullâh jelas-jelas melarang seorang wanita menjadi pemimpin.(https://transmetro.id/2019/10/bolehkah-wanita-jadi-pemimpin-menurut-islam/)

4. Berakal sehat

Hukumnya menjadi tidak sah bila sholat berjamaah diimami oleh orang hilang kewarasan atau gila.

“Tidak sah sholat yang dilakukan di belakang mereka (orang linglung dan mabuk) berdua, sebagaimana tidak sah sholat mereka juga.” tulis Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi. Adapun jika ada orang gila yang terkadang waras dan terkadang tidak, maka sah sholat berjamaah jika dipimpin olehnya saat dalam keadaan waras, (https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5783338/8-syarat-menjadi-imam-dalam-sholat-berjamaah-wajib-tahu.)

Pemimpin ideal menurut al-Ghazali dalam empat kitabnya. Dalam al Iqtiṣād fī al-I’tiqād, kriteria pemimpin ideal (1) Memiliki keahlian, (2) Memiliki ilmu dan sifat wara’, (3) Memenuhi syarat menjadi qadhi: laki-laki, baligh, berakal sehat, merdeka, sehat, dan tidak tercela,

*Penulis Alumni Universitas Islam Ar-Raniry Banda Aceh

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.